Rektor Pemimpin Bukan Pengajar
Oleh: Prof.Dr. Usman Pelly, M.A **)
Akhir-akhir ini di Sumatera Utara terjadi banyak pergantian pimpinan universitas yaitu pemilihan rektor baru. Seperti biasa setiap pergantian pimpinan (suksesi), situasi dan kondisi masyarakat kampus di universitas tersebut menghangat, karena mereka terlibat dengan pembicaraan dan pemikiran siapa tokoh yang paling cocok dan pantas untuk diajukan dan dipilih sebagai rektor baru. Hal itu wajar-wajar saja.
Kedudukan seorang Rektor, apalagi rektor suatu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) sangat prestis (pestigous), karena tokoh rektor di Indonesia sangat dihormati masyarakat di dalam dan di luar kampus. Oleh karena itu, pengangkatan seorang rektor PTN setelah diajukan oleh Senat Universitas, dipertimbangkan oleh Mendiknas dan kemudian diangkat langsung oleh Presiden. Kedudukan rektor PTN secara struktural adalah eselon IA (sama dengan kedudukan seorang direktur jendral). Malah di beberapa negara, seperti di Mesir, kedudukan Rektor Al-Azhar umpamanya setingkat dengan kedudukan seorang Perdana Menteri, sehingga apabila beliau ke luar negeri negara yang dikunjunginya harus membentang karpet merah menyambutnya, sesuai dengan tata protokoler kunjungan seorang perdana menteri.
Apa tugas utama seorang rektor? Seorang rektor adalah seorang pemimpin, seorang manager atau seorang administrator. Berbeda dengan rektor, seorang staf pengajar (academic staff) atau biasanya juga disebut dosen, dia adalah seorang akademisi, yang bertanggung jawab terhadap mutu pendidikan di perguruan tinggi. Top carrier (karir tertinggi) seorang dosen di perguruan tinggi adalah guru besar (profesor), bukan rektor. Seperti juga top carrier seorang PNS di Pemda adalah Sekretaris Daerah (Sekda) bukan bupati atau gubernur. Karena bupati dan gubernur adalah jabatan politis, siapa saja mungkin dapat jadi bupati atau gubernur asal dia memiliki dukungan politis, apakah dia berasal dan seorang preman, pebisnis, anggota TNI/Polri atau tokoh partai politik, tetapi tidak demikian dengan seorang Sekda, dia harus seorang PNS karir. Seorang rektor adalah kepala administratur atau top manager sebuah perguruan tinggi, walaupun dia adalah penanggung jawab utama sebuah universitas, tetapi di bidang akademik, rektor harus menghormati otonomi akademik.
Rektor tidak dapat mencampuri secara langsung urusan akademik, karena urusan itu adalah ranah (domain) para guru besar bersama Ketua Jurusan/Prodi atau Kepala Laboratorium. Karena itu, Ketua Jurusan (Head of Department) atau Kepala Laboratorium, seharusnya seorang profesor. Rektor berkewajiban menyediakan atau memfasilitasi semua keperluan atau kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan di perguruan tinggi itu. Kenaikan pangkat atau jabatan seorang dosen tidak ditentukan oleh rektor, tetapi oleh kinerja dosen itu sendiri dan evaluasi teman-sejawat serta profesor yang bergerak dalam ilmu itu. Rektor dan perangkatnya hanya memfasilitasi keperluan, kebutuhan dan memproses kenaikan pangkat tersebut.
Penjaringan seorang calon rektor di luar negeri, terbuka (seperti sistem lelang), siapa saja dapat mencalonkan diri, tidak terbatas pada staf akademik yang ada di perguruan tinggi ybs. Sistem ini telah dijalankan pula oleh universitas-universitas BHMN, seperti UI, ITB dan Gadjah Mada. Mereka mencari seorang pemimpin bukan seorang staf pengajar (dosen), mereka mencari seorang manager atau administrator yang handal bukan tenaga edukatif. Oleh karena itu Yasser Arafat misalnya (sebenarnya dia seorang ingineer lulusan PT terkenal), sebelum dia dipilih sebagai Ketua PLO atau Presiden Palestina, pernah menjadi calon kuat rektor sebuah universitas terkemuka di Inggris. Di Indonesia, tradisi menjaringan calon rektor seperti ini belum ditradisikan oleh sebahagian besar universitas, termasuk Unimed (Universitas Negeri Medan).
Di Unimed penjaringan calon rektor masih terbatas dari lingkungan staf pengajar. Oleh karena itu banyak orang tidak melihat perbedaan tugas seorang pemimpin (administrator) dengan seorang staf pengajar (akademisi). Malah dianggap siapa saja yang sudah profesor sudah kualified jadi rektor. Banyak yang merasa di Unimed seperti juga di PTN lainnya bahwa top karir seorang dosen itu bukan profesor tetapi rektor. Padahal jabatan guru besar itu dari segi akademik sangat penting dan prestis, sama prestisnya dengan seorang rektor. Tetapi karena penghasilan dan fasilitas yang diberikan kepada rektor dianggap sangat berlimpah (hal ini sangat disesalkan) dibandingkan dengan seorang profesor, maka orang tetap mengejar jabatan rektor, walaupun jabatan itu akan menguras kapasitasnya sebagai seorang akademisi.
Banyak profesor yang tidak punya penelitian yang cemerlang dan juga tidak punya publikasi ilmiah, baik pada tingkat nasional atau internasional, sehingga dia hanya dikenal di seputar kampusnya saja. Kalau diundang dalam pertemuan internasional, banyak yang menghindar untuk datang, karena banyak yang "sakit gigi" (tidak lancar berkomunikasi dalam bahasa asing). Sesudah pensiun dia dilupakan orang, karena waktunya telah terkuras selama memegang jabatan guru besar itu dalam jabatan-jabatan struktural seperti dekan, PR atau, rektor dan lain-lain. Karena itu pula banyak profesor di luar negeri, yang menolak apabila ditawari jabatan struktural, apakah dekan atau rektor, karena jabatan-jabatan itu tidak sejalan dengan karirnya sebagai seorang profesor (akademikus).
Bulan ini di Unimed akan di lakukan pemilihan seorang rektor, karena jabatan rektor priode yang dipegang oleh Prof. Djanius Djamin akan segera berakhir. Kami yakin anggota Senat Unimed mengerti dan memahami benar bahwa mereka akan memilih seorang pemimpin seorang, administratur universitas, bukan seorang staf pengajar atau dosen. Dosen yang kualified itu adalah seorang yang telah menyandang jabatan dan gelar Prof, Doktor, tetapi kualifikasi utama seorang pemimpin (Kepala Administratur Perguruan Tinggi) itu bukan Prof, Doktor itu, tetapi adalah seorang yang mampu mengayomi masyarakat kampus, menjalankan, memfasilitasi dan memutar roda perguruan tinggi sesuai dengan visi dan misinya. Kualifikasi ini dapat dilihat dari track-rekord (pengalaman) seseorang yang akan diajukan sebagai calon rektor.
Kalau kualifikasi seorang calon rektor yang akan menjadi pemimpin itu, kebetulan bergelar profesor, doktor, maka itu adalah calon yang paling ideal, karena dia memiliki sekaligus dua kapasitas (kepemimpinan dan "academic standing"). Akan tetapi kalau dia belum profesor, doktor pun tidak atau bukan masalah, karena tujuan utama dalam pemilihan rektor ini adalah memilih seorang pemimpin, seorang leader atau seorang kepala administratur perguruan tinggi bukan seorang tenaga edukatif (dosen).
*) Penulis adalah Tokoh Pendidikan Nasional
**) Dikutip dari : WASPADA Online Eds 6 Nop 2006