PERLU REVITALISASI GMKI
Refleksi Dies Natalis GMKI ke-57 (9 Februari 2007)
MASIH adakah Indonesia ke depan? Akan seperti apa Indonesia ketika tanah airnya tempat berpijak telah semakin rusak. Hancur dan tenggelam. Sementara, warganya pun bernasib malang tertimpa bencana demi bencana menjadi korban dan lenyap. Di tambah jika pemimpin negaranya tak lagi mampu menyelamatkan rakyat dan tanah airnya? Itulah keresahan yang mengiringi duka bangsa dan negara, yang dirasakan dan terus berusaha bangkit dari masa transisi yang berkepanjangan, bangun dari masa krisis multidimensi yang masih melanda saat menghadapi bencana demi bencana.
Pertanyaan tersebut, masih adakah Indonesia, menjadi cermin dari keadaan sebuah bangsa dan negara yang akan mengalami kepunahan (the end of state) sebagaimana itu terjadi dalam rentang sejarah dunia. Kita masih ingat bagaimana porak-porandanya negara adi daya Uni Sovyet yang hancur berkeping-keping, terpecahnya Jerman, dan hilangnya sebuah negara yang bernama Yugoslavia. Bukan mustahil, keadaan yang tak pernah kita harapkan, hancurnya sebuah negara dan punahnya sebuah Indonesia, akan dialami oleh bangsa Indonesia. Semua itu akan bergantung pada kemampuan menjaga dan memelihara eksistensi ke-Indonesia-an sebagai sebuah bangsa dan negara. Kuncinya menurut hemat saya adalah bergantung pada bagaimana sebuah bangsa mampu menyiapkan generasi dan regenerasi yang dapat menjamin keberlangsungan dan kesiapan yang memadai untuk masa depan Indonesia.
Dalam konteks itulah, mengiringi peringatan ke 57 Tahun hari ini 9 Februari 2007, hari lahirnya Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), saya mengajak seluruh anggota GMKI (baik anggota biasa maupun anggota luar biasa) untuk merenungkan tentang apa yang dapat kita persembahkan untuk menyelamatkan Indonesia, saat ini dan ke depan. Sebuah harapan, optimisme dan keyakinan, bahwa bangsa kita akan tetap mampu keluar dari krisis dan mampu menegakkan pilar-pilar kebangsaan dengan dikawal oleh generasi bangsanya yang terpanggil dengan tulus dan penuh pengabdian untuk berbuat yang terbaik bagi bangsa dan negara melalui 3 medan pelayanan GMKI yakni Gereja, Perguruan Tinggi dan Masyarakat.
Sekilas Historis
Kehadiran dan kontribusi GMKI dalam Gerakan Kebangsaan dan Gerakan Oikumene telah lahir sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, meskipun nama organisasi ini sendiri baru lahir pada 9 Februari 1950 melanjutkan usaha dari Christelijke Studenteen Vereeniging of Java, yang berdiri pada tanggal 28 Desember 1932 di Kaliurang, GMKI senantiasa hadir dan terus berupaya memberi kontribusinya dalam kehidupan kegerejaan, kehidupan bangsa dan negara serta kehidupan intelektual generasi muda/mahasiswa.
Hingga saat ini GMKI telah memiliki lebih dari 50 cabang di beberapa kota perguruan tinggi di tanah air sebagai tempat berhimpunnya mahasiswa kristen di kota perguruan tinggi. Disamping itu, GMKI juga memiliki Yayasan Bina Darma (YBD) di Kota Salatiga (yayasan yang dibentuk atas kerjasama Pengurus Pusat GMKI dan Rektor Universitas Kristen Satya Wacana) pada tanggal 17 Agustus 1979. Salah tujuan didirikannya YBD adalah untuk mencetak anggota GMKI menjadi manusia sosial yang tidak hanya mempunyai kemampuan teknis tetapi juga memiliki kemampuan analitis. Sehingga tak heran GMKI telah melahirkan kader-kader yang berperan dalam proses pembangunan, baik di bidang sosial, bidang politik, maupun di bidang ekonomi.
Kini di era reformasi dimana hak berbicara, berekspresi, berserikat, dan berpendapat dibuka lebar, sejatinya dapat dijadikan momentum emas bagi GMKI untuk meneguhkan kembali posisi dan perannya di tengah-tengah kehidupan kaum muda sebagai kekuatan sosial dan sumber perubahan. Namun, di tengah publik luas, agaknya GMKI masih dicitrakan sebagai organisasi yang cenderung eksklusif serta tak berpihak pada kepentingan rakyat banyak. Pencitraan ini muncul antara lain karena kenyataan bahwa GMKI kurang memiliki kepedulian dan belum mampu ikut menjawab masalah-masalah yang kini mendera rakyat seperti kemiskinan, kelaparan, rendahnya pendidikan, pengangguran, dan lain sebagainya.
GMKI masih mengidap penyakit kanker yang ganas merasuk di dalam tubuhnya yaitu : politiking, pragmatisme, dan primordialisme. Ketiga mentalitas dan karakter itulah yang harus segera dibongkar dan dimusnahkan terutama oleh para pimpinan dan pengurusnya di setiap tingkatan (Pusat, Cabang dan Komisariat). Selama penyakit itu bersemayam di dalam pemikiran, tindakan dan perilaku kepemimpinan di tubuh GMKI, selama itu pula GMKI akan mengalami cacat dan kemudian lumpuh. GMKI tak akan banyak berbuat, jangankan untuk menyelamatkan Indonesia, menyelamatkan dirinya saja tak berdaya.
Revitalisasi GMKI Baru
Keberadaan GMKI tidak mungkin dihapuskan dalam goretan sejarah kepemudaan di jaman Orde Baru. Seluruh organisasi kepemudaan maupun kemasyarakatan pada masa Orde Baru tidak bisa lepas dari kendali kekuasaan yang terpusat pada satu orang (Soeharto). Terpusatnya kekuasaan tersebut didukung dengan pendekatan keamanan demi stabilitas nasional, membuat negara begitu kuat dan masyarakat lemah. Lemahnya masyarakat ini diperparah lagi dengan strategi korporasi lewat pendirian sejumlah organisasi kemasyarakatan maupun profesi yang merepresentasikan kepentingan sang penguasa. Oleh karena itu, pendirian PWI misalnya dimaksudkan untuk mengendalikan wartawan; KADIN untuk mengontrol kalangan pengusaha; HKTI untuk mengontrol petani; HNSI untuk mengontrol nelayan, KOWANI untuk mengendalikan kaum wanita; MUI untuk mengendalikan para ulama dan KNPI untuk mengkooptasi pemuda (termasuk GMKI saat itu masih anggota KNPI).
Tak heran bila sebagian masyarakat masih mencitrakan organisasi ini tak ubahnya seperti ormas-ormas lainnya di masa Orde Baru yang menutup mata terhadap berbagai penyimpangan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Bahkan dianggap masih menjadi sarana kooptasi aspirasi kepemudaan yang cenderung elitis, prokekuasaan, dan eksklusif. Di tengah berbagai persoalan yang dihadapi rakyat dewasa ini, GMKI yang mewadahi potensi kaum muda/mahasiswa kristen hendaklah mentransformasikan diri menjadi kekuatan civil society yang mandiri, kuat, berdaya, kritis, kreatif, inovatif, dan memberikan solusi atas berbagai permasalahan yang berkembang di masyarakat.
Kekuatan Civil Society Baru
Tidak seperti di era Orde Baru dimana pemerintah menjadi aktor dominan yang mengontrol segala macam kekuasaan dengan Soeharto sebagai figur sentral, kini pemerintahan demokratis membuka peluang lebar bagi munculnya aktor-aktor politik baru. Di masa lalu, pemerintah, khususnya presiden, mengontrol segala aspek proses politik sehingga parlemen tak memiliki kekuatan untuk mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah yang merugikan kepentingan rakyat. Kini justru parlemen menjadi penyeimbang kekuasaan eksekutif.
Karena pemerintah tak lagi menjadi aktor dominan, maka parlemen idealnya menjadi tempat saluran formal bagi berbagai macam tuntutan dan aspirasi rakyat. Akan tetapi, ironinya parlamen masih belum menjadi harapan yang selama ini diidam-idamkan sebagian besar masyarakat. Justru, sebaliknya, parlemen sibuk dengan manuver-manuver politik yang merepresentasikan kepentingan partai belaka, seraya mengabaikan kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Pada saat yang bersamaan, di tubuh partai politik itu sendiri terjadi konflik-konflik dan perebutan kekuasaan sehingga berbagai permasalahan yang kini tengah didera rakyat –seperti kemiskinan, pengangguran, dan kelaparan-luput dari perhatian.
Ketika parlemen dan partai-partai politik sibuk dengan urusannya sendiri, GMKI sebagai wadah berkumpulnya mahasiswa kristen Indonesia sejatinya bisa memainkan peran sebagai kekuatan civil society yang mengawasi jalannya proses demokratisasi. Sebab, proses demokratisasi di tanah air tampaknya tak cukup hanya diserahkan kepada partai-partai politik yang kini cenderung berebut kekuasaan untuk menempatkan kader-kadernya di kabinet. Itu sebabnya, kehadiran GMKI sebagai kekuatan civil society sangatlah relevan di tengah carut-marut kehidupan bangsa dan negara.
Tampaknya kondisi saat ini membutuhkan kehadiran civil society yang tidak hanya melancarkan kritik semata, melainkan juga memberikan tawaran solusi atas berbagai persoalan yang kini dihadapi bangsa dan negara. Suatu civil society yang bersinergi dengan negara agar berbagai kebijakan yang dikeluarkannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan membangun sinergi dengan negara tidak berarti GMKI sebagai kekuatan civil society kehilangan daya kritisnya. Justru pada saat yang bersamaan ia bisa menjadi penyeimbang antara kekuasaan negara dan kedaulatan rakyat sekaligus bisa berfungsi juga sebagai kekuatan kontrol sosial.
Dengan menempatkan GMKI sebagai basis kekuatan masyarakat sipil yang demokratis, maka GMKI diharapkan akan tetap ikut menjaga eksistensi ke-Indonesia-an. GMKI masih dianggap penting karena di dalamnya mewadahi kekuatan generasi muda/mahasiswa sebagai generasi bangsa. GMKI juga menjadi wadah dan organisasi yang masih efektif untuk membangun solidaritas sosial dan soliditas sebuah generasi bangsa. Di dalam kelembagaan GMKI, perjuangan eksistensi ke-Indonesia-an masih tetap menjadi komitmen final karena GMKI menyandang nilai-nilai kebangsaan yang saat ini patut dilestarikan dan tidak dapat terjaga dengan sendirinya,melainkan harus terus menerus dijaga revitalisasinya seperti semangat sebagai sebuah bangsa dan negara bersatu, GMKI, Pancasila. Dan yang terutama, GMKI secara alami terkait dengan regenerasi dan alih kepemimpinan yang akan terus berlangsung kontinyu dalam sirkulasi perjalanan bangsa dan negara. Tinggilah Imanmu, Tinggilah Ilmumu, Tinggilah Pengabdianmu. Selamat Ulang Tahun Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia ke-57.
Ut Omnest Unum Sint.