Saturday, February 10, 2007

PERLU REVITALISASI GMKI

Refleksi Dies Natalis GMKI ke-57 (9 Februari 2007)

MASIH adakah Indonesia ke depan? Akan seperti apa Indonesia ketika tanah airnya tempat berpijak telah semakin rusak. Hancur dan tenggelam. Sementara, warganya pun bernasib malang tertimpa bencana demi bencana menjadi korban dan lenyap. Di tambah jika pemimpin negaranya tak lagi mampu menyelamatkan rakyat dan tanah airnya? Itulah keresahan yang mengiringi duka bangsa dan negara, yang dirasakan dan terus berusaha bangkit dari masa transisi yang berkepanjangan, bangun dari masa krisis multidimensi yang masih melanda saat menghadapi bencana demi bencana.

Pertanyaan tersebut, masih adakah Indonesia, menjadi cermin dari keadaan sebuah bangsa dan negara yang akan mengalami kepunahan (the end of state) sebagaimana itu terjadi dalam rentang sejarah dunia. Kita masih ingat bagaimana porak-porandanya negara adi daya Uni Sovyet yang hancur berkeping-keping, terpecahnya Jerman, dan hilangnya sebuah negara yang bernama Yugoslavia. Bukan mustahil, keadaan yang tak pernah kita harapkan, hancurnya sebuah negara dan punahnya sebuah Indonesia, akan dialami oleh bangsa Indonesia. Semua itu akan bergantung pada kemampuan menjaga dan memelihara eksistensi ke-Indonesia-an sebagai sebuah bangsa dan negara. Kuncinya menurut hemat saya adalah bergantung pada bagaimana sebuah bangsa mampu menyiapkan generasi dan regenerasi yang dapat menjamin keberlangsungan dan kesiapan yang memadai untuk masa depan Indonesia.

Dalam konteks itulah, mengiringi peringatan ke 57 Tahun hari ini 9 Februari 2007, hari lahirnya Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), saya mengajak seluruh anggota GMKI (baik anggota biasa maupun anggota luar biasa) untuk merenungkan tentang apa yang dapat kita persembahkan untuk menyelamatkan Indonesia, saat ini dan ke depan. Sebuah harapan, optimisme dan keyakinan, bahwa bangsa kita akan tetap mampu keluar dari krisis dan mampu menegakkan pilar-pilar kebangsaan dengan dikawal oleh generasi bangsanya yang terpanggil dengan tulus dan penuh pengabdian untuk berbuat yang terbaik bagi bangsa dan negara melalui 3 medan pelayanan GMKI yakni Gereja, Perguruan Tinggi dan Masyarakat.

Sekilas Historis

Kehadiran dan kontribusi GMKI dalam Gerakan Kebangsaan dan Gerakan Oikumene telah lahir sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, meskipun nama organisasi ini sendiri baru lahir pada 9 Februari 1950 melanjutkan usaha dari Christelijke Studenteen Vereeniging of Java, yang berdiri pada tanggal 28 Desember 1932 di Kaliurang, GMKI senantiasa hadir dan terus berupaya memberi kontribusinya dalam kehidupan kegerejaan, kehidupan bangsa dan negara serta kehidupan intelektual generasi muda/mahasiswa.

Hingga saat ini GMKI telah memiliki lebih dari 50 cabang di beberapa kota perguruan tinggi di tanah air sebagai tempat berhimpunnya mahasiswa kristen di kota perguruan tinggi. Disamping itu, GMKI juga memiliki Yayasan Bina Darma (YBD) di Kota Salatiga (yayasan yang dibentuk atas kerjasama Pengurus Pusat GMKI dan Rektor Universitas Kristen Satya Wacana) pada tanggal 17 Agustus 1979. Salah tujuan didirikannya YBD adalah untuk mencetak anggota GMKI menjadi manusia sosial yang tidak hanya mempunyai kemampuan teknis tetapi juga memiliki kemampuan analitis. Sehingga tak heran GMKI telah melahirkan kader-kader yang berperan dalam proses pembangunan, baik di bidang sosial, bidang politik, maupun di bidang ekonomi.

Kini di era reformasi dimana hak berbicara, berekspresi, berserikat, dan berpendapat dibuka lebar, sejatinya dapat dijadikan momentum emas bagi GMKI untuk meneguhkan kembali posisi dan perannya di tengah-tengah kehidupan kaum muda sebagai kekuatan sosial dan sumber perubahan. Namun, di tengah publik luas, agaknya GMKI masih dicitrakan sebagai organisasi yang cenderung eksklusif serta tak berpihak pada kepentingan rakyat banyak. Pencitraan ini muncul antara lain karena kenyataan bahwa GMKI kurang memiliki kepedulian dan belum mampu ikut menjawab masalah-masalah yang kini mendera rakyat seperti kemiskinan, kelaparan, rendahnya pendidikan, pengangguran, dan lain sebagainya.

GMKI masih mengidap penyakit kanker yang ganas merasuk di dalam tubuhnya yaitu : politiking, pragmatisme, dan primordialisme. Ketiga mentalitas dan karakter itulah yang harus segera dibongkar dan dimusnahkan terutama oleh para pimpinan dan pengurusnya di setiap tingkatan (Pusat, Cabang dan Komisariat). Selama penyakit itu bersemayam di dalam pemikiran, tindakan dan perilaku kepemimpinan di tubuh GMKI, selama itu pula GMKI akan mengalami cacat dan kemudian lumpuh. GMKI tak akan banyak berbuat, jangankan untuk menyelamatkan Indonesia, menyelamatkan dirinya saja tak berdaya.

Revitalisasi GMKI Baru

Keberadaan GMKI tidak mungkin dihapuskan dalam goretan sejarah kepemudaan di jaman Orde Baru. Seluruh organisasi kepemudaan maupun kemasyarakatan pada masa Orde Baru tidak bisa lepas dari kendali kekuasaan yang terpusat pada satu orang (Soeharto). Terpusatnya kekuasaan tersebut didukung dengan pendekatan keamanan demi stabilitas nasional, membuat negara begitu kuat dan masyarakat lemah. Lemahnya masyarakat ini diperparah lagi dengan strategi korporasi lewat pendirian sejumlah organisasi kemasyarakatan maupun profesi yang merepresentasikan kepentingan sang penguasa. Oleh karena itu, pendirian PWI misalnya dimaksudkan untuk mengendalikan wartawan; KADIN untuk mengontrol kalangan pengusaha; HKTI untuk mengontrol petani; HNSI untuk mengontrol nelayan, KOWANI untuk mengendalikan kaum wanita; MUI untuk mengendalikan para ulama dan KNPI untuk mengkooptasi pemuda (termasuk GMKI saat itu masih anggota KNPI).

Tak heran bila sebagian masyarakat masih mencitrakan organisasi ini tak ubahnya seperti ormas-ormas lainnya di masa Orde Baru yang menutup mata terhadap berbagai penyimpangan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Bahkan dianggap masih menjadi sarana kooptasi aspirasi kepemudaan yang cenderung elitis, prokekuasaan, dan eksklusif. Di tengah berbagai persoalan yang dihadapi rakyat dewasa ini, GMKI yang mewadahi potensi kaum muda/mahasiswa kristen hendaklah mentransformasikan diri menjadi kekuatan civil society yang mandiri, kuat, berdaya, kritis, kreatif, inovatif, dan memberikan solusi atas berbagai permasalahan yang berkembang di masyarakat.


Kekuatan Civil Society Baru

Tidak seperti di era Orde Baru dimana pemerintah menjadi aktor dominan yang mengontrol segala macam kekuasaan dengan Soeharto sebagai figur sentral, kini pemerintahan demokratis membuka peluang lebar bagi munculnya aktor-aktor politik baru. Di masa lalu, pemerintah, khususnya presiden, mengontrol segala aspek proses politik sehingga parlemen tak memiliki kekuatan untuk mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah yang merugikan kepentingan rakyat. Kini justru parlemen menjadi penyeimbang kekuasaan eksekutif.

Karena pemerintah tak lagi menjadi aktor dominan, maka parlemen idealnya menjadi tempat saluran formal bagi berbagai macam tuntutan dan aspirasi rakyat. Akan tetapi, ironinya parlamen masih belum menjadi harapan yang selama ini diidam-idamkan sebagian besar masyarakat. Justru, sebaliknya, parlemen sibuk dengan manuver-manuver politik yang merepresentasikan kepentingan partai belaka, seraya mengabaikan kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Pada saat yang bersamaan, di tubuh partai politik itu sendiri terjadi konflik-konflik dan perebutan kekuasaan sehingga berbagai permasalahan yang kini tengah didera rakyat –seperti kemiskinan, pengangguran, dan kelaparan-luput dari perhatian.

Ketika parlemen dan partai-partai politik sibuk dengan urusannya sendiri, GMKI sebagai wadah berkumpulnya mahasiswa kristen Indonesia sejatinya bisa memainkan peran sebagai kekuatan civil society yang mengawasi jalannya proses demokratisasi. Sebab, proses demokratisasi di tanah air tampaknya tak cukup hanya diserahkan kepada partai-partai politik yang kini cenderung berebut kekuasaan untuk menempatkan kader-kadernya di kabinet. Itu sebabnya, kehadiran GMKI sebagai kekuatan civil society sangatlah relevan di tengah carut-marut kehidupan bangsa dan negara.

Tampaknya kondisi saat ini membutuhkan kehadiran civil society yang tidak hanya melancarkan kritik semata, melainkan juga memberikan tawaran solusi atas berbagai persoalan yang kini dihadapi bangsa dan negara. Suatu civil society yang bersinergi dengan negara agar berbagai kebijakan yang dikeluarkannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan membangun sinergi dengan negara tidak berarti GMKI sebagai kekuatan civil society kehilangan daya kritisnya. Justru pada saat yang bersamaan ia bisa menjadi penyeimbang antara kekuasaan negara dan kedaulatan rakyat sekaligus bisa berfungsi juga sebagai kekuatan kontrol sosial.

Dengan menempatkan GMKI sebagai basis kekuatan masyarakat sipil yang demokratis, maka GMKI diharapkan akan tetap ikut menjaga eksistensi ke-Indonesia-an. GMKI masih dianggap penting karena di dalamnya mewadahi kekuatan generasi muda/mahasiswa sebagai generasi bangsa. GMKI juga menjadi wadah dan organisasi yang masih efektif untuk membangun solidaritas sosial dan soliditas sebuah generasi bangsa. Di dalam kelembagaan GMKI, perjuangan eksistensi ke-Indonesia-an masih tetap menjadi komitmen final karena GMKI menyandang nilai-nilai kebangsaan yang saat ini patut dilestarikan dan tidak dapat terjaga dengan sendirinya,melainkan harus terus menerus dijaga revitalisasinya seperti semangat sebagai sebuah bangsa dan negara bersatu, GMKI, Pancasila. Dan yang terutama, GMKI secara alami terkait dengan regenerasi dan alih kepemimpinan yang akan terus berlangsung kontinyu dalam sirkulasi perjalanan bangsa dan negara. Tinggilah Imanmu, Tinggilah Ilmumu, Tinggilah Pengabdianmu. Selamat Ulang Tahun Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia ke-57.

Ut Omnest Unum Sint.

Wednesday, January 17, 2007

MENELUSURI SEJARAH DI NTT LEWAT MUSEUM DAERAH

oleh

Didit Ernanto


KUPANG - Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki tiga museum, yaitu Museum Daerah NTT yang ada di Kota Kupang, Museum Bikonblewut di Maumere, Kabupaten Sikka, dan Museum Siput di Larantuka, Kabupaten Flores Timur. SH beruntung dapat berkunjung ke salah satu museum yang ada di provinsi berjuluk “Pintu Gerbang Selatan Kawasan Asia Pasifik” ini.


Museum yang sempat dikunjungi adalah Museum Daerah NTT. Memasuki museum yang terletak di kawasan Jl El Tari, Kota Kupang ini seakan merupakan napak tilas peristiwa di masa lalu yang terjadi di NTT. Berbagai benda koleksi museum mengajak kita menelusuri sejarah NTT, mulai dari zaman batu, zaman perunggu, zaman penjajahan, hingga peristiwa yang terjadi belum lama ini.

"Semua benda merupakan temuan di NTT," papar Rosalia, staf Museum Daerah NTT.

Benda purbakala yang menjadi koleksi antara lain tengkorak manusia purba homo florensis yang ditemukan di Ruteng, Manggarai. Tengkorak ini diperkirakan berumur 95.000-11.000 tahun.

Kemudian ada berbagai senjata yang dimiliki oleh manusia purba, di antaranya adalah kapak perunggu. Benda arkeolog ini merupakan bukti mozaik perjalanan kehidupan manusia berikut budaya pra sejarah di NTT. Perjalanan sejarah yang panjang yang diwarnai dengan nilai-nilai tradisi dan kehidupan masyarakat tradisional.

Tradisi dari masyarakat tradisional yang ada di NTT ini diperlihatkan melalui berbagai benda seperti berbagai jenis gerabah serta benda yang disebut mokokukang. Mokokukang merupakan mas kawin yang berlaku di Suku Abui. "Sampai sekarang mokokukang masih dipakai sebagai maskawin," tutur Rosalia. Pemberian mokokukang sebagai maskawin juga menjadi simbol status yang berlaku di Suku Abui. Mokokukang terbuat dari perunggu.

Koleksi Museum Daerah NTT yang banyak menarik perhatian adalah rumah tradisional suku-suku di NTT. Rumah tradisional berbentuk setengah lingkaran yang terbuat dari alang-alang ini merupakan pusat kegiatan masyarakat tradisional. Mulai dari tidur sampai memasak dilakukan di dalam rumah. Hal tersebut disimbolkan dalam bentuk tiang rumah yang disebut dengan ni ainaf atau tiang feminin.

Tiang lainnya disebut hau monef atau tiang maskulin. Rumah tradisional ini dilengkapi dengan tempat persembahan yang disebut dengan hau monef. Rumah tradisional ini memiliki nama yang berbeda-beda. Di Alor disebut tofa dan di Ende disebut dengan saoria. Biasanya hanya keluarga inti yang menempati rumah tradisonal ini.


Bendera Satu Kilometer

Benda-benda lainnya adalah alat-alat tenun ikat dan produk tenun ikat khas NTT. Tak lupa pula baju adat seperti yang berasal dari Alor. Kemudian ada berbagai persenjataan di zaman penjajahan seperti peluru kendali, pedang bersarung peninggalan Belanda yang ditemukan di Ngada, Flores, serta berbagai peralatan maritim seperti teropong, lampu, dan meriam.

Benda lainnya yang merupakan peninggalan pada zaman penjajahan adalah ranjau laut yang dipakai pada Perang Dunia II. Sementara itu, benda peninggalan zaman abad ke-19 berupa keramik eropa. Berbagai keramik berbentuk seperti piring dan mangkuk ini berasal dari Skotlandia dan Belanda.

Koleksi lain yang mewakili abad 20 adalah tulang ikan paus sepanjang 20 meter. Tulang ini merupakan tulang dari ikan paus yang ditemukan di Pantai Pasirpanjang, Kupang, tahun 1972. Tulang ikan paus ini ditempatkan di ruangan terpisah. Di antara tulang ikan paus ini dipamerkan pula perahu tradisional yang dipakai untuk memburu ikan paus.

Tersisa satu cerita menarik tentang perburuan ikan paus tersebut. Konon, ikan paus tersebut diburu nelayan di Pantai Pasirpanjang. Kendati sempat terkena tombak nelayan, ikan paus ini tidak serta-merta mati. Ikan paus sempat melarikan diri ke perairan lainnya. Namun sebelum mati, ikan paus tersebut kembali lagi ke kawasan Pantai Pasirpanjang.

Satu koleksi Museum Daerah NTT yang tak boleh dilewatkan adalah bendera Merah Putih sepanjang satu kilometer. Bendera Merah Putih ini dibuat oleh Front Pembela Merah Putih yang dikomandoi oleh Eurico Guiterez semasa jajak pendapat di Timor Timur sekitar tahun 1999.

Keberadaan Museum Daerah NTT memang laik dikunjungi oleh pelancong yang benar-benar ingin mengetahui tentang sejarah kehidupan dan peristiwa yang terjadi di NTT. (Sinar Harapan/wmat)

Friday, January 5, 2007

MENGEMBALIKAN FUNGSI PERBANKAN

Oleh: Rachmad Satriotomo *)

BANK, sebagaimana mestinya adalah intermediator yang berfungsi menyalurkan uang dari pemilik modal kepada sektor riil yang membutuhkan modal. Bank idealnya mengumpulkan dana dari masyarakat pemilik modal untuk kemudian disalurkan kembali kepada komponen masyarakat yang lain yang membutuhkan modal tersebut. Dengan demikian maka sektor perbankan telah menjalankan fungsi intermediasinya sebagai mediator antara sector finansial dengan sektor riil. Namun realitas yang terjadi ternyata tidak selalu demikian. Bank memang menjalankan fungsinya yang pertama, yaitu mengumpulkan dana masyarakat secara konsisten, tapi tidak selalu konsisten dalam menyalurkan dana tersebut ke sector riil. Yang terjadi saat ini adalah Bank mengumpulkan dana publik tersebut untuk kemudian diputar kembali di sektor finansial, seperti SBI.

Tingkat Suku Bunga Perbankan Dunia perbankan yang menjalankan fungsi intermediasinya dengan benar seharusnya memiliki tingkat suku bunga yang kompetitif terhadap return investasi di sektor riil. Sektor riil lah yang `memberi makan' sekor finansial, sektor riil lah yang menentukan penghasilan sektor finansial, bukan sector finansial yang menentukan berapa harga yang harus dibayar oleh sektor riil kepadanya. Namun yang terjadi saat ini tidaklah seperti itu, tingkat suku bunga perbankan terus naik tanpa disertai kemampuan sector riil untuk membayarnya. Hal ini dapat terjadi karena tingkat suku bunga yang ditawarkan instrumen financial lebih menjanjikan ketimbang return berinvestasi di sektor riil, akibatnya suku bunga pinjaman pun meningkat. Keadaan ini mengakibatkan return sector riil tidak lagi kompetitif terhadap suku bunga pinjaman karena tingkat suku bunga perbankan lebih dipengaruhi oleh suku bunga instrumen financial seperti SBI daripada oleh kinerja sektor riil. Akibatnya jelas, sektor riil menjadi lesu akibat kekurangan modal yang berujung pada meluasnya pengangguran.
BI Rate
Setelah terus turun secara agresif, BI rate per 7 November 2006 berada pada kisaran 10.25%, dengan ekspektasi inflasi sekitar 8 persen, maka saat ini Indonesia menawarkan suku bunga riil sekitar 2.25%, jumlah yang ternyata masih cukup besar mengingat Amerika Serikat saja hanya mampu menawarkan suku bunga riil dibawah 2%. Maka tidak mengherankan jika instrumen keuangan kita seperti SBI dan SUN laris dibeli investor asing. Uang pun mengalir ke dalam negeri, efeknya adalah rupiah menguat yang berimbas pada surplusnya perdagangan kita, cadangan devisa pun menguat. Yang perlu diingat adalah uang tersebut bersifat short term investment yang sewaktu-waktu dapat keluar dari Indonesia, dengan kata lain penguatan rupiah itu pun menjadi bersifat sementara dan labil. Tapi, bukankah yang terpenting dalam perkeonomian adalah stabilitas? Lalu untuk apa kita mengejar uang panas seperti itu?

Tak ubahnya investor asing, investor domestik pun tidak mampu menampik BI rate yang demikian menggiurkan. Hal ini terlihat dari dana perbankan yang tidak masuk ke sektor riil, per Mei 2006 dana itu mencapai Rp 393 triliun atau sekitar sepertiga dari total dana masyarakat yang diserap perbankan. Dana tersebut diputar lagi di sektor finansial melalui instrumen seperti SBI dan SUN. Celakanya lagi, bahkan Pemda pun ikut-ikutan membeli SBI melalui BPD(Bank Pembangunan Daerah)-nya. Dana perimbangan daerah yang sedianya untuk mempercepat pertumbuhan di daerah malah digunakan untuk mencari uang di sektor finansial. Per Maret 2006, kepemilikan BPD di SBI mencapai Rp 70 triliun atau sepertiga dari total dana perimbangan daerah. Akibatnya adalah pembangunan infrastruktur di daerah menjadi terbengkalai. Ironis, mengingat dana perimbangan daerah sejatinya digunakan untuk mengurangi kesenjangan antara pusat dengan daerah melalui pembangunan berbagai sarana dan prasarana, bukannya untuk digandakan di pasar uang.

Efek lain yang harus ditanggung dengan BI rate yang tinggi adalah tingginya biaya pengendalian moneter. Pada tahun 2005 biaya pengendalian moneter mencapai Rp 18 triliun dan pada tahun 2006 ini diperkirakan akan mencapai Rp 20 triliun. Dana ini diambil dari APBN, dimana komponen penerimaan terbesar dalam APBN kita adalah dari sektor pajak. Sedangkan tujuan pajak sendiri adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan fasilitas publik. Artinya, alih-alih pajak yang dibayarkan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ternyata malah digunakan untuk membayar uang yang menganggur

Sistem Alternatif
Sistem ekonomi kita yang sekarang yang memberi ruang sangat besar pada sektor finansial untuk melakukan spekulasi ternyata menimbulkan efek-efek yang tidak ramah kepada kesejahteraan publik. Tindakan spekulasi yang mampu mencetak untung dan rugi dalam waktu singkat, membuat orang menjadi malas berinvestasi di sektor riil. Karena sifatnya yang instan, orang jadi lebih tertarik melakukan spekulasi ketimbang investasi, kasarnya orang lebih suka berjudi dari pada bekerja (Tapi karena orang suka, maka spekulasi tidak disebut judi, tapi diperhalus menjadi investasi jangka pendek). Apalagi dengan adanya instrumen keuangan berbasis negara seperti SBI dan SUN yang boleh dikatakan tanpa risiko default, membuat kegiatan spekulasi ini makin menyenangkan. Contohnya adalah suku bunga SBI, tingginya suku bunga SBI adalah menyenangkan bagi pemilik modal, tapi sebaliknya bagi dunia usaha. Intervensi SBI terhadap tingkat suku bunga perbankan dirasa sudah mengganggu keseimbangan pasar uang, suku bunga SBI yang tinggi membuat harga uang menjadi mahal, akibatnya sektor riil harus bekerja lebih keras untuk membiayai operasionalnya. Jika suku bunga terlalu tinggi, sektor riil yang bekerja dan menanggung risiko usaha justru biasanya hanya mendapat sedikit dari hasil usahanya, sebagian besar habis untuk membayar bunga yang tinggi, sedangkan sektor finansial yang tidak bekerja dan tidak menanggung risiko justru mencetak laba yang tinggi. Bukankah yang seperti ini bisa dibilang pemerasan sistematis? Skenario paling pesimisnya adalah bahwa sektor perbankan saat ini disebut sebagai mesin transfer yang memindahkan uang secara otomatis dari tempat yang kekurangan uang (debitor) ke tempat yang kelebihan uang (kreditor).

Tidak ada cara lain, untuk menyelamatkan perekonomian, kita harus membenahi dulu sistem perbankan kita dengan cara mengembalikan logika bahwa sektor riil-lah yang menentukan pendapatan sektor finansial, bukan sector finansial yang menetapkan harga yang harus dibayar oleh sektor riil atas dana yang dipinjamnya. Jadi menurut saya sudah jelas, bahwa sudah saatnya bagi kita untuk mengakui bahwa sistem ekonomi bunga tidak mampu dalam memberikan manfaat ekonomi bagi seluruh komponen masyarakat, terutama masyarakat ekonomi lemah. Jadi mari kita katakan, welcome free interest economy. (rrk/wmat).

*) Staf Divisi Kajian & Riset Kanopi IE-FEUI

KISAH DARI BANDA ACEH

Ini kisah saudara kami di Aceh, yang lagi sibuk Pesta Pilkada.

Ada seorang Aceh dari kabupaten Pidie, menulis surat kepada anaknya yang ada dipenjara Nusa Kambangan karena dituduh terlibat GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Bunyinya: "Hasan, bapakmu ini sudah tua, sekarang sedang musim tanam jagung, dan kamu ditahan di penjara pula, siapa yang mau bantu bapak mencangkul kebun jagung ini?

Eh, anaknya membalas surat itu beberapa minggu kemudian. "Demi Tuhan, jangan cangkul itu kebun, saya tanam senjata di sana," kata si anak dalam surat itu. Rupanya surat itu disensor pihak rumah tahanan, maka keesokan harinya setelah si bapak terima surat, datang satu peleton tentara dari kota Medan. Tanpa banyak bicara mereka segera ke kebun jagung dan sibuk seharian mencangkul tanah di kebun tersebut. Setelah mereka pergi, kembali si bapak tulis surat ke anaknya.

"Hasan, setelah bapak terima suratmu, datang satu peleton tentara mencari senjata di kebun jagung kita, namun tanpa hasil. Apa yang harus bapak lakukan sekarang?"

Si anak kembali membalas surat tersebut, "Sekarang bapak mulailah menanam jagung, kan sudah Bantu dicangkul sama tentara. Jangan lupa ngucapin terima kasih sama mereka." Pihak rumah tahanan yang menyensor surat ini bengong dan jatuh pingsan. (rrk/wmat)


Monday, January 1, 2007

MENYAMBUT TAHUN 2007

Oleh: WILSON M.A. THERIK, S.E *)

SORE ITU, setelah saya selesai mengikuti perayaan Natal Oikumene di lingkungan Asrama Mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga bersama dengan umat nasrani di sekitar Asrama tempat saya tinggal selama studi di Program Pascasarjana UKSW, puluhan kaum Ibu asyik ngobrol ke sana ke mari. Mulai dari berita selebritis, berita lumpur lapindo, bencana alam dan janji-janji bantuan yang tak pernah datang, berita smackdown, berita politik terkini, kenaikan harga beras, sampai pada gaji suami mereka yang tidak ikut naik, mereka bahas. Tapi, yang menarik ketika itu dibahas, dan mengajak kita pada sebuah perenungan adalah, saat dipertanyakan apakah kita masih bisa menjalani Tahun 2007, yang agaknya makin penuh dengan tantangan? Ketika kaum ibu yang notabene berumur antara 30 sampai 60-an tahun itu membahasnya. Salah seorang ibu yang berprofesi sebagai manajer di sebuah perusahaan swasta berkata, “harga beras dan sembako pada naik, tapi gaji kita di kantor tetap saja segitu. Sedangkan kebutuhan sehari-hari makin meningkat, apa kita nggak pusing”

Lalu, seorang ibu yang hanya mengandalkan suaminya yang seorang sopi angkutan umum untuk memenuhi nafkah keluarganya, menanggapi “kamu masih enak, dapat gaji tiap bulan dari kantor. Dan suamimu masih dapat tunjangan kesehatan dari kantor kalau ada keluarganya yang sakit. Sekarang biaya berobat pun mahal, apa kita tak babak-belur. Belum lagi pengangguran makin bertumpuk. Kemarin ada seorang karyawan yang membakar kantornya, karena ia di pecat. Bayangkan, dia hanya digaji Rp500.000 per bulan dengan anak dua dan seorang istri, tapi pimpinannya masih tega pecat dia di saat krisis ekonomi sekarang. Di satu sisi karyawan tadi gelap mata, karena merasa tak bisa berbuat apa-apa lagi kalau ia di-PHK. Di sisi lain, pimpinannya tak berpikir panjang dalam membuat sebuah keputusan, sehingga kantornya pun dibakar. Ini-lah realitas hidup yang membuat kita makin khawatir dan resah. Sehingga kita serahkan saja hidup kita ini pada Tuhan” katanya pasrah.

Seorang ibu lagi ikut memberi pendapatnya, dia mengeluhkan pengeluaran dalam rumah tangganya, yang katanya makin banyak. Mulai dari membeli kebutuhan sehari-hari, ongkos dan jajan anak-anak di sekolah serta biaya-biaya lain yang kian meningkat. “Sedangkan suami saya hanya bergaji Rp1 Juta sebulan, bagaimana mau menghidupi dua anak kalau tinggal di Salatiga ini”, kata ibu rumah tangga itu. Kemudian datang seorang Bapak untuk menghibur dan memberi solusi. “Meskipun keadaan ekonomi, politik dan keamanan di tengah negara ini makin tak menentu, sebagai pengikut Kristus kita harus tetap beriman. Beriman artinya, tak cukup hanya berdoa. Kita harus berjuang, karena ciri orang beriman adalah bekerja sambil berdoa. Karena iman tanpa perbuatana adalah sia-sia. Krisis ekonomi yang kita alami memang kadang diizinkan Tuhan agar kita makin dewasa dan lebih kreatif.” Terangnya

Si Bapak yang juga karyawan di sebuah kantor swasta, dan aktif di kegiatan gerejawi ini menambahkan, tokoh-tokoh di Alkitab harus kita jadikan teladan untuk mengetahui hidup ini. “Lihat Yusuf, dulu dia pernah dijual saudara-saudaranya, difitnah dan dimasukkan ke penjara. Tapi, itu merupakan proses dari Tuhan sebelum dia diangkat menjadi Perdana Menteri di Mesir. Juga Daud, pernah dikejar-kejar Raja Saul untuk dibunuh, tapi ia berserah pada Tuhan sehingga ia selamat. Hingga akhirnya dia menjadi raja yang sukses di Israel. Jadi, jangan terlalu khawatir akan hidup ini, karena tokoh-tokoh Alkitab pun dulu menderita. Tapi, di balik penderitaan mereka itu ada berkat Tuhan. Jadi, krisis boleh datang, tapi tangan Tuhan tetap menopang anak-anakNya yang senantiasa serta mengikutiNya.” Terangnya.

Selanjutnya di Bapak ini mengutip ayat Alkitab, Lukas 6:25-27 tentang kekhawatiran. “Di situ sampai dua kali Tuhan menegaskan agar kita jangan khawatir akan hidup ini, akan apa yang kita makan atau minum. Bukankah hidup ini lebih penting dari pakaian. Dikatakan Tuhan, agar kita melihat burung-burung di langit, yang tidak menabur, namun diberi makan oleh Bapa kita. Apakah dengan khawatir, lalu ada penambahan kualitas dalam hidup kita. Jadi firman Tuhan ini mesti kita imani. Makanya, apapun keadaannya kita haurs tetap bersyukur. Yang penting sekarang, bagaimana kita bisa tenang, lalu berdoa syafaat untuk gereja, bangsa dan keluarga kita masing-masing. Dan, kita jangan percaya pada ramalan-ramalan yang menyesatkan. Pada setiap awal tahun, sering para peramal di media massa mengatakan bahwa tahun ini dan itu adalah tahun monyet, tahun ular, tahun kambing, bahkan tahun kecoa yang perlu diwaspadai. Itu jangan dipercayai, tapi ingatlah Tahun 2007 adalah tahun penuh berkat pada kita semua”, terang Bapak yang sering memberi siraman rohani dalam beberapa kegiatan kerohanian di Asrama tempat saya tinggal.

Apa yang dibicarakan oleh kaum ibu tadi, barangkali juga menjadi pembicaraan kita saat ini. Dan, apa yang dikatakan oleh si bapak tadi memang tepat bahwa kita jangan khawatir dalam hidup ini. Tetap saja jalani hidup ini dengan ungkapan syukur, namun tetap bekerja dan mencari inovasi-inovasi untuk menunjang hidup. Untuk menghadapi Tahun 2007 yang memang penuh dengan tantangan, kita seharus belajar dari pengalaman kita menjalani tahun 1997 lalu, saat krisis moneter yang dahsyat menerpa Indonesia. Ketika krisis itu menghantam negeri ini, tentunya kita sempat khawatir, bukan mungkin ada yang stress. Hanya saja, yang patut kita renungkan sekarang adalah, kalau sampai sekarang kita masih bisa dengan sehat menjalani Tahun 2006, berarti tangan Tuhan yang tidak kelihatan itu masih menopang kita. Karenanya, tetap percaya bahwa Tuhan menyertai kita sepanjang hidup kita. Dan, kiranya di Tahun 2007 nanti kita senantiasa diberi kesehatan, kecukupan, kedamaian dan kesejahteraan oleh Tuhan, Selamat Tahun Baru 2007