Monday, January 1, 2007

MENYAMBUT TAHUN 2007

Oleh: WILSON M.A. THERIK, S.E *)

SORE ITU, setelah saya selesai mengikuti perayaan Natal Oikumene di lingkungan Asrama Mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga bersama dengan umat nasrani di sekitar Asrama tempat saya tinggal selama studi di Program Pascasarjana UKSW, puluhan kaum Ibu asyik ngobrol ke sana ke mari. Mulai dari berita selebritis, berita lumpur lapindo, bencana alam dan janji-janji bantuan yang tak pernah datang, berita smackdown, berita politik terkini, kenaikan harga beras, sampai pada gaji suami mereka yang tidak ikut naik, mereka bahas. Tapi, yang menarik ketika itu dibahas, dan mengajak kita pada sebuah perenungan adalah, saat dipertanyakan apakah kita masih bisa menjalani Tahun 2007, yang agaknya makin penuh dengan tantangan? Ketika kaum ibu yang notabene berumur antara 30 sampai 60-an tahun itu membahasnya. Salah seorang ibu yang berprofesi sebagai manajer di sebuah perusahaan swasta berkata, “harga beras dan sembako pada naik, tapi gaji kita di kantor tetap saja segitu. Sedangkan kebutuhan sehari-hari makin meningkat, apa kita nggak pusing”

Lalu, seorang ibu yang hanya mengandalkan suaminya yang seorang sopi angkutan umum untuk memenuhi nafkah keluarganya, menanggapi “kamu masih enak, dapat gaji tiap bulan dari kantor. Dan suamimu masih dapat tunjangan kesehatan dari kantor kalau ada keluarganya yang sakit. Sekarang biaya berobat pun mahal, apa kita tak babak-belur. Belum lagi pengangguran makin bertumpuk. Kemarin ada seorang karyawan yang membakar kantornya, karena ia di pecat. Bayangkan, dia hanya digaji Rp500.000 per bulan dengan anak dua dan seorang istri, tapi pimpinannya masih tega pecat dia di saat krisis ekonomi sekarang. Di satu sisi karyawan tadi gelap mata, karena merasa tak bisa berbuat apa-apa lagi kalau ia di-PHK. Di sisi lain, pimpinannya tak berpikir panjang dalam membuat sebuah keputusan, sehingga kantornya pun dibakar. Ini-lah realitas hidup yang membuat kita makin khawatir dan resah. Sehingga kita serahkan saja hidup kita ini pada Tuhan” katanya pasrah.

Seorang ibu lagi ikut memberi pendapatnya, dia mengeluhkan pengeluaran dalam rumah tangganya, yang katanya makin banyak. Mulai dari membeli kebutuhan sehari-hari, ongkos dan jajan anak-anak di sekolah serta biaya-biaya lain yang kian meningkat. “Sedangkan suami saya hanya bergaji Rp1 Juta sebulan, bagaimana mau menghidupi dua anak kalau tinggal di Salatiga ini”, kata ibu rumah tangga itu. Kemudian datang seorang Bapak untuk menghibur dan memberi solusi. “Meskipun keadaan ekonomi, politik dan keamanan di tengah negara ini makin tak menentu, sebagai pengikut Kristus kita harus tetap beriman. Beriman artinya, tak cukup hanya berdoa. Kita harus berjuang, karena ciri orang beriman adalah bekerja sambil berdoa. Karena iman tanpa perbuatana adalah sia-sia. Krisis ekonomi yang kita alami memang kadang diizinkan Tuhan agar kita makin dewasa dan lebih kreatif.” Terangnya

Si Bapak yang juga karyawan di sebuah kantor swasta, dan aktif di kegiatan gerejawi ini menambahkan, tokoh-tokoh di Alkitab harus kita jadikan teladan untuk mengetahui hidup ini. “Lihat Yusuf, dulu dia pernah dijual saudara-saudaranya, difitnah dan dimasukkan ke penjara. Tapi, itu merupakan proses dari Tuhan sebelum dia diangkat menjadi Perdana Menteri di Mesir. Juga Daud, pernah dikejar-kejar Raja Saul untuk dibunuh, tapi ia berserah pada Tuhan sehingga ia selamat. Hingga akhirnya dia menjadi raja yang sukses di Israel. Jadi, jangan terlalu khawatir akan hidup ini, karena tokoh-tokoh Alkitab pun dulu menderita. Tapi, di balik penderitaan mereka itu ada berkat Tuhan. Jadi, krisis boleh datang, tapi tangan Tuhan tetap menopang anak-anakNya yang senantiasa serta mengikutiNya.” Terangnya.

Selanjutnya di Bapak ini mengutip ayat Alkitab, Lukas 6:25-27 tentang kekhawatiran. “Di situ sampai dua kali Tuhan menegaskan agar kita jangan khawatir akan hidup ini, akan apa yang kita makan atau minum. Bukankah hidup ini lebih penting dari pakaian. Dikatakan Tuhan, agar kita melihat burung-burung di langit, yang tidak menabur, namun diberi makan oleh Bapa kita. Apakah dengan khawatir, lalu ada penambahan kualitas dalam hidup kita. Jadi firman Tuhan ini mesti kita imani. Makanya, apapun keadaannya kita haurs tetap bersyukur. Yang penting sekarang, bagaimana kita bisa tenang, lalu berdoa syafaat untuk gereja, bangsa dan keluarga kita masing-masing. Dan, kita jangan percaya pada ramalan-ramalan yang menyesatkan. Pada setiap awal tahun, sering para peramal di media massa mengatakan bahwa tahun ini dan itu adalah tahun monyet, tahun ular, tahun kambing, bahkan tahun kecoa yang perlu diwaspadai. Itu jangan dipercayai, tapi ingatlah Tahun 2007 adalah tahun penuh berkat pada kita semua”, terang Bapak yang sering memberi siraman rohani dalam beberapa kegiatan kerohanian di Asrama tempat saya tinggal.

Apa yang dibicarakan oleh kaum ibu tadi, barangkali juga menjadi pembicaraan kita saat ini. Dan, apa yang dikatakan oleh si bapak tadi memang tepat bahwa kita jangan khawatir dalam hidup ini. Tetap saja jalani hidup ini dengan ungkapan syukur, namun tetap bekerja dan mencari inovasi-inovasi untuk menunjang hidup. Untuk menghadapi Tahun 2007 yang memang penuh dengan tantangan, kita seharus belajar dari pengalaman kita menjalani tahun 1997 lalu, saat krisis moneter yang dahsyat menerpa Indonesia. Ketika krisis itu menghantam negeri ini, tentunya kita sempat khawatir, bukan mungkin ada yang stress. Hanya saja, yang patut kita renungkan sekarang adalah, kalau sampai sekarang kita masih bisa dengan sehat menjalani Tahun 2006, berarti tangan Tuhan yang tidak kelihatan itu masih menopang kita. Karenanya, tetap percaya bahwa Tuhan menyertai kita sepanjang hidup kita. Dan, kiranya di Tahun 2007 nanti kita senantiasa diberi kesehatan, kecukupan, kedamaian dan kesejahteraan oleh Tuhan, Selamat Tahun Baru 2007