Monday, November 27, 2006

Rektor Pemimpin Bukan Pengajar

Oleh: Prof.Dr. Usman Pelly, M.A **)

Akhir-akhir ini di Sumatera Utara terjadi banyak pergantian pimpinan universitas yaitu pemilihan rektor baru. Seperti biasa setiap pergantian pimpinan (suksesi), situasi dan kondisi masyarakat kampus di universitas tersebut menghangat, karena mereka terlibat dengan pembicaraan dan pemikiran siapa tokoh yang paling cocok dan pantas untuk diajukan dan dipilih sebagai rektor baru. Hal itu wajar-wajar saja.

Kedudukan seorang Rektor, apalagi rektor suatu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) sangat prestis (pestigous), karena tokoh rektor di Indonesia sangat dihormati masyarakat di dalam dan di luar kampus. Oleh karena itu, pengangkatan seorang rektor PTN setelah diajukan oleh Senat Universitas, dipertimbangkan oleh Mendiknas dan kemudian diangkat langsung oleh Presiden. Kedudukan rektor PTN secara struktural adalah eselon IA (sama dengan kedudukan seorang direktur jendral). Malah di beberapa negara, seperti di Mesir, kedudukan Rektor Al-Azhar umpamanya setingkat dengan kedudukan seorang Perdana Menteri, sehingga apabila beliau ke luar negeri negara yang dikunjunginya harus membentang karpet merah menyambutnya, sesuai dengan tata protokoler kunjungan seorang perdana menteri.

Apa tugas utama seorang rektor? Seorang rektor adalah seorang pemimpin, seorang manager atau seorang administrator. Berbeda dengan rektor, seorang staf pengajar (academic staff) atau biasanya juga disebut dosen, dia adalah seorang akademisi, yang bertanggung jawab terhadap mutu pendidikan di perguruan tinggi. Top carrier (karir tertinggi) seorang dosen di perguruan tinggi adalah guru besar (profesor), bukan rektor. Seperti juga top carrier seorang PNS di Pemda adalah Sekretaris Daerah (Sekda) bukan bupati atau gubernur. Karena bupati dan gubernur adalah jabatan politis, siapa saja mungkin dapat jadi bupati atau gubernur asal dia memiliki dukungan politis, apakah dia berasal dan seorang preman, pebisnis, anggota TNI/Polri atau tokoh partai politik, tetapi tidak demikian dengan seorang Sekda, dia harus seorang PNS karir. Seorang rektor adalah kepala administratur atau top manager sebuah perguruan tinggi, walaupun dia adalah penanggung jawab utama sebuah universitas, tetapi di bidang akademik, rektor harus menghormati otonomi akademik.

Rektor tidak dapat mencampuri secara langsung urusan akademik, karena urusan itu adalah ranah (domain) para guru besar bersama Ketua Jurusan/Prodi atau Kepala Laboratorium. Karena itu, Ketua Jurusan (Head of Department) atau Kepala Laboratorium, seharusnya seorang profesor. Rektor berkewajiban menyediakan atau memfasilitasi semua keperluan atau kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan di perguruan tinggi itu. Kenaikan pangkat atau jabatan seorang dosen tidak ditentukan oleh rektor, tetapi oleh kinerja dosen itu sendiri dan evaluasi teman-sejawat serta profesor yang bergerak dalam ilmu itu. Rektor dan perangkatnya hanya memfasilitasi keperluan, kebutuhan dan memproses kenaikan pangkat tersebut.

Penjaringan seorang calon rektor di luar negeri, terbuka (seperti sistem lelang), siapa saja dapat mencalonkan diri, tidak terbatas pada staf akademik yang ada di perguruan tinggi ybs. Sistem ini telah dijalankan pula oleh universitas-universitas BHMN, seperti UI, ITB dan Gadjah Mada. Mereka mencari seorang pemimpin bukan seorang staf pengajar (dosen), mereka mencari seorang manager atau administrator yang handal bukan tenaga edukatif. Oleh karena itu Yasser Arafat misalnya (sebenarnya dia seorang ingineer lulusan PT terkenal), sebelum dia dipilih sebagai Ketua PLO atau Presiden Palestina, pernah menjadi calon kuat rektor sebuah universitas terkemuka di Inggris. Di Indonesia, tradisi menjaringan calon rektor seperti ini belum ditradisikan oleh sebahagian besar universitas, termasuk Unimed (Universitas Negeri Medan).

Di Unimed penjaringan calon rektor masih terbatas dari lingkungan staf pengajar. Oleh karena itu banyak orang tidak melihat perbedaan tugas seorang pemimpin (administrator) dengan seorang staf pengajar (akademisi). Malah dianggap siapa saja yang sudah profesor sudah kualified jadi rektor. Banyak yang merasa di Unimed seperti juga di PTN lainnya bahwa top karir seorang dosen itu bukan profesor tetapi rektor. Padahal jabatan guru besar itu dari segi akademik sangat penting dan prestis, sama prestisnya dengan seorang rektor. Tetapi karena penghasilan dan fasilitas yang diberikan kepada rektor dianggap sangat berlimpah (hal ini sangat disesalkan) dibandingkan dengan seorang profesor, maka orang tetap mengejar jabatan rektor, walaupun jabatan itu akan menguras kapasitasnya sebagai seorang akademisi.

Banyak profesor yang tidak punya penelitian yang cemerlang dan juga tidak punya publikasi ilmiah, baik pada tingkat nasional atau internasional, sehingga dia hanya dikenal di seputar kampusnya saja. Kalau diundang dalam pertemuan internasional, banyak yang menghindar untuk datang, karena banyak yang "sakit gigi" (tidak lancar berkomunikasi dalam bahasa asing). Sesudah pensiun dia dilupakan orang, karena waktunya telah terkuras selama memegang jabatan guru besar itu dalam jabatan-jabatan struktural seperti dekan, PR atau, rektor dan lain-lain. Karena itu pula banyak profesor di luar negeri, yang menolak apabila ditawari jabatan struktural, apakah dekan atau rektor, karena jabatan-jabatan itu tidak sejalan dengan karirnya sebagai seorang profesor (akademikus).

Bulan ini di Unimed akan di lakukan pemilihan seorang rektor, karena jabatan rektor priode yang dipegang oleh Prof. Djanius Djamin akan segera berakhir. Kami yakin anggota Senat Unimed mengerti dan memahami benar bahwa mereka akan memilih seorang pemimpin seorang, administratur universitas, bukan seorang staf pengajar atau dosen. Dosen yang kualified itu adalah seorang yang telah menyandang jabatan dan gelar Prof, Doktor, tetapi kualifikasi utama seorang pemimpin (Kepala Administratur Perguruan Tinggi) itu bukan Prof, Doktor itu, tetapi adalah seorang yang mampu mengayomi masyarakat kampus, menjalankan, memfasilitasi dan memutar roda perguruan tinggi sesuai dengan visi dan misinya. Kualifikasi ini dapat dilihat dari track-rekord (pengalaman) seseorang yang akan diajukan sebagai calon rektor.

Kalau kualifikasi seorang calon rektor yang akan menjadi pemimpin itu, kebetulan bergelar profesor, doktor, maka itu adalah calon yang paling ideal, karena dia memiliki sekaligus dua kapasitas (kepemimpinan dan "academic standing"). Akan tetapi kalau dia belum profesor, doktor pun tidak atau bukan masalah, karena tujuan utama dalam pemilihan rektor ini adalah memilih seorang pemimpin, seorang leader atau seorang kepala administratur perguruan tinggi bukan seorang tenaga edukatif (dosen).

*) Penulis adalah Tokoh Pendidikan Nasional

**) Dikutip dari : WASPADA Online Eds 6 Nop 2006



BANGUNLAH EMBUNG UNTUK KEMARAU PANJANG

Oleh: Viktor Siagian *)

Musim kemarau tahun ini memang luar biasa dan sudah mendekati kondisi El Nino tahun 1997. Seharusnya pada Oktober, hujan sudah mulai turun, tapi ternyata hanya di beberapa daerah saja. Dampak dari kemarau panjang ini tentu merugikan secara ekonomi, banyak petani yang gagal panen, baik tanaman padi sawah, palawija, dan tanaman perkebunan.

Sebanyak 50 000 ha sawah diperkirakan kekeringan (drought) dan puso dengan kerugian Rp 1 triliun. Musim tanam Oktober Maret (musim penghujan) akan mundur ke November atau Desember.

Walaupun sebenarnya hal ini sudah berlangsung sejak tahun 1997 akibat pergeseran iklim, petani lebih banyak menanam padi pada November/Desember. Jika dulu bulan yang berakhiran ber pasti konotasinya akan banyak turun hujan, saat ini belum tentu demikian.

Dampak ini juga berpengaruh besar terhadap produksi peternakan kita, terutama sapi yang memerlukan rumput dan air untuk kehidupannya, sapi menjadi kurus, berat karkas menjadi berkurang. Demikian juga usaha kolam ikan air tawar, banyak ikan yang mati karena kolam yang mengering. Banyak penduduk di pedesaan dan kota yang saat ini kesulitan mendapatkan air.

Kekeringan ini juga menyebabkan rentannya terhadap kebakaran lahan dan hutan, cukup dengan membuang puntung rokok lahan semak, kebun karet dan hutan akan terbakar. Apalagi di daerah lahan gambut yang sudah direklamasi sangat rawan terbakar karena kemampuan memegang airnya sangat rendah.

Dampak lainnya dari kemarau panjang ini adalah debit air Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di seluruh Indonesia menurun drastis sehingga kesulitan untuk memutar turbin. Hampir di seluruh Indonesia terjadi pergiliran pemadaman listrik.

Tentunya semua ini akan merugikan negara secara ekonomi. Banyak pabrik-pabrik yang tidak beroperasi, kantor-kantor pemerintah/swasta yang lumpuh, apalagi bagi pelajar/mahasiswa hal ini tentunya akan mengganggu konsentrasi belajar.

Bangunlah Embung

Tapi di atas semua ini, kita masih memiliki harapan untuk mengatasi kemarau panjang ini. Kemarau panjang adalah gejala alam yang sangat sulit kita hindari. Kita hanya dapat meminimalkan dampak kemarau melalui teknologi dan keunggulan sumber daya alam yang kita miliki.

Daerah-daerah yang memiliki danau kecil seperti lebung (daerah cekungan di daerah rawa), situ dan embung (semacam waduk kecil) umumnya masih lebih bisa bernafas dibanding yang tidak memiliki. Minimal penduduk bisa memperoleh akses untuk minum, mandi, cuci, dan kakus (MCK).

Situ-situ yang banyak dibangun oleh Belanda di sekitar Jabotabek maupun Jabar sebenarnya berguna untuk MCK dan pertanian pada musim kemarau. Pada musim hujan situ ini juga berguna sebagai pencegah banjir. Hanya sekarang situ-situ itu sudah mulai banyak yang berubah fungsi.

Embung ini dapat berukuran 0,5 ha dan dasarnya dapat dilapisi plastik tebal agar air tidak terhisap (terinfiltrasi) oleh tanah dan biayanya juga relatif murah, bisa dibangun dengan cara gotong royong. Air hujan ini dapat ditampung dalam satu wadah seperti situ, embung, untuk selanjutnya dimanfaatkan pada musim kemarau.

Jadi air tersebut tidak terbuang sia-sia ke laut, atau habis karena penguapan (transpirasi), terserap oleh tanah (infiltrasi). Karena menurut ahli hidrologi, neraca air di Indonesia umumnya positif artinya jumlah air yang disuplai baik oleh air hujan, sungai, danau masih lebih banyak dari yang dibutuhkan.

Ada tiga cara untuk mengatasi kemarau panjang ini: Pertama, membangun embung. Daerah-daerah yang memiliki curah hujan tinggi pada musim hujan (Jabar, Sumsel, Bengkulu, NTT, dsb) sangat memungkinkan untuk dibangun embung untuk gudang air pada musim kemarau.

Jumlah embung ini tergantung dari kebutuhan yang kita perlukan. Padi sawah misalnya memerlukan 6.000-12.000 m3 air/ha/musim tanam, manusia memerlukan berkisar 30-50 liter/hari untuk minum dan MCK, demikian juga ternak, ikan air tawar, dsb.

Reboisasi

Kedua, tentunya adalah melalui cara alami yang sudah diajarkan oleh nenek moyang kita, yaitu menanam kembali hutan kita yang sudah rusak. Hutan adalah penampung air yang paling andal, jumlah air yang menguap melalui tanaman dan permukaan tanah (evapotranspirasi) dapat diatur oleh ekosistem hutan.

Andaikan hutan kita masih utuh seperti tiga dekade lewat, niscaya dampak negatif dari kemarau panjang dapat kita atasi. PLTA-PLTA tidak akan mengalami kekurangan air pada musim kemarau, sungai tidak akan mengering karena hutan memiliki daya menyimpan air yang tinggi.

Luas hutan kita saat ini tinggal 110 juta ha, berkurang 28 % dibandingkan dengan 10 tahun lewat. Daerah-daerah Aliran Sungai (DAS) kita sudah banyak yang rusak sehingga terjadi kekeringan pada MK dan banjir pada MH. Jika nanti Musim Hujan tiba, kita harus siap menerima bencana lain yakni banjir dan longsor.

Eksploitasi hutan yang berlebihan terutama untuk tujuan ekonomi berdampak buruk bagi keseimbangan ekosistim kita. Reboisasi, dan pelestarian hutan sangat kita perlukan saat ini agar generasi mendatang dapat menikmati hidup yang lebih baik.

Ketiga, adalah dengan melakukan penghematan penggunaan air baik untuk MCK maupun pertanian. Gerakan hemat air ini sebenarnya sudah dicanangkan lebih dari satu dekade lewat, tapi saat ini gaungnya tidak terdengar. Jika ini berhasil, penurunan debit air pada musim kering di PLTA dapat dikurangi.

Target kita untuk mencapai swasembada pangan pada tahun 2007 tentu harus dikaji ulang, mundurnya jadwal tanam akan berpengaruh terhadap pola tanam, daerah yang biasa ditanami padi tiga kali setahun tentunya akan sulit tercapai tahun ini.

Demikian juga dengan tanaman ketiga (musim kering tahap kedua) yang biasanya adalah palawija atau sayur-sayuran akan tidak tertanami tahun ini. Dampak dari menurunnya produksi ini sudah dapat dirasakan dengan naiknya harga-harga kebutuhan bahan pokok.

Jadi kebutuhan pangan kita akan terganggu tahun ini. Pastinya sulit mencapai produksi yang sama dengan tahun 2005, yakni 54,6 juta ton gabah. Kita harus siap mengimpor beras dan komoditi pangan lainnya, tidak perlu alergi, dan jangan dijadikan polemik atas nama petani.

Karena saat ini pun kita harusnya mengimpor beras karena harga beras (Rp 4.500 - Rp 5.000/kg) sudah di atas jangkauan kemampuan masyarakat.

*) Penulis alumni IPB, peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumsel, Badan Litbang Deptan, Palembang (Dikutip dari Sinar Harapan Eds, 27 Nop 2006)

Hymne GMKI

Oleh: Wilson M.A. Therik

JUDUL di atas mungkin terkesan aneh buat sebagian besar anggota GMKI periode 1980-an hingga saat ini, karena yang mereka kenal hanya satu yakni Mars GMKI sekalipun tidak semua anggota bisa melagukannya dengan baik. Mars GMKI memang sering dilagukan pada setiap upacara organisasi dan acara seremonial GMKI lainnya.

Hymne GMKI? Penulis sangat yakin bahwa banyak sekali anggota pergerakan yang tidak mengetahui bahwa sesungguhnya GMKI juga memiliki Hymne, kalau-pun ada penulis yakin hanya sebatas mendengar cerita dari para senior GMKI.

Secara organisasi penulis berpendapat bahwa GMKI telah melanggar Keputusan Kongres Nasional ke-12 Tahun 1970 di Kupang di mana saat itu-lah Hymne GMKI lahir dan ditetapkan melalui sebuah Surat Keputusan Kongres. 36 Tahun kemudian di mana Kupang kembali dipercaya menjadi tuan rumah Kongres Nasional GMKI ke-30 Tahun 2006 atau Kongres Nasional GMKI yang ke-2 yang digelar di Kupang setelah tahun 1970, Hymne GMKI kembali dikumandangkan pada acara pembukaan Kongres Nasional GMKI ke-30. Keberlanjutannya? ... Semuanya kembali kepada insan GMKI terutama kepada Pengurus Pusat dan BPC GMKI se-Tanah Air untuk melagukan lagi Hymne GMKI agar dapat bersanding kembali dengan Mars GMKI.


Hymne GMKI

4/4 Syair = Daniel Lengkong

F = do Lagu = Abdallah Lengkong

Maestoso – khidmat


Jauh diangkasa terdengar semboyanmu

Marilah bersaksi yang mendengar panggilanNya

Ut Omnes Unum Sint agar Satu adanya

bawalah FirmanNya ke s’luruh bumi ini

Panji Kristuslah yang serta

Pelambang ikhlas rela berkorban

Injil yang kudus dasar kita

Berkat Kristuslah nyata dan terwujud

dalam sepanjang hidupmu

Oleh kasihnya yang termulia

Reff

Kuduslah Allah

GMKI Jaya

Kuduslah Allah

GMKI Jaya

Semoga opini singkat ini bisa membangkitkan kembali semangat pergerakan GMKI tidak hanya dengan semangat Mars GMKI tetapi juga dengan kekhidmatan Hymne GMKI. Bangkitlah menjadi taruk bagi bangsa.

Ut Omnes Unum Sint.

Dua orang Polisi Nasional Timor Leste (PNTL) sedang membantu dua orang polisi PBB mengangkat jenazah seorang pria asal Bobonaro yang dibunuh orang tak dikenal di Komoro, Minggu (19/11) malam. FOTO: STL/Antonio Dasiparu

Misionaris Brasil Tewas Dibunuh di TL

Syallomdailynews - Seorang missionaris Protestan asal Brasil, Edgar Goncalves (32) tewas dibunuh di Dili, Timor Leste.

Korban ditusuk sekelompok orang tak dikenal di depan Kedutaan Besar Australia, Fatu-Hada, Dili Barat, Minggu (19/11) malam. Pembunuhan terhadap warga asing itu merupakan pertama kali sejak terjadinya krisis politik di Timor Leste pada Mei lalu.

Sementara itu, Senin (20/11) pagi, ditemukan seorang pria berbadan kekar dalam kondisi tidak bernyawa. Korban yang bernama Jose Halimesak itu ditemukan di samping kanan pintu gerbang Kantor Pusat CCF (Commite Central Fretilin) atau depan rumah Ahmad Alkatiri.

Bukan hanya itu, seorang warga dikabarkan tewas dalam aksi baku lempar antara pengungsi Obrigado Barak dan warga dari luar kamp pengungsian. Aksi baku lempar yang terjadi tak jauh dari Markas Besar UNMIT itu menodai aksi damai yang diprakarsai massa pemuda beberapa waktu lalu.

Perdana Menteri (PM), Jose Ramos Horta merasa sedih dan marah ketika mendapat laporan tentang kematian Missionaris Edgar Goncalves Brito. “Saya sangat sedih mendengar berita pembunuhan missionaries Edgar Goncalves Brito. Saya sudah kontak Duta Besar Brasilia, Antonio Jose e Silva untuk menyampaikan duka cita dan belasungkawa yang mendalam, baik dari saya, pemerintah dan rakyat Timor kepada keluarga Brito dan kawan-kawannya, termasuk masyarakat Brasil,” kata Horta di Dili, Senin kemarin.

Horta juga mengatakan bahwa adik perempuan korban, Elizama Goncalves Brito yang bertugas sebagai petugas medis di Rumah Sakit Nasional Guido Valadares (RSNGV) Dili menjadi saksi hidup pembunuhan sang kakak. Menurut Horta, kasus itu sedang dalam proses investigasi pihak otoritas setempat.

Edgar Goncalves Brito adalah seorang missionaries Protestan yang mengajar bahasa Portugis dan melakukan misi sosial di distrik Viqueque. Aktivitas yang dilakukan Edgar Brito di Timor Leste sebagai symbol hubungan kerjasama yang baik antara Timor Leste dan Brasil.
Kriminal Murni

Sementara itu, seorang perwira militer Australia berpangkat mayor yang enggan disebut jati dirinya dalam koran ini mengatakan kasus pembunuhan warga Distrik Bobonaro di Komoro dan pembunuhan missionaries Edgar Goncalves Brito adalah murni kriminal. “Ini bukan kasus lorosae-loromonu. Maaf saya tidak bisa memberikan keterangan detail karena ini adalah tugas polisi. Saat ini polisi sedang melakukan investigasi di TKP (Tempat Kejadian Perkara),”ujarnya.

Wakil UNMIT, Eric Tan Huck Gim dalam jumpa persnya di Markas UNMIT, Kaikoli, membenarkan adanya penemuan mayat di Komoro. “Kami baru menerima dua laporan tentang pembunuhan terhadap seorang pria di Komoro dan seorang warga Brasil di Bidau. Kedua kasus itu masih dalam investigasi,” katanya.

Acting Komisaris UNPOL Chief Superintendente Emir Bilget mengatakan untuk menurunkan aksi kekerasan di Kota Dili, polisi PBB dalam waktu singkat akan mendirikan lima pos baru masing-masing di Fatu Hada, Bebonuk, Manleuana, Matadoru, dan Tasi Tolu. Ia menambahkan konstruksi pos polisi UNPOL itu masih dalam pembangunan. Karena itu, pihaknya untuk sementara hanya melakukan patroli.
Dijemput

Berdasarkan keterangan yang dihimpun media ini di TKP (Tempat Kejadian Perkara) menyebutkan Minggu malam, dua pemuda mendatangi rumah Jose Malimesak dan mengajaknya keluar sebentar. Namun, hingga pagi hari korban belum juga kembali ke rumahnya. Tidak ada firasat buruk pada keluarga korban karena orang-orang yang mengajak korban mengaku temannya. Bahkan anak korban mengenal baik dua pemuda itu.

Mula-mula ayah delapan anak itu dilihat para siswa SMU 10 Desember dan warga setempat. Akhirnya, dalam waktu singkat berita itu tersebar di seluruh wilayah kota Dili. Kabar itu secepatnya dilaporkan kepada polisi PBB.

Banyak kalangan mengutuk perbuatan itu karena menodai aksi damai yang digelar massa pemuda beberapa waktu lalu. Namun, kalangan pemuda yang menginginkan kedamaian tidak ingin terpancing dengan kejadian itu. Mereka mengutuk perbuatan itu dan meminta kepada pihak berwenang untuk mengusut kasus tersebut hingga tuntas.

Xefi Aldeia Aimutin, Higinio da Costa Nunes menuturkan bahwa dirinya terkejut saat mendengar kabar bahwa salah seorang warga Aimutin tewas di dekat Merkado Comoro. Ia pun langsung menuju ke TKP untuk melihatnya dengan mata kepala sendiri. Ternyata, begitu dilihat bukan warga Aimutin, tetapi tetangga. Ia juga meminta kepada pemuda Aimutin untuk tidak terpancing dengan aksi itu.
“Lambat-laun para pelaku akan ditangkap polisi PBB karena pelaku dikenal baik oleh anak korban,” katanya. (STL/rudy riwukaho)






Hillsong United Dukung Gerakan Doa Pemuda Global SHOCKWAVE


Kristiani Post - Youth pastor dari Hillsong Youth di Australia telah mengekspresikan dukungannya untuk peristiwa doa pemuda global mendatang yang didedikasikan untuk 200 juta umat Kristiani yang teraniaya.

"Saya hanya ingin mengatakan kalau kamu harus terlibat dalam SHOCKWAVE pada 2 Maret 2007," kata Phil Dooley Kamis lalu melalui siaran video. "Apa yang kami minta hanyalah agar semua orang berkumpul bersama dan berdoa bersama dengan kawan-kawan anda, di kelompok-kelompok pemuda kami, atau kamu sendiri.

"Hei, mari jadi orang yang serius mengenai iman kita dan membantu dan mendukung mereka yang berada dalam situasi sulit saat ini. Kita bisa melakukannya hanya dengan berkumpul pada 2 Maret untuk SHOCKWAVE dan berdoa dan percaya ombak goncangan akan keluar ke seluruh penjuru dunia kita dan berdampak dan menguatkan mereka yang imannya dalam pencobaan saat ini."

Ribuan orang di seluruh dunia akan berdoa untuk sekitar 200 juta orang Kristiani yang menderita karena iman mereka selama doa nonstop untuk dunia Muslim pada 2-4 Maret. Acara doa pemuda tiga hari itu diatur oleh Underground, ministry pemuda dari Open Doors dan akan menjadi tahun kelima bagi SHOCKWAVE.

"Saudara dan saudari kita sudah mengatakan kepada kita apa yang mereka butuhkan. Pertama, dan yang paling penting, mereka memohon kita untuk berdoa!" kata Brother Andrew, pendiri Open Doors dalam sebuah pernyataan.

"Hal itu sama dengan pelayanan saya yang sudah limapuluh tahun lamanya; kemanapun saya pergi untuk menguatkan saudara dan saudari kita, mereka selalu meminta doa…doa adalah bagian kritis dari pekerjaan Open Doors…doa menghubungkan kita dengan tubuh. Doa menolong kita mengidentifikasi mereka yang menderita dan berjuang sebagai orang Kristiani di saat-saat sulit. Doa membawa masalah-masalah ini menjadi satu sumber yang benar-benar dapat membawa perubahan," kata Brother Andrew.

SHOCKWAVE akan dimulai di Selandia Baru dan bergerak di sepanjang zona waktu dan "melewati halangan-halangan buatan manusia dan zona-zona buntuk, secara harafiah benar-benar menutupi dunia dalam doa," jelas Open Doors Inggris.

Remaja dari Selandia Baru, Australia, Indonesia, Afrika Selatan, Swiss, Italia, Norwegia, Kamerun, Rumania, Inggris Raya, Irlandia, Amerika Serikat dan Brasil berpartisipasi dalam SHOCKWAVE 2006. Di Perancis, sekitar 100 kelompok terlibat sementara di Namibia tiga sekolah berkumpul untuk berdoa dengan total 1.200 "pejuang doa".

"Doa benar-benar sangat dibutuhkan untuk negara-negara seperti Korea Utara, yang tetap teratas dari World Watch List Open Doors selama empat tahun berturut-turut," menurut rilis berita Open Doors Inggris. "Korea Utara diikuti Kerajaan Islam Arab saudi berada di tempat kedua sementara Iran, Somalia dan Maldives di belakangnya."

Menurut Open Doors Inggris, Irina Ratushinskaya, yang adalah tahanan di sebuah kamp penjara Soviet selama tujuh tahun, dia mengalami kekuatan langsung dari doa dan menulis: "Percayalah kepada saya, seringkali terjadi: dalam sel isolasi, pada waktu musim dingin tiba-tiba ada perasaan sukacita dan kehangatan - kata kasih yang tidak dapat diucapkan. Dan pada saat saya tidak bisa tidur, duduk menghadap sebuah tembok beku - seseorang mengingat saya dan memohon di hadapan Tuhan saya."

Phil Togwell, UK Base Leader dari 24-7 Prayer, memberi kesaksian: "Dalam kotak surat saya ada email dari seorang sahabat saya. Dia tinggal bersama istri dan kedua anaknya di sebuah negara yang sangat beresiko untuk mengakui kamu seorang Kristiani, dan dia meminta saya untuk berdoa. Mereka berusaha bertemu dengan orang Kristiani lain, tapi orang akan dipenjara kalau melakukan ini. Saya menemukan ini sangat sulit untuk dibayangkan, tapi itu sangat nyata, sangat nyata."

"Di penjuru dunia, umat Kristiani dipenjara dan dipukuli dan disiksa, dan bahkan dibunuh, hanya karena mereka mengasihi Yesus. SHOCKWAVE mengingatkan kita akan perlunya kita berdoa untuk Gereja Teraniaya, dan juga memperlengkapi kita dengan sesuatu untuk dilakukan. Saya mendorong kamu untuk ikut terlibat." Untuk informasi lebih lanjut kunjungi: www.odshockwave.org

(Jennifer Riley : Koresponden Kristiani Pos)

Saturday, November 25, 2006

INTROSPEKSI

PIKIRAN

Setiap perbuatan atau tindakan yang kita lakukan,itu adalah hasil dari apa yang kita pikirkan. Ingat,pikiran negatif yang melintasi benah hati kita bukanlah suatu dosa. Namun, kalau kita membiarkan dan memendam pikiran itu ada di dalam hati kita atau mewujudkannya dalam tindakan yang negatif, maka muncullah dan jadilah dosa. Dan perlu diperhatikan upah dosa ialah maut.

Untuk itu yang Tuhan inginkan dalam kehidupan kita sehari-hari supaya perlu menawan dan melawan setiap pikiran negatif tersebut dan segerah berserah kepada Tuhan karena hanya didalam Tuhan Saudara dapat melawan semuanya itu.

Kami percaya lewat pergaulan kita kepada Tuhan, maka setiap pikiran-pikiran kita tidak terarah lagi pada hal-hal yang negatif. Untuk itu apabila saat ini, ada pikiran-pikiran yang negatif, yang salah dimata Tuhan, mohon pengampunan dan jamahan dariNYA supaya pikiran kita diubahkan menjadi pikiran Kristus.

Kami menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus ? II Korintus 10:5B, Tuhan Yesus memberkati. (GOTN)

Friday, November 24, 2006

HUTAN MUTIS YANG TERBAKAR, DAERAH ALIRAN SUNGAI MERANA

Oleh: Dr.Ir. L. Michael Riwu Kaho, M.Si *)

SELAMA beberapa hari terakhir, beberapa media massa lokal menyuguhkan berita menarik tentang hutan Mutis, lebih tepat adalah hutan Cagar Alam (CA) Mutis yang terbakar. Saya sungguh tidak tahu apakah kita merasa terusik atau tidak terusik dengan berita itu. Ada paradigma umum dalam pemberitaan pers di Indonesia, yaitu good news is bad news. Taruh kata paradigma ini benar maka seharusnya berita tentang terbakarnya hutan CA Mutis adalah bad news yang good news. Lantas, apakah dengan demikian berita tentang terbakarnya Mutis menjadi komoditas berita yang booming. Tidak juga. Kebanyakan kita mungkin lebih menyibuKkan diri dengan berita tentang isu Pilwakot (mudah-mudahan jangan menjadi pilih wajah kotor) Kupang, Rapimnas Golkar, Kedatangan Cowboy dari Amerika Serikat George W Bush ke Indonesia, isu tentang pertikaian Presiden SBY dengan Wapres tercinta JK atau tentang dana Silpa. Semua pokok berita tersebut adalah berita-berita hangat dan laris. Bahkan mungkin kalah heboh dibandingkan dengan berita tentang Joy Tobing, Baim ex Ada Band tebar pesona dan berita lain tentang para selebritis yang suka jual tampang dan sensasi itu. Baiklah kita sudahi dulu ungkapan palese minta perhatian seperti itu. Anggap saja kurangnya perhatian tentang kebakaran Mutis sebagai tantangan bagi semua pemerhati dan pencinta lingkungan hidup untuk terus berjuang bagi penyadaran umum tentang pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup dan sumberdaya. Bukan karena apa-apa, tetapi karena memang di situlah setiap orang hidup dan berkehidupan. Kita kembali saja kepada kasus kebakaran Hutan CA Mutis.

Kekhawatiran terhadap degradasi ekosistem Mutis sudah menjadi wacana seluruh elemen terkait baik pada tingkat lokal, regional maupun nasional, salah satunya adalah Forum Daerah Aliran Sungai Nusa Tenggara Timur. Melalui kerjasama Forum DAS NTT dengan WWF Indonesia Program Nusa Tenggara, sudah mencoba melakukan kajian-kajian strategis terhadap seluruh potensi sumberdaya dan kebijakan dalam pengelolaan DAS Benenain Noelmina, sehingga pada tanggal 28-29 Juni 2006 dilaksanakan workshop pengelolaan terpadu DAS Benain Noelmina di Kupang yang melibatkan seluruh unsur terkait mulai dari DPRD NTT, Pemerintah Provinsi NTT, Perguruan Tinggi, Pemerintah Kabupaten/Kota, Rohaniawan, tokoh adat, masyarakat hulu, tengah dan hilir, LSM, PDAM, perwakilan dari Departemen Kehutanan dan Departemen Pekerjaan Umum. Tulisan ini merupakan pengantar awal dari seluruh rangkaian tulisan yang dipublikasikan untuk mencoba mengangkat persoalan mendasar yang terjadi pada seputaran DAS Benenain Noelmina. Para penulis selanjutnya merupakan tim risetyang terlibat dalam penyusunan konsep pengelolaan terpadu DAS Benenain Noelmina, berasal dari berbagai latar belakang ilmu dan institusi yang terhimpun dalam Forum DAS NTT.

Hutan Indonesia tampaknya sudah menjadi pelanggan rutin bencana kebakaran. Bahkan, karena terlalu seringnya kebakaran maka setiap bencana lalu terasa sebagai suatu rutinitas belaka. Bahkan malu karena ekspor asap ke negara tetangga mudah berlalu seperti asap saja. Bagaimana dengan di Nusa Tenggara Timur. Wah, kalau soal kebakaran maka NTT bukan lagi pelanggan kebakaran tetapi sudah menjadi produsen kebakaran. Jikalau meminjam istilah di kalangan pers maka NTT tampaknya sudah merupakan bagian dari konglomerat penerbit kebakaran yang hoffklass atau kelas wahid. Mana ada lahan yang tidak dikelola dengan tanpa api? Mudah sekali menemukan kebakaran lahan di NTT begitu selesai musim hujan dan memasuki awal kemarau. Dahulu kala, orang membakar hanya untuk mempersiapkan lahan menjelang musim hujan. Lalu, alasan itulah yang kita dengar jika terjadi kebakaran kapan saja. Pertanyaannya adalah, lahan apa yang mau dibuka di awal musim kemarau. Mau bertanam, airnya dari mana? Memangnya air dari kencing sapi? Maka tidak ada nalar lain bahwa api pada awal kemarau pasti digunakan tidak untuk mempersiapkan lahan. Di Australia, orang Aborigin membakar lahan mereka justru di awal kemarau agar supaya kebakaran dapat lebih terkendali. Tetapi itu kan di Australia. Apa alasan orang origin Timor, origin Sumba dan origin Flores serta origin-origin lain di NTT membakar lahan?. Ada alasan lain pembakaran, yaitu membakar untuk padang penggemba-laan, membakar untuk berburu, membakar karena konflik dan ada orang yang membakar karena senang melihat nyala api. Metzner (1980) pernah menyebutkan orang NTT sebagai pengidap pyromaniac. Suatu istilah yang keren tetapi sayang sekali karena kata itu berarti gila api. Wah, keterlaluan meneer yang satu itu. Perlu dicatat bahwa semua alasan membakar lahan seperti yang diungkapkan tersebut bukan omong kosong belaka tetapi merupakan temuan dalam suatu penelitian untuk Disertasi. Pertanyaannya adalah, apakah membakar adalah melulu kesalahan?

Dalam penelitiannya di savana Ekateta, Kabupaten Kupang, Riwu Kaho (2005) menemukan fakta bahwa kebakaran lahan savana justru diperlukan savana untuk mempertahankan stabilitas ekosistemnya. Dibuktikan juga bahwa ekosistem savana adalah ekosistem yang paling stabil di daerah kering seperti di Timor dan salah satu faktor penentu stabilitas, ya itu tadi, api. Akan tetapi peneliti yang sama juga mengingatkan bahwa kebakaran yang terlalu sering dan dilakukan pada waktu yang sembarangan akan membawa dampak yang buruk. Kebakaran yang terlalu sering akan menghabiskan bahan organik tanah, menghabiskan nitrogen tanah, mereduksi daya infiltrasi air ke dalam tanah, menstimulasi terjadinya erosi, dapat menyebabkan sifat tanah menjadi sangat basa yang berbahaya bagi tanamandan dapat mestimulasi penyebaran tumbuhan gulma. Kebakaran yang dilakukan pada waktu yang sembarangan dapat memicu kebakaran lebih dahsyat dibandingkan dengan kebakaran pada saat api disulut. Dalam penelitiannya, Riwu Kaho menemukan fakta bahwa pada kebakaran yang terjadi di saat suhu udara mencapai maksimum dengan tingkat kelembaban udara yang minimum (biasanya terjadi di antara pukul 11 - 15 siang) akan menyebabkan fenomena api loncat (jumpfire), yaitu pergerakan api yang beloncatan tidak menentu. Kebakaran tipe ini terjadi karena segera sesudah disulut, api akan memiliki cuaca mikronya sendiri. Dalam keadaan ini maka, di mana saja ada bahan bakar (fuels), apakah itu rumput, daun, ranting, kayu mati dan lain sebagainya, api akan merambat ke situ. Kebakaran seperti ini bersifat sangat liar dan orang bule menyebutnya sebagai wildfire. Api liar seperti ini sangat sulit untuk dipadamkan. Inilah yang terjadi pada kebakaran di Sumatera, di Australia dan di mana saja ketika wildfire terjadi. Wildfire hanya akan padam menurut kemauannya sendiri. Anda bisa memadamkannya tetapi dengan usaha yang berlipat-lipat keras serta memakan banyak biaya dan tenaga. Sekali waktu tampak padam tetapi tiba-tiba api dapat muncul dari arah yang berlawanan tanpa disadari. Fenomena inilah yang tampaknya terjadi pada kebakaan hutan di Mutis. Saya kutip berita tentang kebakaran di Mutis sebagai berikut "...sejumlah warga yang ikut memadamkan api mengaku harus pontang panting karena nyala api bisa muncul di mana-mana sehingga sangat sulit dipadamkan" (Pos Kupang, 16 November 2006).

Kita cukupkan dulu pembahasan tentang fenomena kebakaran. Lain kali disambung lagi karena ceritera tentang api masih amat sangat banyak. Tunggu saja. Sekarang kita tengok, apa sesungguhyna alasan orang membakar lahan. Sepintas kita telah mengetahuinya barang sedikit di bagian depan, yaitu untuk membuka lahan, memelihara padang penggembalaan, berburu, kesenangan, dan lain sebagainya. Akan tetapi hal-hal tersebut bukanlah akar pesoalan. Pengalaman bergaul dengan masyarakat pembakar savana di Ekateta dan kemudian menghitung-hitung beberapa variabel mengajarkan kepada Riwu Kaho (2005) bahwa orang membakar karena alasan ekonomi dan budaya. Ada 2 alasan ekonomis, yaitu api meru-pakan bentuk substitusi tenaga kerja dan substitusi pupuk. Alasan budaya peng-gunaan api ditemukan pada fakta bahwa api adalah warisan tradisi yang merupakan jati diri. Api adalah sarana pencucian jiwa. Pada titik ini, Poerwanto (2005, mengutip Kartodirdjo, 1979) memper-ingatkan bahwa sebagian besar masyarakat di pedesaan Indonesia mengalami 2 macam sindroma, yaitu sindroma kemis-kinan dan sindroma enersia. Poerwanto lalu mempertautkan kedua macam sindroma tersebut menjadi satu macam saja, yaitu sindroma kemiskinan dengan asumsi bahwa kedua macam sindroma tersebut selalu berada dalam hubungan sebab akibat yang bersifat dua arah. Sindroma kemiskinan termanifestasi dalam bentuk rendahnya tingkat produktivitas, pengangguran,kurang gizi, tingkat kematian bayi tinggi, tingkat pendidikan rendah termasuk tingginya tingkat buta huruf. Sedangkan sindroma enersia tampak dari sikap fatalisme, passivisme, rasa saling ketergantungan yang tinggi, kehidupan serba mistik dan lain sebagainya. Dalam kerangka pikir teori ini, maka dapat diajukan suatu hipotesis bahwa kebakaran lahan yang terjadi berulang dan sembarang di NTT adalah manifestasi dari sindroma kemiskinan dan enersia itu. Seandainya petani di Mutis cukup kaya maka mereka dapat menyewa tenaga kerja yang banyak sehingga api tidak perlu digunakan. Jika mereka tidak miskin maka pupuk dapat terbeli oleh mereka. Jika mereka tidak pasif maka pasti ada cara lain dalam mengelola lahan pertanian mereka yang tidak semata-mata menggunakan api. Kalaupun mereka mengunakan api, maka mungkin akan sama dengan rekan petani mereka yang kaya di negerinya tuan Geroge W. Bush, mereka akan menggunakan metode prescribed fire. Lalu, janganlah mereka ditakut-takuti lagi dengan ceritera bahwa kebakaran terjadi karena alam Mutis murka. Hal ini akan semakin membe-namkan mereka pada situsi kelembaman mistik yang pekat. Tidak, kebakaran bukan karena alam Mutis murka tetapi karena penggunaan api yang sembarang dan tidak memperhitungkan konsekuensi ekologis dari kesemberonoan itu.

Hutan Mutis terbakar sudah. Rahim Benenain-Noelmina menangis sudah. Apa kaitan antara Hutan CA Mutis dan Sungai Benenain-Noelmina. Ah, tempo hari ketika pergi ke Fatumnasi kami lihat hubungan keduanya baik-baik saja. Teta-pi kabarnya sekarang hubungan kedua-nya korslet beraat boss. Betapa tidak. Tegal perkara hutan CA Mutis dirambah dan dibakar maka orang di Belu dan Be-na menangis karena banjir. Di awal ta-hun 2006 dua kali banjir bandang melan-da Belu dan airnya diduga berasal dari hulu sungai di Mutis. Tetapi, sebaliknya, ketika orang di Bena dan Belu tingkat ekonominya lebih baik maka orang di Mutis hidup susah karena hutannya tidak boleh diapa-apakan karena merupakan daerah cagar alam. Ah, ada apa pula ini, kata si Poltak Raja Minyak....

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa, sehingga merupakan kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsinya untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya dan kemudian mengalirkannya melalui sungai utamanya (single outlet). Satu DAS dipisahkan dari wilayah lain di sekitarnya (DAS-DAS lain) oleh pemisah dan topografi, seperti punggung perbukitan dan pegunungan. Seorang pakar hidrologi hutan (Asdak, 2002) mengatakan bahwa DAS adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama. Wilayah daratan dimaksud dinamakan sebagai daerah tangkapan air yang merupakan suatu ekosistem dengan unsur-unsur utama adalah sumberdaya alam(tanah, air dan vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam. Dari batasan ini maka dapatlah dideskripsikan bahwa Gunung Mutis dan sekitarnya adalah gunung yang menampung air, Benenain dan Noelmina adalah penyalur air dalam bentuk sungai dan ka-wasan di Belu Selatan dan Bena, TTS adalah daerah dekat laut sebagai muara sungai. Dalam konsep DAS, kawasan Mutis disebut sebagai hulu DAS (up stream) dan Bena serta Belu Selatan adalah hilir DAS (down stream).

Karena hubungan seperti yang baru diuraikan dan karena air mengalir dari atas ke bawah mengikuti gradien gravitasi maka dapat dimengerti jika sesuatu yang terjadi di hulu DAS akan menentukan apa yang terjadi di hilir. Sebaliknya, dalam keadaan yang biasa-biasa saja, jarang terdengar bahwa apa-apa yang terjadi di hilir akan mempengaruhi kondisi di hulu. Jadi, memang sudah dari sono-nya orang hulu selalu diminta berhati-hati sedangkan orang di hilir boleh lebih kurang berarti. Mau bukti? Kebakaran yang mungkin terjadi di hutan kateri di Belu (hilir) tidaklah semenarik kasusnya jika dibandingkan dengan kebakaran di Mutis sebagai daerah hulu. Karena orang hulu akan menjadi takut mendapat banjir. Banjir kiriman katanya. Ketika terjadi bencana banjir maka orang hilir menderita sambil menjerit...orang hulu suda bekin susah kitong samua. Akan tetapi batul bagitu ko?

Dalam model normal, maka anggapan bahwa kerusakan ekosistem di hulu menyebabkan kerugian di hilir adalah benar adanya. Kerusakan di bagian hulu DAS akan memicu erosi dan sedimentasi sehingga daya tampung sungai akan aliran air berkurang sehingga mu-dah terjadi banjir. Kerusakan di hulu akan menyebabkan air larian meningkat sehingga semakin besar jumlah air yang harus ditampung oleh sungai. Pokoknya, kerusakan di hulu akan mengakibatkan penderitaan di bagian hilir. Akan tetapi keadaan untung rugi kawasan hulu-hilir tidak semata seperti itu. Karena erosi dan sedimentasi maka tanah di bagian hilir DAS umumnya lebih subur sehingga produktivitas pertanian lebih baik. Masyarakat di bagian hilir memiliki kesempatan berusaha yang lebih luas. Menjadi petani oke saja. Bosan bertani maka jadi petambak ikan ya oke-oke juga. Sementara itu, orang di hulu lebih terbatas. Karena rona vegetasi hulu adalah hutan, apalagi hutan CA seperti di Mutis, maka orang hulu hanya bisa "menonton" kawasan hutan yang ada. Bergerak sedikit saja di dalam kawasan hutan akan dituduh sebagai perambah. Akibatnya, dalam sistem ekonomi masayarakat hulu-hilir, adalah masyarakat hulu yang lebih miskin. Hal ini terbukti dari hasil penelitian tim Forum DAS NTT yang menemukan fakta bahwa ternyata tingkat pendapatan masyarakat di hilir Benanain-Noelmina lebih tinggi dibandingkan dengan masayarakat di hulu. Maka, orang di hulu DAS mangomel : kitong yang jaga utan dorang di hilir yang kaya. Pung enak laiiii!!!

Begitulah, tuding menuding antara masyarakat hulu dan hilir selalu terjadi. Bagai-mana mendamaikannya. Adagiumnya jelas, yaitu kalau semua baik-baik saja maka pertengkaran tidak akan ada. Persoalannya ada-lah bagimana membuat se-muanya baik-baik saja dalam keadaan seperti yang telah diuraikan? Jawabannya ada-lah harus ada sistem pengelolaan DAS yang terpadu. Pengelolaan DAS (PDAS) adalah upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya, dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam bagi manusia secara berkelanjutan. Hubungan timbal balik antara SDA dan SDM sangat penting karena SDM akan menentukan rona SDA. Sementara itu, pengertian pengelolaan DAS terpadu adalah proses formulasi dan implementasi suatu kegiatan yang menyangkut pengelolaan sumber daya alam dan manusia dalam suatu DAS dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi dan kelembagaan di dalam dan sekitar DAS, termasuk untuk mencapai tujuan sosial tertentu. Pengelolaan DAS terpadu dilakukan melalui pendekatan ekosistem yang dilaksanakan berdasarkan prinsip "satu sungai, satu rencana, satu pengelolaan" (one river, one plan, one management -- teman-teman di Forum DAS NTT menyebutnya sebagai wawan) de-ngan memperhatikan sistem pemerintahan yang desen-tralistis sesuai jiwa otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Satu sungai (dalam arti DAS) merupakan kesatuan wilayah hidrologi yang dapat mencakup bebe-rapa wilayah administratif yang ditetapkan sebagai satu kesatuan wilayah pengelolaan yang tidak dapat dipisah-pisahkan; Dalam satu sungai hanya berlaku Satu Rencana Kerja yang terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan; Dalam satu sungai diterapkan Satu Sistem Pengelolaan yang dapat menjamin keterpaduan kebijakan, strategi perencanaan serta operasionalisasi kegiatan dari hulu sampai hilir.

Jelas sudah bahwa konflik kewilayahan antara daerah hulu-hilir, antar kabupaten (jika aliran sungainya bersifat lintas kabupaten, antara provinsi (jika aliran sungainya bersifat lintas provinsi), dan bahkan lintas negara (jika aliran sungainya bersifat lintas negara) hanya dapat direduksi jika ada penlolaan DAS secara terpadu. Pengelolaan DAS dengan cara ini mudah diucapkan tetapi sangat sulit dipraktekkan. Untuk memudahkan orang dalam menyusun PDAS terpadu, dan dengan demikian praktek PDAS terpadu menjadi lebih mudah harus memenuhi beberapa persayaratan, yaitu harus tedapat suatu sistim pangkalan data (data base) yang diakui validitas dan reliabilitasnya secara bersama-sama (multipihak) serta harus ada kriteria dan indikator yang jelas dalam pengelolaan sehingga semua pihak dapat memiliki alat ukur yang sama untuk mengatakan bahwa: oh...iya...kita sudah maju dan berhasil sampai di sini dan belum begitu baik di sana....Pangkalan data yang dimiliki harus disusun atas beberapa aspek penting, yaitu aspek kebijakan dan peraturan perundangan, tata ruang, eko-nomi kawasan, sosial, budaya, dan kelembagaan, lahan dan sumberdaya mineral, pertanian, perkebunan,dan peternakan, kehutanan dan sumberdaya air. Lantas, berbasis aspek-aspek dalam data base itulah sistem kriteria dan indikator dikembangkan. Gampang ko? Susah ko?

Susah dan gampang dalam penyusunan Pengelolaan DAS Terpadu adalah suatu perkara yang relatif tetapi ada satu hal yang dipastikan bah-wa pekerjaan ini membutuhkan waktu dan komitmen se-mua pihak untuk duduk, ber-bicara, berpikir dan menulis-kan sesuatu secara bersama dan sinergis. Pembaca yang budiman, kawan-kawan di Forum DAS NTT akan berba-gi ceritera bersama Anda tentang suka duka penyusunan rencana Pengelolaan DAS Terpadu yang dikerjakan hampir sepanjang tahun 2006 ini. Bukan sekedar berceritera tentang proses tetapi juga me-reka akan berbagi ilmu ten-tang apa-apa yang telah diha-silkan. Mereka bekerja keras. Sangat keras, dengan reward yang sebenarnya kurang pantas untuk dibicarakan. Walaupun begitu mereka berkeyakinan bahwa sesuatu yang baik pasti akan disertai dan diberkati oleh Tuhan yang Maha Esa. Dan inilah reward yang sejati. Se-moga, di akhir sharing, Anda mendapatkan sesuatu yang bermanfaat dan mau bergabung dalam pekerjaan yang baik ini. Karena sesungguhnya seluruh permukaan bumi ini adalah sistem DAS itu sendiri. (PK)

*) Ekolog Undana, Senior GMKI Cabang Kupang

GMKI DAN NEOLIBERALISME

Periode 2004-2006: Fase Wacana dan Institusionalisasi

Oleh: Sylvester Ndaparoka, SP *)

NEOLIBERALISME (Neolib) adalah isu strategis yang menjadi perhatian semua elemen civil society secara global dan nasional-Indonesia, termasuk GMKI. Hasil Kongres ke-29 di Pemantang Siantar dalam Garis Besar Program dan Kebijakan Umum Organisasi mengamanatkan GMKI untuk meresponi secara serius akan isu strategis ini. Kongres ke-30 ini juga masih mengagendakan Neolib sebagai isu kunci dan hal ini kembali ditegaskan oleh Ketua Umum PP GMKI (Bung Kenly Poluan, S.Pd), Ketua Umum Panitia Nasional Kongres 30 (Bung Drs. Ibrahim A. Medah) dan Sekretaris Umum Panitia Nasional Kongres 30 (Usi Dra. Yaherlof Jacob-Foeh) dalam Talk Show interaktif TVRI Kupang pada hari Jumat (3/11).

Dari pengamatan cabang dan PP, telah menerjemahkan Neolib secara beragam. Misalnya: (a) Neolib menjadi materi-standar dan muatan baru dalam pelaksanaan kaderisasi anggotadi aras cabang. Misalnya di Cabang Kupang, Waingapu, Salatiga, Makassar, Jakarta, Medan, Papua adalah contoh cabang yang diketahui. (b) menjadi bahan study dan diskusi yang serius di tingkat komisariat, BPC, PP maupun lembaga-lembaga bentukan GMKI. Dari 2 model penerjemahan ini sebenarnya memberikan kesimpulan sementara bahwa Neolib telah menjadi wacana. Neolib baru dijadikan perspektif baru berprogram di GMKI. Atau dalam kalimat “Kaderisasi” bisa disebutkan bahwa Neolib telah memasukki ranah knowledge para kader GMKI setanah air selama 2 tahun terakhir.

Sikap Gereja: sudah selangkah ke depan. Gereja di Indonesia seperti GMIT (Gereja Masehi Injili di Timor) dalam beberapa study internalnya yang difasilitasi oleh Litbang GMIT telah pula menelurkan perjuangan konkrit atas berkenan dengan globalisasi dan Neolib. Adapun nilai-nilai yang diperjuangkan GMIT, Ekonomi dan Globalisasi adalah (1) Perdagangan yang saling menguntungkan dengan menghilangkan eksploitasi ekonomi, (2) Menciptakan sebuah sistem dan mekanisme perdagangan yang adil, (3) Mewujudkan keberpihakan yang nyata terhadap jemaat-jemaat, warga masyarakat/kelompok pinggiran yang marjinal, (4) Mengusahakan terciptanya keseimbangan yang sehat antara sistem ekonomi yang berbeda-beda.

Akhir-akhir ini isu ini kian kuat dalam gerejam bahkan dalam pertemuan Dewan Gereja-gereja se-Dunia termasuk PGI adalah “memerangi” Neolib. Hal ini bisa dibaca dengan jelas dalam dokumen yang terkenal AGAPE (Alternative Globalization Addressing People and Earth) inti komitmen dan Doa Gereja ini adalah pengambilan langkah aksi setelah bergumul dalam wacana dan empirisme Neolib. Ini konsolidasi gerakan gereja yang luar biasa dan memiliki kekuatan Doa.


Periode 2006-2008: Fase Aksi Konkrit dan Penyatuan Kekuatan

Momentum Kongres 30 ini di Kupang, menjadi strategis GMKI untuk menyatakan sikap dan konsistensinya berkenan dengan Neolib. Artinya kalo periode kemarin adalah periode konsolidasi wawasan tentang Neolib maka periode kali ini adalah masa untuk konsolidasi aksi. Keputusan kongres berkenan dengan Neolib dalam rumusan GBPKUO adalah cara terbaik. Komitmen cabang-cabang menjadi penting untuk “mensepakati” bahwa GMKI perlu konsolidasi gerakan aksi pelayanan memerangi Neolib. Gerakan Anti Neolib perlu menjadi “arus-utama” program GMKI se-tanah air. (Wilson Therik)

*) Penulis, Korwil VII PP GMKI Masa Bakti 2002-2004, Ketua Bidang Organisasi BPC GMKI Kupang Masa Bakti 2000-2002.

Wednesday, November 22, 2006

DI CARI SEORANG PEMIMPIN?

OLEH: ARMADO TAMBUNAN, SE *)

Ketika saya membaca surat kabar saya melihat kolom-kolom khusus mengenai lowongan pekerjaan kolom tersebut menawarkan segala macam jenis pekerjaan dengan kriteria-kriteria tertentu baik itu tingkat pendidikan ataupun keahlian-keahlian berikut juga pengalaman-pengalaman yang disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan, sejenak saya merenungkan apakah dengan kriteria yang ditentukan seseorang dapat langsung diterima dengan mudah untuk posisi yang ditawarkan tersebut ? dan ternyata jawabannya tidaklah sebegitu mudah karena adanya proses rekruitmen yang didalamnya terdapat seleksi dan persaingan, hal ini menjadi sebuah pilihan mutlak dan keharusan dalam proses rekruitmen tersebut.

Sebuah refleksi mungkin dapat kita renungkan dalam proses Kongres GMKI XXX ini, mungkinkah Dicari Seorang Pemimpin ? sebuah kata yang tepat dalam mewarnai kongres ini, bahwa GMKI membutuhkan seorang pemimpin yang harus memenuhi kriteria-kriteria yang diharapkan dan sesuai dengan kebutuhan organisasi ini sehingga terjadi kesinambungan didalam perjalanan organisasi.

Dinamika kongres memberikan sebuah pandangan dan asumsi-asumsi bagi keberlangsungan GMKI dan hal ini harus disesuaikan dengan kebutuhan organisasi, siapapun bisa memimpin tetapi apakah kalimat tersebut dapat diklaim apakah seseorang dapat menjalankan roda organisasi ini ?, tentunya uji kepatutan dan kepantasan haruslah dilakukan dimana hal ini menjadi tugas dan tanggung jawab Kongres untuk mempersiapkan dan memilih pemimpin yang berpotensi dan revolusioner yang memiliki visi dan misi kedepan dalam mengemban amanat agung kongres untuk mengawal Organisasi ini kegarda terdepan.

GMKI harus terus bergerak dan dinamis dalam menyikapi persoalan dan permasalahan kebangsaan baik itu kemiskinan, diskriminasi, kesenjangan sosial dan persoalan krusial lainnya begitu pula dalam menyikapi kondisi 3 medan penata layanan baik itu dalam Gereja, Perguruan Tinggi dan Masyarakat, GMKI diharapkan dapat menjadi tunas-tunas baru, lilin-lilin kecil yang dapat menyinari bagi bangsa dan negara ini, dalam hal internal organisasi, pembinaan, penciptaan dan pemberdayaan kader-kader yang sesuai dengan kondisi kekinian dalam era globalisasi dan pasar bebas sudah sangat diperlukan bukan tidak mungkin GMKI akan ditinggalkan oleh mahasiswa oleh karena GMKI tidak dapat menjawab tantangan kemajuan jaman, kondisi ini mengharuskan pemimpin yang tanggap sehingga nantinya menyadari kondisi dan permasalahan tersebut, sehingga tidak hanya lebih peka dan tanggap tetapi juga ada aksi yang dilakukan untuk mengadakan perubahan dan pembaharuan semata-mata untuk kemajuan organisasi.

GMKI harus dapat merefleksikan dan memproyeksikan dirinya dalam menyikapi kebutuhan-kebutuhan apa yang saat ini krusial dan tepat guna sehingga dapat mereformasi dirinya, melakukan perubahan-perubahan dan pembenahan baik itu aspek internal ataupun internal organisasi sehingga GMKI menjadi tempat belajar dan menciptakan kader-kader terbaik sesuai dengan tujuan awal para Founding Father gerakan dalam menghadirkan sebuah kalimat (shalom Allah) didunia ini dapat terwujud, kalimat akhir dapat kita simpulkan “lowongan itu terbuka bagi siapapun yang beritikad memajukan gerakan ini. (Wilson Therik)

*) Mantan Koordinator Wilayah II PP GMKI

MASYARAKAT DALAM MENATAP DUNIA KERJA

OLEH: ARMADO TAMBUNAN, SE *)

(Engkau sarjana muda berpacu dengan waktu, sia-sia ijazahmu) sebuah syair dari Iwan Fals, menggambarkan begitu peliknya problematika dunia pekerjaan dalam menatap pasar terbuka, menjadi suatu tantangan yang mau atau tidak harus dihadapi oleh setiap elemen masyarakat khususnya pemuda dan mahasiswa, dimana pembangunan ekonomi dan pasar dunia menuntut pembenahan-pembenahan disegala sektor kehidupan, kebijakan ketenagakerjaan seharusnya lebih mempermudah masyarakat dalam memperoleh informasi dan akses pekerjaan sesuai ruang lingkup akademik dan kemampuan yang dimiliki tetapi kenyataan disini bangsa ini masih diperhadapkan kepada permasalahan pengangguran, minimnya lapangan pekerjaan, rendahnya tingkat upah dan aturan-aturan ketenaga kerjaan yang dalam hal ini cenderung menguntungkan para pengusaha.

Aspek Pengusaha dan tenaga kerja seharusnya dituntut menciptakan hubungan yang harmonis (industrial relationship) antara pengusaha dan tenaga kerja, hambatan dalam penciptaan tenaga kerja itu harus direduksi, dimana disuatu sisi, pengusaha diharapkan dapat memperoleh keuntungan dengan faktor-faktor produksi yang dimilikinya, dilain sisi pekerja mengarapkan upah yang sesuai ataupun lebih besar dari yang diharapkan. Fungsi campur tangan pemerintah dalam memberikaan kebijakaan tentang ketenaga-kerjaan tentunya harus menjadi katalis dalam memberikan kemudahaan-kemudahan dimana ada solusi yang saling menguntungkan antara pengusaha dan tenaga kerja.

Kendala dan tantangan dalam mengahadapi pasar terbuka (Open Market) tentunya harus menjadi pemacu untuk dapat mempersiapkan diri yaitu dengan penciptaan lapangan pekerjaan baru, akses informasi yang luas dan lengkap sehingga dapat meningkatkan kualitas para pekerja itu sendiri. Kendala yang kita hadapi saat ini adalah lemahnya daya saing masyarakat itu sendiri baik itu dalam keahlian dan tingkat pendidikan sehingga tercipta tenaga-tenaga kerja murah dan kedepannya akan merugikan bangsa ini sendiri. Melihat dari sisi pasar tenaga kerja dimana permintaan akan tenaga kerja lebih rendah dibandingkan penyediaan tenaga kerja menimbulkan tingkat upah yang sangat rendah. Kondisi lain yang dihadapi adalah faktor skill yang terdiri dari kemampuan inteligence yang didapat dari strata pendidikan ataupun pelatihan-pelatihan yang pernah dilakukan dari hal ini dapat menurunkan daya saing masyarakat itu sendiri.

Peran campur tangan pemerintah tentunya dirasakan sangatlah perlu terhadap penciptaan lapangan pekerjaan baru, kebijakan mengenai pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah yang harus ditingkatkan, meningkatkan nilai tambah dari kualitas sumberdaya manusia itu sendiri baik dalam aspek Inteligence, emosional maupun spiritual quotience harus menjadi landasan dalam pembangunan dunia ketenagakerjaan di Indonesia yang tentunya dimulai dari pembenahan kualitas dunia pendidikan itu sendiri.

Peran serta mahasiswa saat ini dituntut untuk lebih peka dimana mahasiswa sebagai pembawa arus perubahan tentunya juga harus mempersiapkan diri dalam menghadapi pasar kerja dunia tidak hanya memiliki kualitas akademik yang baik tetapi perlu didukung oleh sense of crisis terhadap permasalahan yang dihadapi bangsa ini. Faktor lain yang tidak lebih penting adalah ketika mahasiswa terjun kedalam masyarakat diharapkan dapat menciptakan lapanganan pekerjaan baru sesuai dengan bidang dan kemampuan yang dimilikinya.

Persiapan kualitas sumber daya manusia ini tentunya menjadi masalah utama yang harus diselesaikam bersama yang tentunya harus melibatkan seluruh aspek pengambil keputusan, karena mau atau tidak mau kita harus terjun dan harus dapat mewarnai perubahan tersebut momen-momen seperti Kongres GMKI XXX harus menjadi refleksi dan proyeksi kedepan bagi mahasiswa dalam menyikapi dunia ketenagakerjaan. (Wilson Therik)

*) Mantan Koordinator Wilayah II PP GMKI

PEREMPUAN DI TENGAH PARTISIPASI DALAM RUANG PUBLIK ANTARA TUNTUTAN, TANTANGAN DAN KENYATAAN

OLEH: DARMANTO F. KISSE ,SP,MP *)

Shalom !!

Pertama-tama kita patut mengucapkan syukur pada Kepala Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dan sekaligus selamat dan Sukses bagi Pengurus Pusat GMKI dan Panitia Nasional Kongres XXX GMKI Tahun 2006, yang telah memberi nilai pada Forum tertinggi dalam organisasi GMKI yakni Kongres, yang telah dibuka oleh Gubernur Nusa Tenggara Timur.
Apresiasi yang tinggi kepada Pengurus Pusat GMKI dan Panitia Nasional Kongres XXX yang memiliki keberpihakan terhadap perjuangan kesetaran gernder, dengan diadakannya Pertemuan Perempuan GMKI, dengan tujuan memperdalam pemahaman Kader GMKI akan posisi dan peran Perempuan diruang publik, untuk menemukan model gerakan perempaun GMKI dan mengkonstruksi pemikiran progmatik bagi persiapan kader perempuan di ruang publik serta mendesign model struktur bagi pengoptimalisasian konsep pengembangan perempuan di ruang publik. Akan tetapi, sesungguhnya dalam suatu pemahaman analisis kritis, topik diatas belum memberikan tempat yang berarti bagi perempuan malah masih memposisikan perempuan sebagai subordinasi sekedar partisipan, adalah merupakan permasalahan yang senantiasa dijadikan acuan para pembahas, akan tetapi pada tataran empiris, dimana kaum perempuan diberi akses, justru yang terjadi adalah bahwa, ada kecenderungan kaum perempuan sendirilah yang memarjinalkan sesama kaumnya dan bahkan dapat dikatakan sebagai penjajah baru. Misalnya ibu-ibu yang memberikan tugas dan tanggungjawab mengasuh anaknya kepada mereka yang dikenal dengan penjaga/pengasuh bayi (baby sitter) dengan sejumlah balas karya dan bahkan ada yang memberikan balas yang tidak sesuai dengan Upah Minimum Propinsi (UMP) dan dalam masyarakatpun kita temui para pengasuh bayi atau pembantu rumah tangga ini di siksa oleh majikannya, yang nota bene adalah sesama kaum perempuan.

Partisipan adalah sebuah makna suplemen yang berhadapan dengan sebuah makna yang primer/utama. Mengapa hanya sekedar partisipasi perempuan ? mengapa menghitung peran perempuan hanya sekedar partisipan ? Partisipan dapat dikonotasikan sebagai peran figuran peran/ supporter yang kedudukannya tidak sama dengan dengan pelaku dan pemeran sesungguhnya atau tokoh sentral suatu lakon, misalnya kita sebagai bangsa pernah dipimpin oleh perempuan ataupun kita dapat mencontohi Israel yang pernah di pimpim oleh PM Goldemeir, atau Inggris yang dipimpin oleh PM Margareth Tacher bahkan mungkin dalam pengamatan ataupun pengalamankehidupan sosial kita pribadi di rumah tangga, tempat kerja, masyarakat dimana pembaca beraktivitas dan ada kecenderungan gaya/style/type kepemimpinan yang ditunjukkan adalah gaya otoritarian, dan masih banyak lagi contoh yang kita punyai baik dari hasil membaca, mengamati maupun pengalaman pribadi.
Selain itu ada juga Pemahaman yang ingin dikonstruksi sebagai peran yang harus dimainkan perempuan sebagai warga komunitas bukan sekedar diberi nilai sebagai partisipan, adalah sebuah hak perempuan dan merupakan kewajiban bagi patnernya kaum lelaki. Perempuan dan laki- laki harus menjadi pelaku baik diruang domestik maupun diruang publik, tetapi juga harus diakui bahwa dalam diri manusia baik laki-laki maupun perempuan terdapat apa yang dinamakan (black area), sehingga jika tidak hati-hati kita terjerumus kesana dan berkecenderungan memunculkan gaya/style yang merendahkan kemanusiaan kita. Termasuk didalamnya perempuan GMKI yang hendak di bentuk melalui program yang didesign untuk itu.
Untuk itu strategi akselerasi yang mesti ditempuh adalah bukan sekedar meminta, membujuk atau merayu akan tetapi melakukan tuntutan melalui berbagai pola dan terobosan yang lebih komperhensif dan tentunya senantiasa didasarkan kasih dengan tujuan agar menumbuhkan kesadaran kemudian menjadi sesuatu yang mewujud dalam tindakan nyata dan senantiasa direvisi untuk kesempurnaan, sebagaimana yang diajarkan dan dicontohkan oleh Kepala Gerakan. Jadin bukan intrik- kolulif dan bahkan intimidatif untuk meraih tujuan pribadi yang sengaca dan secara sadar di bungkus secara rapih menjadi seolah-olah tujuan bersama.
Tuntutan itu harus menjadi kesadaran perjuangan bersama untuk menghasilkan terjadinya akselerasi peran yang harus dimainkan oleh perempuan di ruang public secara lebih proposional.

Tuntutan peran dan kinerja sektor publik bagi perempuan harus berhadapan dengan variable determinant antara lain sumber daya, pengetahuan/ kemampuan intelektual maupun teknis dan kompetisi/persaingan serta ketangguhan mental atau self concept yang kuat. Tanpa totalitas kemampuan diatas kinertja public bagi perempuan akan menjadi sulit.

Sekarang kita harus meneguhkan komitmen bahwa tantangan dan kesulitan apapun akan bisa teratasi, karena batu-batu karang yang ditempatkan dalam perjalanan kita adalah tempat untuk kita mendaki, bukan penghalang bagi kita untuk maju, termasuk perempuan secara kwantitas maupun kwalitas harus secara nyata menerobos ruang public bahkan mencapai posisi leader power, jika itu harus dan tentunya harus dilandasi bahwa Kepala Gerakanlah yang mengatur seluruh skenario dibawah kolong langit ini, termasuk para patner kaum lelaki.

PEREMPUAN DAN PERADABAN

Peta dan kondisi keterbelakangan perempuan adalah sebuah peta peradaban yang dilakoni dalam ketidak tahuan manusia akan kesetaraan.sehingga jika kita mengatakan bahwa perempuan adalah korban peradaban maka. Apa sungguhnya hutang peradaban, siapa yang harus membayarnya ? Kapan harus membayarnya ? bagaimanana caranya membayarnya. Menjawab hal ini tentunya tidak secara verbal, akan tetapi diperlukan adanya kesadaran dari kita baik laki dan perempuan untuk secara sadar melihat dan mengakui bahwa secara subtansial perempuan dan laki-laki mempunyai kedudukan yang sama, Apa yang menjadi persoalan kodrati adalah sesuatu yang melekat pada bawaan jenis kelamin. Selain itu peran peran yang ada adalah sebuah rekayasa sosial yang masih harus didiskusikan secara sehat dan bersama.

Yang terpenting kita mesti melakukan upaya dekonstruksi untuk secara bertahap dan terukur membangun paradigma dan stigma yang tidak timpang antara persepsi peran laki-laki dan perempuan. Ketimpangan akibat rekayasa sosial budaya ini akan mengakibatkan termarjinalisasinya manusia (perempuan atau lelaki) dalam sektor publik. Oleh karena itu, merekonstruksi perjalanan peradaban kedepan, harus disadari dan dilaksanakan secara baik, benar dan tepat oleh seluruh komunitas peradaban yakni negara/ pemerintah sebagai sebuah sistem, dan seluruh segmen sosial melalui akselerasi sistem dan regulasi serta perilaku kemasyarakatan dan tentunya individu baik perempuan maunpun lelaki.

PROFIL PEREMPUAN DI RUANG PUBLIK

Peran perempuan dalam ruang publik secara jumlah masih dirasakan minim, bahkan posisi perempuan pada level top manejemen/ leader pun masih dirasakan kurang. Tetapi apakah memang benar demikian dalam tataran empiris, sepertinya diperlukan suatu diskusi panjang untuk ini, karena sebagai patner yang setara dengan lelaki seharusnya perjuangan melalui sistem regulasi untuk mengenjot perempuan dalam ruang publik melalui sistem alokasi 30 % perlu dipikirkan kembali, karenanya dengan kuota tersebut sebenarnya merugikan kaum perempuan sendiri, karena dari segi jumlah penduduk terbaca bahwa perempuanlah jumlah terbesar, tetapi keterwakilannya hanya 30 % dan persoalan tidak mencapai target bahkan mengalami kemundurun karena pada beberapa kasus terjadi pengurangan perempuan adalah masalah lanjutan dari ketentuan yuridis formal tersebut merupakan suatu matarantai yang tidak terpisahkan, misalnya di parlamen pemilu 2004 dan di lembaga presiden dengan tidak terpilihnya Megawati pemilu 2004, bukan karena persoalan jender semata tetapi karena style/ gaya kepemimpinan kaum perempuan yang menjadi “boomerang” bagi dirinya secara pribadi, jadi dengan menjadikan teladan tidak terpilihya megawati karena kurangnya kesadaran gender bukan contoh dan jawaban yang tepat untuk persoalan gender diruang publik, tetapi persoalan kompetisi manusia (perempuan dan laki-laki) dalam dunia politik. Termasuk tuntutan terhadap kekalahan Perempuan dalam mendapat tempat yang signifikan dalam mekanisme pemilihan umum dengan sistem proposional daftar terbuka pemilu 2004, semakin nyata memberi jawab bahwa kepentingan pribadi cenderung dibungkus rapi dan diformulasi untuk dijadikan persoalan bersama dan ini sangat pragmatis dan tidak berorientasi gender, jika gender disepakati sebagai kesepakatan bersama dalam menkonstruksi peran sosial umat manusia (lelaki dan perempuan). Hal ini terbukti dari walaupun perempuan memiliki suara mayoritas diatas 50 % pada pemilihan umum 2004 pun tidak mampu memberikan dan menghantar perempuan keruang legeslatif karena perjuangan gender masih didominasi oleh kepentingan diri yang diberikan kemasan, sehingga tidak atau belum terciptanya kohesitas dikalangan perempuan sendiri.
Jika kita mau bersepakat untuk membangun peradaban baru, maka diperlukan pembenahan sistem termasuk regulasi disemua bidang politik dengan memberi masa konsolidasi dan rehabilitasi peran perempuan, tetapi perlu diingat bahwa dalam perjalanan kedepan, laksana kita mengemudi mobil, maka 80 % kita harus memperhatikan kedepan dan hanya 20 % saja kita sesekali memperhatikan kebelakang, jika tidak maka akan terjadi kecelakaan lalulintas karena ketidak benaran dalam mengemudikan kendaraan peradaban yang ingin kita kosntruksi atas dasar kesetaraan gender, ia khan mama boy, dong ? sehingga tuntutan agar Negara harus menjamin sistem Quota perempuan diparlemen dan di eksekutif dalam rentang masa tertentu dan kemudian setelah perempuan terkonsolidasi secara kwalitas dan kwantitas baru kita masuk dalam era kesetaraan yang bebas quota karena perempuan dan laki- laki sudah memiliki akses yang sama dan adil., merupakan cara berpikir yang benar tetapi perlu diingat bahwa dalam mencari pemecahan suatu masalah tidak selamanya harus dimulai dari luar dan itu yang paling benar, tetapi perlu datang dari dalam atau tepatnya kaum perempuan tidak perlu mengalokasikan energi terbesar pada upaya menuntut saja tetapi sebaliknya lebih diorientasikan pada penataan dari dalam diri secara pribadi maupun secara bersama dan menunjukkan kemampuan dan karya bukan dengan melakukan kampanye yang sebatas pembicaraan alias kader modal bibir saja, alias kader banyak bicara tanpa karya yang menjawab kebutuhan diri maupun sesamanya.

Demikianlah tulisan sederhana ini dipersembahkan bagi setiap kader GMKI, teristimewa para Perempuan GMKI yang sementara berjuang dan mau membentuk diri untuk kinerja publik pasca Kongres XXX GMKI yang mulia, semoga berguna dalam upaya membangun peradaban baru, sebagaimana yang digambarkan dalam Alkitab sebagai dunia tanpa ketimpangan.

Selamat berjuang Kepala Gerakan Pasti memberkati kita, teriring salam dan doa tulus.
Ut Omnes Unum Sint. (Wilson Therik)

*) Mantan Sekretaris BPC GMKI Kupang masa bhakti 1992-1994

KONGRES GMKI DAN PEMIMPIN MASA DEPAN BANGSA

OLEH GURGUR MANURUNG *)

Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) akan melakukan Kongres Nasional XXX pada tanggal 5-12 November 2006 di Kupang. Kongres ini merupakan pengambilan keputusan tertinggi di tingkat nasional. Pertemuan akbar inilah yang membahas dan memutuskan masa depan GMKI dan pemilihan pengurus baru.
Eksistensi GMKI kini dipertanyakan banyak orang. “Masihkah ada GMKI?” Tanya seorang wartawan muda Kristen sebuah harian nasional. Pertanyaan ini seringkali muncul di kalangan komunitas Kristen, khususnya komunitas yang kurang peduli dengan wacana politik.
GMKI hadir sebagai anak kandung Gereja yang berfungsi sebagai perpanjangan tangan Gereja. GMKI melaksanakan tugas Gereja untuk menghadirkan syaloom Allah di kampus. Inilah visi GMKI.
Untuk menghadirkan syaloom Allah di kampus, kegiatan pokok GMKI yang tertulis dalam penjelasan Anggaran Dasar (AD) GMKI adalah melakukan Penelaahan Alkitab (PA). Dalam penjelasan AD secara ekspilisit tertulis “jikalau GMKI meninggalkan kegiatan PA maka akan terjadi erosi dalam tubuh GMKI”. Apakah GMKI telah melupakan PA sehingga terjadi erosi?. Saya melihat itulah yang terjadi.
Jikalau GMKI komitmen dengan tri panjinya, yaitu Tinggi Iman, Tinggi Ilmu, dan Tinggi Pengabdian maka pendapat masyarakat yang sebenarnya fakta itu tidak pernah terjadi. Tri panji itu haruslah dimiliki kader GMKI di tiga medan pelayanannya, yaitu Gereja, Masyarakat, dan Perguruan Tinggi.
Suka atau tidak, sejarah membuktikan bahwa GMKI di tingkat nasional maupun daerah dianggap pemerintah sebagai representasi mahasiswa Kristen. Jikalau ada persoalan bangsa, utamanya dalam urusan politik, pemerintah menganggap GMKI sebagai representasi mahasiswa Kristen. Tidak hanya pemerintah, organisasi mahasiswa Islam, Hindu, Buddha, Konghucu juga mengganggap GMKI sebagai representasi mahasiswa Kristen.
Mengingat GMKI sebagai terminal kader maka GMKI masih relevan dan strategis untuk dibenahi dalam rangka menghasilkan manusia yang berintegritas dan visioner untuk membangun bangsa yang beradab. Kita menyadari kader GMKI ada yang terlibat dalam pemiskinan dan pembodohan bangsa ini. Mereka yang terlibat itu adalah para kader yang pintar berwacana tetapi terlibat dalam KKN. Sadar atau tidak sadar KKN menjadi akar kompleksnya persoalan bangsa.
Buruknya pendapat masyarakat dan hal yang dipertontonkan kader GMKI, tidak fair juga jika kita tidak melihat kader-kader GMKI yang bertahan dengan integritasnya di dunia pendidikan, profesional, menjadi birokrat, dan menjalani berbagai profesi. Anehnya, mereka yang konsisten dengan tri panji itu tidak populer dan seolah-olah mereka bukan idola. Seharusnya, merekalah yang menjadi teladan bagi kader-kader GMKI.
Sebagai contoh, seorang profesor di perguruan tinggi terkemuka di Bogor yang kini telah pensiun tidak makan nasi sejak puluhan tahun lalu dalam rangka menentang kebijakan Suharto yang menyeragamkan pangan di Indonesia. Dia adalah salah satu pendiri GMKI cabang Bogor bersama Hutasoit, mantan menteri peternakan dan perikanan yang juga pernah menjabat rektor Institut Pertanian Bogor (IPB). Kita juga mengenal Johanes Leimena yang dipercaya Soekarno karena integritasnya.
Kader GMKI yang kini tetap eksis dalam agenda reformasi adalah Jacobus Mayongpadang yang kita kenal bersama menolak uang rakyat di DPR. Selain itu, kita mengenal Alex Litaay, Sukowaluyo Mintoharjo, Yasona Laoly, dan masih banyak deretan nama kader GMKI yang terkenal dengan integritas dan komitmennya terhadap pencerdasan anak bangsa.

Dikotomi Timur-Barat

Salah satu penyebab reduksi nilai persekutuan yang terjadi di internal GMKI adalah adanya wacana Timur-Barat yang berkembang dalam proses pemilihan Pengurus Pusat (PP) GMKI. Wacana ini disadari atau tidak, menunjukkan kekerdilan pemikiran internal GMKI.
Sebagai kader GMKI yang mengakui Kristus sebagai kepala gerakan, tentu saja ketika mewacanakan Timur-Barat mereka menggambarkannya sebagai murid Kristus. Sebagai murid Kristus, idealnya wacana yang dikembangkan adalah pertumbuhan rohani. Kader yang rohaninya bertumbuh dengan baik, layaklah kita dorong memimpin GMKI.
Tanpa pertimbangan pertumbuhan rohani, GMKI kehilangan esensinya sebagai perpanjangan tangan Gereja di tiga medan pelayanannya. Pertumbuhan rohani yang saya maksud bukanlah sekadar pemahaman Alkitab vertikal saja. Tetapi lebih kepada pemahaman Alkitab yang mendalam dan kapasitasnya memengaruhi publik dengan kemampuan yang dimilikinya.
Artinya, pertimbangan peserta kongres untuk memilih PP adalah mereka yang rohaninya bertumbuh dan mampu memberi sumbangsih pemikiran dan tindakan dalam membangun bangsa dan negara secara optimal. Jikalau kemampuan ini dimiliki maka PP mampu mengatasi persoalan internal dan memberi kontribusi optimal di tiga medan pelayanannya.

Prioritas Kegiatan GMKI
Melihat perubahan global yang tidak terelakkan, di mana perubahan itu menyangkut etika, maka GMKI harus kembali kepada visi awal GMKI. Visi awal itu adalah menghadirkan syaloom Allah di kampus. Untuk menghadirkan syaloom Allah dikampus maka kader GMKI harus memahami Alkitab dengan benar. Pemahaman Alkitab dengan benar akan menghasilkan kader GMKI yang integritasnya terjamin.
Kader yang integritasnya terjamin niscaya akan membangun bangsa Indonesia yang bermartabat di masa yang akan datang. Dengan kata lain, kita tidak mendengar lagi ada kader GMKI yang terlibat KKN dan semacamnya. Kader GMKI ke depan adalah kader yang hidupnya sederhana dan memiliki dampak global menuju masyarakat dunia yang beradab.
Seperti kata Nelson Mandela, “Visi tanpa misi adalah mimpi. Visi dengan Misi akan mengubah dunia”. GMKI memiliki visi dan misi yang jelas. Dengan demikian GMKI harus mampu merubah dunia membangun perdaban. Hanya, kader GMKI harus taat dengan visi dan misi yang mulia itu. Ut Omnes Unum Sint. (Wilson Therik)

*) Senior GMKI Cabang Jakarta

TANGGUNGJAWAB SOSIAL GMKI TERHADAP MASYARAKAT SEBAGAI WUJUD SPIRITUALITAS

OLEH: WILSON M.A. THERIK

Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakannya di bawah gantang, melainkan diatas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu.” (Matius 5:13-15)

DALAM Terang Tema: Bertolong-Tolonglah Menanggung Bebanmu (Galatia 6:2) dengan Subtema: Menumbuhkan Spiritualitas Kemanusiaan Dalam Perjuangan Mewujudkan Keadilan, Persatuan dan Demokrasi di Indonesia.

Penulis mengamini subtema Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dengan beberapa alasan: Pertama, mahasiswa kristen baik yang tergabung dalam GMKI, Perkantas, LPMI, Pemuda Gereja atau institusi pendidikan lainnya seolah-olah kehilangan “roh” pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat dimana mahasiswa tersebut berada. Pendapat ini bertolak pada asumsi bahwa seharusnya GMKI tidak secara eksklusif “bergerak” pada perguruan tinggi kristen saja tetapi mampu mengajak atau menarik minat mahasiswa kristen dari institusi pendidikan lainnya yang ada. (Seperti Universitas Katholik Widya Mandira, Universitas Muhammdyah, STIBA Cakrawala Nusantara dan beberapa perguruan tinggi lainnya yang ada di Kota Kupang dimana sejumlah mahasiswa kristen berada di sana). Kedua, bahwa pelayanan dan pengabdian pada masyarakat menjadi aktualisasi iman kristen seperti dinyatakan pada ayat alkitab yang dikutib pada awal tulisan ini. GMKI harus mau dan mampu menjadi garam dan terang dunia. Ketiga, sebagai wahana kontemplasi terhadap perjalanan GMKI dalam memenuhi ruang kesejarahannya. Artinya bahwa apabila sebelum ini tanggung jawab sosial GMKI terhadap masyarakat masih belum optimal maka Kongres Nasional XXX GMKI diharapkan menjadi momentum untuk menjadi tonggak kesejarahan GMKI dalam keberpihakan pada masalah aktual kemasyarakatan. Dan tanggung jawab sosial tidak sekedar menjadi diskursus pada ruang kelas tetapi benar-benar diwujudnyatakan dan sekaligus menjadi sikap batin GMKI dalam mengawal pergerakan dinamis masyarakat.

Namun dalam subtema tersebut muncul ketumpang-tindihan terminologis yang mungkin tidak sengaja dilakukan. Untuk itu dibutuhkan semacam klarifikasi terhadap ketumpang-tindihan terminologis, yaitu tanggung jawab sosial seharusnya merupakan (bagian) spiritualitas institusi. Sehingga tanpa spritualitas tersebut, mahasiswa kristen tidak eksis dalam melakukan pegerakan atau “berada dalam ketiadaan”, karena mahasiswa tidak mungkin tercerabut dari masyarakat, karena apabila demiikian maka individu mahasiswa tersebut mengalami kegamangan eksistensi.

Ataukah memang selama ini GMKI mengalami kegamangan eksistensi sehingga membutuhkan pembahasan tema “spritualitas mahasiswa kristen” dengan subtema tanggung jawab sosial terhadap masyarakat. Kegamangan eksistensi dalam bahasa Perjanjian Baru adalah sudah menjadi tidak asin atau keberadaan mahasiswa kristen selama ini diletakkan dibawah “gantang” lembaga universitas sehingga aktualisasi tanggung jawab sosialnya tidak terpancar secara nyata dan terperangkap oleh panca indera masyarakat.

Penulis menyadari ada keterbatasan individual untuk dapat mengungkap secara komprehensif fakta aktivitas pergerakan mahasiswa kristen dan GMKI. Keterbatasan tersebut mengakibatkan cara pandang yang sempit (narrow perspective) terhadap eksistensi mahasiswa kristen dan GMKI. Tetapi yang terpenting saat ini adalah kesadaran perlunya memanggil kembali (recalling) tanggung jawab sosial mahasiswa kristen dalam keterkaitannya dengan masyarakat.

Takrif Spiritualitas

Spiritualitas sering memiliki konotasi yang mengarah ke sesuatu di luar dunia atau mengimplikasikan bentuk disiplin religius tertentu. Namun dalam makna yang lebih luas spiritualitas menunjuk pada nilai dan makna dasar yang melandasi hidup kita, baik duniawi maupun yang tidak duniawi, entah sadar atau tidak meningkatkan komitmen kita terhadap nilai-nilai dan makna tersebut. Sehingga mengacu pada definisi spiritualitas maka dalam pengertian yang luas berkaitan dengan nilai atau makna dari kehakekatan manusia yang mengarah pada kelanggengan yang melandasi kehidupannya.

Dalam pemahaman yang demikian maka spiritualitas menjadi pondasi dasar dalam melakukan aktivitas yang mengarahkan pada aktualisasi nilai-nilai yang dianut. Nilai-nilai tersebut mempengaruhi gerak langkah individu dalam pencapaian cita-cita personal atau pada saat berinteraksi dengan sesamanya. Sehingga spiritualitas menjadi pendorong atau daya penggerak dalam mengintepretasi dirinya dan lingkungannya.

Ruang Lingkup GMKI

Seperti disinggung di atas bahwa dibutuhkan klasifikasi cakupan mahasiswa kristen, karena terdapat beberapa kemungkinan yaitu (1) mahasiswa kristen dalam arti yang luas dan (2) mahasiswa kristen yang berada dalam naungan perguruan tinggi kristen (seperti di UKAW Kupang, UKSW Salatiga, UKI Jakarta, UKI Maluku, UKI Paulus Makassar, Universitas HKBP Medan, UK Petra Surabaya, dll). Kategori yang pertama seharusnya menjadi ladang garapan dari GMKI, sehingga secara a contrario bahwa mahasiswa kristen di perguruan tinggi kristen hanya menjadi bagian kecil dari GMKI. Pemahaman terhadap kategori mahasiswa kristen ini berkolerasi dengan aktualisasi spiritualitas dalam melaksanakan tanggung jawab sosial.

Dengan melihat mahasiswa kristen dalam arti luas, kepekaan terhadap realisasi tanggung jawab sosial semakin besar. Dimana mahasiswa kristen yang berinteraksi dengan lingkungan sosial dapat mentransformasikan kompetensi keilmuannya dalam lingkungan tersebut. Kepekaan terhadap kondisi lingkungan sosial akan mempengaruhi tingkat kepedulian dalam mendarma-baktikan kompetensi keilmuannya yang tidak sekedar pada mahasiswa kristen yang berstatus mahasiswa perguruan tinggi kristen tetapi juga mahasiswa kristen yang non-perguruan tinggi kristen.

Cara pandang melihat ruang lingkup mahasiswa kristen ini menjadi ajang awal pelatihan dalam mengasah tanggung jawab sosial. Cara pandang ini menjadi penentu seberapa besar kemauan untuk mengemban tanggung jawab sosial dan mengupayakan aktualisasinya.

Dalam pembahasan ruang lingkup mahasiswa kristen termasuk memahami karakteristik denominasi gereja, secara garis besar dapat dibagi menjadi dua: gereja mainstream dan non mainstream. Pemahaman ini diperlukan untuk melahirkan simpati atau mengajak terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Strategi untuk melahirkan simpati atau mengajak terlibat menjadi tugas penting sebagai upaya membangun jejaring dalam melakukan pergerakan.

Tanggung Jawab Sosial dan Kewajiban Moral GMKI

Tanggung jawab sosial GMKI dalam perspektif penulis diletakkan dalam nats Alkitab yang dikutip diawal tulisan ini yaitu menjadi garam dan terang bagi masyarakat dimana mahasiswa kristen itu berada. Dalam konteks spiritualitas (kristen) maka GMKI harus menampilkan dirinya sebagai aktor yang dapat memberikan “rasa” lain dan sekaligus menerangi gerak perkembangan masyarakat.

Elaborasi garam dan terang sebagai tanggung jawab sosial GMKI dapat mengejawantah dalam setiap aspek kehidupan masyarakat. Pengejawantahan tanggung jawab sosial tidak sekedar menjadi “lips service” semata. Karena segala tanggung jawab sosial sudah menjadi komitmen bagi GMKI maka mengandung kewajiban moral. Istilah kewajiban berarti menuntut pemenuhan apa yang diwajibkan, dimana apabila tidak terpenuhi kewajiban yang dimiliki dapat dikenakan sanksi sosial.

Cara pandang ini mungkin normatif-legalistik, tetapi dalam konteks sosiologi bahwa ketidakmampuan memenuhi kewajiban berimbas pada hukuman yang diberikan masyarakat kepada individu atau organisasi. Dan terkadang sanksi sosial sangat efektif memberikan efek jera bagi perilaku yang tidak sesuai dengan kewajiban yang diemban. Individu atau organisasi yang dikenai sanksi sosial maka keberadaannya sudah menjadi tidak diakui.

Menjadi garam dan terang dalam pergumulan GMKI menurut penulis secara garis besar adalah: (1) advokasi/pendampingan pihak yang lemah; (2) memerangi kemiskinan; (3) pemberantasan korupsi; (4) memperjuangkan demokrasi dan pluralisme. Keempat hal tersebut apabila diperas substansinya adalah kepedulian terhadap sesuatu yang berada diluar dirinya. GMKI dituntut untuk tidak menjadi egois atau selfish, tetapi harus melihat analogi garam dan terang (lilin/pelita). Garam untuk dapat memperkuat rasa dia harus melebur dirinya dalam masakan atau adonan, demikian pula lilin ketika memberikan penerangan membakar dirinya agar lingkungan disekitarnya dapat dipenuhi terang.

Kepedulian terhadap sesama menuntut pengorbanan. Pengorbanan dimaksud dalam segala aspeknya, seperti yang pernah Yesus berikan kepada umat manusia. Pengorbanan Yesus harus menjadi inspirasi dan benchmark bagi pergerakan GMKI. Demi keselamatan manusia, Yesus mau dan mampu memberikan dirinya menanggung dosa manusia (Lihat Filipi 2:5-8). Maukah GMKI memberikan dirinya dalam mengaktualisasikan tanggung jawab sosialnya?

Dalam aras nasional GMKI seperti “katak dalam tempurung”, lebih memilih “berasyik-masyuk” dalam kubangan status kemahasiswaan daripada memilih mengabdikan pengetahuannya untuk masyarakat. Dimanakah GMKI ketika korupsi digemakan? Dimanakah GMKI ketika PKL diancam hak ekonominya? Dimanakah GMKI tatkala rakyat menjerit karena busung lapar, dan gizi buruk? Dimanakah GMKI ketika hukum tak pernah menyentuh pencari keadilan di negeri ini?

Purna Wacana

GMKI belum mampu dan belum mau menjadi aktor dalam membantu atau mengawal perubahan bagi masyarakat kecil yang selalu tertindas. Untuk itu kesadaran akan perlunya tanggung jawab sosial menjadi modal awal yang harus diikuti dengan rencana aksi GMKI harus terlibat dalam perjalanan penerapan nilai-nilai demokrasi dengan suatu langkah nyata dengan mengesampingkan sekat-sekat ideologis maupun primordialisme. Apabila GMKI concern terhadap keberlanjutan Indonesia sebagai sebuah negara maka GMKI harus mengambil peran sebagai lokomotif demokrasi. (Wilson Therik)