Friday, January 5, 2007

MENGEMBALIKAN FUNGSI PERBANKAN

Oleh: Rachmad Satriotomo *)

BANK, sebagaimana mestinya adalah intermediator yang berfungsi menyalurkan uang dari pemilik modal kepada sektor riil yang membutuhkan modal. Bank idealnya mengumpulkan dana dari masyarakat pemilik modal untuk kemudian disalurkan kembali kepada komponen masyarakat yang lain yang membutuhkan modal tersebut. Dengan demikian maka sektor perbankan telah menjalankan fungsi intermediasinya sebagai mediator antara sector finansial dengan sektor riil. Namun realitas yang terjadi ternyata tidak selalu demikian. Bank memang menjalankan fungsinya yang pertama, yaitu mengumpulkan dana masyarakat secara konsisten, tapi tidak selalu konsisten dalam menyalurkan dana tersebut ke sector riil. Yang terjadi saat ini adalah Bank mengumpulkan dana publik tersebut untuk kemudian diputar kembali di sektor finansial, seperti SBI.

Tingkat Suku Bunga Perbankan Dunia perbankan yang menjalankan fungsi intermediasinya dengan benar seharusnya memiliki tingkat suku bunga yang kompetitif terhadap return investasi di sektor riil. Sektor riil lah yang `memberi makan' sekor finansial, sektor riil lah yang menentukan penghasilan sektor finansial, bukan sector finansial yang menentukan berapa harga yang harus dibayar oleh sektor riil kepadanya. Namun yang terjadi saat ini tidaklah seperti itu, tingkat suku bunga perbankan terus naik tanpa disertai kemampuan sector riil untuk membayarnya. Hal ini dapat terjadi karena tingkat suku bunga yang ditawarkan instrumen financial lebih menjanjikan ketimbang return berinvestasi di sektor riil, akibatnya suku bunga pinjaman pun meningkat. Keadaan ini mengakibatkan return sector riil tidak lagi kompetitif terhadap suku bunga pinjaman karena tingkat suku bunga perbankan lebih dipengaruhi oleh suku bunga instrumen financial seperti SBI daripada oleh kinerja sektor riil. Akibatnya jelas, sektor riil menjadi lesu akibat kekurangan modal yang berujung pada meluasnya pengangguran.
BI Rate
Setelah terus turun secara agresif, BI rate per 7 November 2006 berada pada kisaran 10.25%, dengan ekspektasi inflasi sekitar 8 persen, maka saat ini Indonesia menawarkan suku bunga riil sekitar 2.25%, jumlah yang ternyata masih cukup besar mengingat Amerika Serikat saja hanya mampu menawarkan suku bunga riil dibawah 2%. Maka tidak mengherankan jika instrumen keuangan kita seperti SBI dan SUN laris dibeli investor asing. Uang pun mengalir ke dalam negeri, efeknya adalah rupiah menguat yang berimbas pada surplusnya perdagangan kita, cadangan devisa pun menguat. Yang perlu diingat adalah uang tersebut bersifat short term investment yang sewaktu-waktu dapat keluar dari Indonesia, dengan kata lain penguatan rupiah itu pun menjadi bersifat sementara dan labil. Tapi, bukankah yang terpenting dalam perkeonomian adalah stabilitas? Lalu untuk apa kita mengejar uang panas seperti itu?

Tak ubahnya investor asing, investor domestik pun tidak mampu menampik BI rate yang demikian menggiurkan. Hal ini terlihat dari dana perbankan yang tidak masuk ke sektor riil, per Mei 2006 dana itu mencapai Rp 393 triliun atau sekitar sepertiga dari total dana masyarakat yang diserap perbankan. Dana tersebut diputar lagi di sektor finansial melalui instrumen seperti SBI dan SUN. Celakanya lagi, bahkan Pemda pun ikut-ikutan membeli SBI melalui BPD(Bank Pembangunan Daerah)-nya. Dana perimbangan daerah yang sedianya untuk mempercepat pertumbuhan di daerah malah digunakan untuk mencari uang di sektor finansial. Per Maret 2006, kepemilikan BPD di SBI mencapai Rp 70 triliun atau sepertiga dari total dana perimbangan daerah. Akibatnya adalah pembangunan infrastruktur di daerah menjadi terbengkalai. Ironis, mengingat dana perimbangan daerah sejatinya digunakan untuk mengurangi kesenjangan antara pusat dengan daerah melalui pembangunan berbagai sarana dan prasarana, bukannya untuk digandakan di pasar uang.

Efek lain yang harus ditanggung dengan BI rate yang tinggi adalah tingginya biaya pengendalian moneter. Pada tahun 2005 biaya pengendalian moneter mencapai Rp 18 triliun dan pada tahun 2006 ini diperkirakan akan mencapai Rp 20 triliun. Dana ini diambil dari APBN, dimana komponen penerimaan terbesar dalam APBN kita adalah dari sektor pajak. Sedangkan tujuan pajak sendiri adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan fasilitas publik. Artinya, alih-alih pajak yang dibayarkan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, ternyata malah digunakan untuk membayar uang yang menganggur

Sistem Alternatif
Sistem ekonomi kita yang sekarang yang memberi ruang sangat besar pada sektor finansial untuk melakukan spekulasi ternyata menimbulkan efek-efek yang tidak ramah kepada kesejahteraan publik. Tindakan spekulasi yang mampu mencetak untung dan rugi dalam waktu singkat, membuat orang menjadi malas berinvestasi di sektor riil. Karena sifatnya yang instan, orang jadi lebih tertarik melakukan spekulasi ketimbang investasi, kasarnya orang lebih suka berjudi dari pada bekerja (Tapi karena orang suka, maka spekulasi tidak disebut judi, tapi diperhalus menjadi investasi jangka pendek). Apalagi dengan adanya instrumen keuangan berbasis negara seperti SBI dan SUN yang boleh dikatakan tanpa risiko default, membuat kegiatan spekulasi ini makin menyenangkan. Contohnya adalah suku bunga SBI, tingginya suku bunga SBI adalah menyenangkan bagi pemilik modal, tapi sebaliknya bagi dunia usaha. Intervensi SBI terhadap tingkat suku bunga perbankan dirasa sudah mengganggu keseimbangan pasar uang, suku bunga SBI yang tinggi membuat harga uang menjadi mahal, akibatnya sektor riil harus bekerja lebih keras untuk membiayai operasionalnya. Jika suku bunga terlalu tinggi, sektor riil yang bekerja dan menanggung risiko usaha justru biasanya hanya mendapat sedikit dari hasil usahanya, sebagian besar habis untuk membayar bunga yang tinggi, sedangkan sektor finansial yang tidak bekerja dan tidak menanggung risiko justru mencetak laba yang tinggi. Bukankah yang seperti ini bisa dibilang pemerasan sistematis? Skenario paling pesimisnya adalah bahwa sektor perbankan saat ini disebut sebagai mesin transfer yang memindahkan uang secara otomatis dari tempat yang kekurangan uang (debitor) ke tempat yang kelebihan uang (kreditor).

Tidak ada cara lain, untuk menyelamatkan perekonomian, kita harus membenahi dulu sistem perbankan kita dengan cara mengembalikan logika bahwa sektor riil-lah yang menentukan pendapatan sektor finansial, bukan sector finansial yang menetapkan harga yang harus dibayar oleh sektor riil atas dana yang dipinjamnya. Jadi menurut saya sudah jelas, bahwa sudah saatnya bagi kita untuk mengakui bahwa sistem ekonomi bunga tidak mampu dalam memberikan manfaat ekonomi bagi seluruh komponen masyarakat, terutama masyarakat ekonomi lemah. Jadi mari kita katakan, welcome free interest economy. (rrk/wmat).

*) Staf Divisi Kajian & Riset Kanopi IE-FEUI

KISAH DARI BANDA ACEH

Ini kisah saudara kami di Aceh, yang lagi sibuk Pesta Pilkada.

Ada seorang Aceh dari kabupaten Pidie, menulis surat kepada anaknya yang ada dipenjara Nusa Kambangan karena dituduh terlibat GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Bunyinya: "Hasan, bapakmu ini sudah tua, sekarang sedang musim tanam jagung, dan kamu ditahan di penjara pula, siapa yang mau bantu bapak mencangkul kebun jagung ini?

Eh, anaknya membalas surat itu beberapa minggu kemudian. "Demi Tuhan, jangan cangkul itu kebun, saya tanam senjata di sana," kata si anak dalam surat itu. Rupanya surat itu disensor pihak rumah tahanan, maka keesokan harinya setelah si bapak terima surat, datang satu peleton tentara dari kota Medan. Tanpa banyak bicara mereka segera ke kebun jagung dan sibuk seharian mencangkul tanah di kebun tersebut. Setelah mereka pergi, kembali si bapak tulis surat ke anaknya.

"Hasan, setelah bapak terima suratmu, datang satu peleton tentara mencari senjata di kebun jagung kita, namun tanpa hasil. Apa yang harus bapak lakukan sekarang?"

Si anak kembali membalas surat tersebut, "Sekarang bapak mulailah menanam jagung, kan sudah Bantu dicangkul sama tentara. Jangan lupa ngucapin terima kasih sama mereka." Pihak rumah tahanan yang menyensor surat ini bengong dan jatuh pingsan. (rrk/wmat)