Wednesday, November 22, 2006

PEREMPUAN DI TENGAH PARTISIPASI DALAM RUANG PUBLIK ANTARA TUNTUTAN, TANTANGAN DAN KENYATAAN

OLEH: DARMANTO F. KISSE ,SP,MP *)

Shalom !!

Pertama-tama kita patut mengucapkan syukur pada Kepala Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dan sekaligus selamat dan Sukses bagi Pengurus Pusat GMKI dan Panitia Nasional Kongres XXX GMKI Tahun 2006, yang telah memberi nilai pada Forum tertinggi dalam organisasi GMKI yakni Kongres, yang telah dibuka oleh Gubernur Nusa Tenggara Timur.
Apresiasi yang tinggi kepada Pengurus Pusat GMKI dan Panitia Nasional Kongres XXX yang memiliki keberpihakan terhadap perjuangan kesetaran gernder, dengan diadakannya Pertemuan Perempuan GMKI, dengan tujuan memperdalam pemahaman Kader GMKI akan posisi dan peran Perempuan diruang publik, untuk menemukan model gerakan perempaun GMKI dan mengkonstruksi pemikiran progmatik bagi persiapan kader perempuan di ruang publik serta mendesign model struktur bagi pengoptimalisasian konsep pengembangan perempuan di ruang publik. Akan tetapi, sesungguhnya dalam suatu pemahaman analisis kritis, topik diatas belum memberikan tempat yang berarti bagi perempuan malah masih memposisikan perempuan sebagai subordinasi sekedar partisipan, adalah merupakan permasalahan yang senantiasa dijadikan acuan para pembahas, akan tetapi pada tataran empiris, dimana kaum perempuan diberi akses, justru yang terjadi adalah bahwa, ada kecenderungan kaum perempuan sendirilah yang memarjinalkan sesama kaumnya dan bahkan dapat dikatakan sebagai penjajah baru. Misalnya ibu-ibu yang memberikan tugas dan tanggungjawab mengasuh anaknya kepada mereka yang dikenal dengan penjaga/pengasuh bayi (baby sitter) dengan sejumlah balas karya dan bahkan ada yang memberikan balas yang tidak sesuai dengan Upah Minimum Propinsi (UMP) dan dalam masyarakatpun kita temui para pengasuh bayi atau pembantu rumah tangga ini di siksa oleh majikannya, yang nota bene adalah sesama kaum perempuan.

Partisipan adalah sebuah makna suplemen yang berhadapan dengan sebuah makna yang primer/utama. Mengapa hanya sekedar partisipasi perempuan ? mengapa menghitung peran perempuan hanya sekedar partisipan ? Partisipan dapat dikonotasikan sebagai peran figuran peran/ supporter yang kedudukannya tidak sama dengan dengan pelaku dan pemeran sesungguhnya atau tokoh sentral suatu lakon, misalnya kita sebagai bangsa pernah dipimpin oleh perempuan ataupun kita dapat mencontohi Israel yang pernah di pimpim oleh PM Goldemeir, atau Inggris yang dipimpin oleh PM Margareth Tacher bahkan mungkin dalam pengamatan ataupun pengalamankehidupan sosial kita pribadi di rumah tangga, tempat kerja, masyarakat dimana pembaca beraktivitas dan ada kecenderungan gaya/style/type kepemimpinan yang ditunjukkan adalah gaya otoritarian, dan masih banyak lagi contoh yang kita punyai baik dari hasil membaca, mengamati maupun pengalaman pribadi.
Selain itu ada juga Pemahaman yang ingin dikonstruksi sebagai peran yang harus dimainkan perempuan sebagai warga komunitas bukan sekedar diberi nilai sebagai partisipan, adalah sebuah hak perempuan dan merupakan kewajiban bagi patnernya kaum lelaki. Perempuan dan laki- laki harus menjadi pelaku baik diruang domestik maupun diruang publik, tetapi juga harus diakui bahwa dalam diri manusia baik laki-laki maupun perempuan terdapat apa yang dinamakan (black area), sehingga jika tidak hati-hati kita terjerumus kesana dan berkecenderungan memunculkan gaya/style yang merendahkan kemanusiaan kita. Termasuk didalamnya perempuan GMKI yang hendak di bentuk melalui program yang didesign untuk itu.
Untuk itu strategi akselerasi yang mesti ditempuh adalah bukan sekedar meminta, membujuk atau merayu akan tetapi melakukan tuntutan melalui berbagai pola dan terobosan yang lebih komperhensif dan tentunya senantiasa didasarkan kasih dengan tujuan agar menumbuhkan kesadaran kemudian menjadi sesuatu yang mewujud dalam tindakan nyata dan senantiasa direvisi untuk kesempurnaan, sebagaimana yang diajarkan dan dicontohkan oleh Kepala Gerakan. Jadin bukan intrik- kolulif dan bahkan intimidatif untuk meraih tujuan pribadi yang sengaca dan secara sadar di bungkus secara rapih menjadi seolah-olah tujuan bersama.
Tuntutan itu harus menjadi kesadaran perjuangan bersama untuk menghasilkan terjadinya akselerasi peran yang harus dimainkan oleh perempuan di ruang public secara lebih proposional.

Tuntutan peran dan kinerja sektor publik bagi perempuan harus berhadapan dengan variable determinant antara lain sumber daya, pengetahuan/ kemampuan intelektual maupun teknis dan kompetisi/persaingan serta ketangguhan mental atau self concept yang kuat. Tanpa totalitas kemampuan diatas kinertja public bagi perempuan akan menjadi sulit.

Sekarang kita harus meneguhkan komitmen bahwa tantangan dan kesulitan apapun akan bisa teratasi, karena batu-batu karang yang ditempatkan dalam perjalanan kita adalah tempat untuk kita mendaki, bukan penghalang bagi kita untuk maju, termasuk perempuan secara kwantitas maupun kwalitas harus secara nyata menerobos ruang public bahkan mencapai posisi leader power, jika itu harus dan tentunya harus dilandasi bahwa Kepala Gerakanlah yang mengatur seluruh skenario dibawah kolong langit ini, termasuk para patner kaum lelaki.

PEREMPUAN DAN PERADABAN

Peta dan kondisi keterbelakangan perempuan adalah sebuah peta peradaban yang dilakoni dalam ketidak tahuan manusia akan kesetaraan.sehingga jika kita mengatakan bahwa perempuan adalah korban peradaban maka. Apa sungguhnya hutang peradaban, siapa yang harus membayarnya ? Kapan harus membayarnya ? bagaimanana caranya membayarnya. Menjawab hal ini tentunya tidak secara verbal, akan tetapi diperlukan adanya kesadaran dari kita baik laki dan perempuan untuk secara sadar melihat dan mengakui bahwa secara subtansial perempuan dan laki-laki mempunyai kedudukan yang sama, Apa yang menjadi persoalan kodrati adalah sesuatu yang melekat pada bawaan jenis kelamin. Selain itu peran peran yang ada adalah sebuah rekayasa sosial yang masih harus didiskusikan secara sehat dan bersama.

Yang terpenting kita mesti melakukan upaya dekonstruksi untuk secara bertahap dan terukur membangun paradigma dan stigma yang tidak timpang antara persepsi peran laki-laki dan perempuan. Ketimpangan akibat rekayasa sosial budaya ini akan mengakibatkan termarjinalisasinya manusia (perempuan atau lelaki) dalam sektor publik. Oleh karena itu, merekonstruksi perjalanan peradaban kedepan, harus disadari dan dilaksanakan secara baik, benar dan tepat oleh seluruh komunitas peradaban yakni negara/ pemerintah sebagai sebuah sistem, dan seluruh segmen sosial melalui akselerasi sistem dan regulasi serta perilaku kemasyarakatan dan tentunya individu baik perempuan maunpun lelaki.

PROFIL PEREMPUAN DI RUANG PUBLIK

Peran perempuan dalam ruang publik secara jumlah masih dirasakan minim, bahkan posisi perempuan pada level top manejemen/ leader pun masih dirasakan kurang. Tetapi apakah memang benar demikian dalam tataran empiris, sepertinya diperlukan suatu diskusi panjang untuk ini, karena sebagai patner yang setara dengan lelaki seharusnya perjuangan melalui sistem regulasi untuk mengenjot perempuan dalam ruang publik melalui sistem alokasi 30 % perlu dipikirkan kembali, karenanya dengan kuota tersebut sebenarnya merugikan kaum perempuan sendiri, karena dari segi jumlah penduduk terbaca bahwa perempuanlah jumlah terbesar, tetapi keterwakilannya hanya 30 % dan persoalan tidak mencapai target bahkan mengalami kemundurun karena pada beberapa kasus terjadi pengurangan perempuan adalah masalah lanjutan dari ketentuan yuridis formal tersebut merupakan suatu matarantai yang tidak terpisahkan, misalnya di parlamen pemilu 2004 dan di lembaga presiden dengan tidak terpilihnya Megawati pemilu 2004, bukan karena persoalan jender semata tetapi karena style/ gaya kepemimpinan kaum perempuan yang menjadi “boomerang” bagi dirinya secara pribadi, jadi dengan menjadikan teladan tidak terpilihya megawati karena kurangnya kesadaran gender bukan contoh dan jawaban yang tepat untuk persoalan gender diruang publik, tetapi persoalan kompetisi manusia (perempuan dan laki-laki) dalam dunia politik. Termasuk tuntutan terhadap kekalahan Perempuan dalam mendapat tempat yang signifikan dalam mekanisme pemilihan umum dengan sistem proposional daftar terbuka pemilu 2004, semakin nyata memberi jawab bahwa kepentingan pribadi cenderung dibungkus rapi dan diformulasi untuk dijadikan persoalan bersama dan ini sangat pragmatis dan tidak berorientasi gender, jika gender disepakati sebagai kesepakatan bersama dalam menkonstruksi peran sosial umat manusia (lelaki dan perempuan). Hal ini terbukti dari walaupun perempuan memiliki suara mayoritas diatas 50 % pada pemilihan umum 2004 pun tidak mampu memberikan dan menghantar perempuan keruang legeslatif karena perjuangan gender masih didominasi oleh kepentingan diri yang diberikan kemasan, sehingga tidak atau belum terciptanya kohesitas dikalangan perempuan sendiri.
Jika kita mau bersepakat untuk membangun peradaban baru, maka diperlukan pembenahan sistem termasuk regulasi disemua bidang politik dengan memberi masa konsolidasi dan rehabilitasi peran perempuan, tetapi perlu diingat bahwa dalam perjalanan kedepan, laksana kita mengemudi mobil, maka 80 % kita harus memperhatikan kedepan dan hanya 20 % saja kita sesekali memperhatikan kebelakang, jika tidak maka akan terjadi kecelakaan lalulintas karena ketidak benaran dalam mengemudikan kendaraan peradaban yang ingin kita kosntruksi atas dasar kesetaraan gender, ia khan mama boy, dong ? sehingga tuntutan agar Negara harus menjamin sistem Quota perempuan diparlemen dan di eksekutif dalam rentang masa tertentu dan kemudian setelah perempuan terkonsolidasi secara kwalitas dan kwantitas baru kita masuk dalam era kesetaraan yang bebas quota karena perempuan dan laki- laki sudah memiliki akses yang sama dan adil., merupakan cara berpikir yang benar tetapi perlu diingat bahwa dalam mencari pemecahan suatu masalah tidak selamanya harus dimulai dari luar dan itu yang paling benar, tetapi perlu datang dari dalam atau tepatnya kaum perempuan tidak perlu mengalokasikan energi terbesar pada upaya menuntut saja tetapi sebaliknya lebih diorientasikan pada penataan dari dalam diri secara pribadi maupun secara bersama dan menunjukkan kemampuan dan karya bukan dengan melakukan kampanye yang sebatas pembicaraan alias kader modal bibir saja, alias kader banyak bicara tanpa karya yang menjawab kebutuhan diri maupun sesamanya.

Demikianlah tulisan sederhana ini dipersembahkan bagi setiap kader GMKI, teristimewa para Perempuan GMKI yang sementara berjuang dan mau membentuk diri untuk kinerja publik pasca Kongres XXX GMKI yang mulia, semoga berguna dalam upaya membangun peradaban baru, sebagaimana yang digambarkan dalam Alkitab sebagai dunia tanpa ketimpangan.

Selamat berjuang Kepala Gerakan Pasti memberkati kita, teriring salam dan doa tulus.
Ut Omnes Unum Sint. (Wilson Therik)

*) Mantan Sekretaris BPC GMKI Kupang masa bhakti 1992-1994

No comments: