Friday, November 17, 2006

Meutia Hatta Swasono

Belis dan Sifon Rugikan Perempuan NTT

Tata cara adat sifon (sunat bagi kaum laki-laki di Timor) dan belis (penghargaan terhadap perempuan yang dipinang) yang masih berlaku di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dinilai merugikan kaum perempuan.

Masalah ini mengemuka dalam `Workshop` Peran Kultur Perempuan Dalam Pembangunan saat berdiskusi dengan Menteri Negara (Meneg) Pemberdayaan Perempuan (PP), Prof. DR Meutia Hatta Swasono, di Kupang, Jumat.

Workshop` itu diselenggarakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan bekerjasama dengan Badan Kemitraan Ventura Universitas Indonesia (UI), di Kupang, yang berlangsung selama dua hari dari tanggal 16-17 November 2006.

Peserta `Workshop` menyimpulkan, peran kultur perempuan di NTT belum baik karena berbagai penyebab, antara lain tata cara adat sifon dan belis yang merugikan perempuan.

Dalam tata cara sifon, perempuan merupakan “obat” bagi laki-laki yang disunat. Laki-laki diberi kewenangan menyetubui perempuan sesaat setelah disunat.

Demikian pula tata cara belis yang berorientasi prestise keluarga dan komoditi sehingga sering terjadi penentuan belis yang sangat tinggi dan berdampak pada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Selain itu, perempuan NTT tidak memiliki hak bicara dalam acara adat, dianggap bukan penerus marga dan tidak berhak atas warisan dan belum ada kelembagaan adat yang memposisikan perempuan pada porsi yang menguntungkan.

Kendati pun demikian, peserta workshop masih menaruh harapan adanya pemberian peran kultural kepada perempuan NTT atas sejumlah pertimbangan yakni adanya nilai-nilai adat yang menghargai perempuan, upaya revitalisasi dan refungsionalisasi peran perempuan dalam adat dan kearifan lokal yang menyelamatkan kehidupan perempuan.

Posisi perempuan NTT yang pada umumnya sebagai manager rumah tangga dan pendidik dalam rumah tangga juga merupakan peluang bagi perempuan untuk berperan secara kultural. Karena itu, mereka mengusulkan berbagai hal antara lain perlu pengkajian kembali nilai-nilai dan tata cara adat dalam mengharagai perempuan, termasuk penentuan belis sebaiknya memperhatikan kemampuan dari calon menantu.

Perempuan pun patut dibekali keterampilan dan pengetahuan yang memadai agar mampu meningkatkan kesehatan reproduksi dan berani menyuarakan hak-haknya.

Meneg PP mengatakan, hasil karya peserta `Workshop` itu patut ditindaklanjuti dalam bentuk kebijakan maupun penerbitan buku sebagai referensi dalam memberdayakan perempuan Indonesia.

“Berbagai hambatan budaya yang menyebabkan peran kultural perempuan menjadi lemah diinventarisir kemudian dicarikan solusi terbaiknya,” ujarnya.

Meutia Hatta menyarankan upaya pengkajian peran kultural perempuan itu terus dilaksanakan di berbagai wilayah dan Kementerian PP akan selalu memberikan dukungan.

Sejauh ini, `workshop` peran kultural perempuan itu baru dilaksanakan di tiga provinsi yakni Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan NTT.

“Kementrian PP akan terus berupaya memberdayakan perempuan Indonesia agar tidak kalah dengan perempuan dari negara lainnya. Beberapa waktu lalu kami (Indonesia) menjadi tuan rumah rapat koordinasi pemberdayaan perempuan tingkat ASEAN dan itu sangat memotivasi peningkatan peran perempuan di negeri ini,” ujarnya. (***)

TNI AL dan Angkatan Laut Australia Latih Tempur Bersama

Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) dan Angkatan Laut Australia latihan tempur bersama di perairan Laut Autralia dan Laut Timor tanggal 15 - 18 November 2006. Latihan ini untuk meningkatkan profesionalisme prajurit, meningkatkan pengamanan di laut dan mempererat hubungan antara Indonesia - Autralia, yang semakin membaik akhir-akhir ini.
Panglima Armada Timur (Pangarmatim), Laksamana Muda (TNI) Moekhlas Sidik, MPH, mengatakan hal itu kepada Wartawan usai bertemu Gubernur NTT, Piet A Tallo, S.H, Rabu (15/11) pagi.
Sidik mengatakan, latihan tempur TNI AL bersama prajurit Angkatan Laut Australia sering dilakukan. Hanya selama sembilan tahun terhenti. “Kini, kita coba lagi, bersamaan membaiknya hubungan ke dua negara tersebut,” katanya.
Dalam latihan bersama ini, demikian Sidik, yang terpenting harga diri bangsa tetap dijaga, dan mereka juga harus memahaminya. Dengan adanya saling pengertian, lanjut Sidik, memberi hubungan baik dan saling menghargai kedua negara.
Dalam latihan tempur bersama ini, jelas Sidik, TNI AL menggunakan dua kapal perang yang didukung 60 personil tiap kapal, dan Australia juga akan menggunakan dua kapal perangnya.
Materi pelatihan, jelas Sidik, latihan penembakan di laut dan bagaimana menyelesaikan suatu sasaran yang harus dikejar di laut, latihan komunikasi secara internasional dan lainnya.
Latihan tempur ini, lanjut Sidik, starl dari Perairan laut Australia dan akan berakhir di perairan Laut Timor. Kupang dipilih, lanjutnya, karena selain jarak, juga memadai dengan waktu latihan tiga hari. “Kami ingin Kupang menjadi salah satu pangkalan angkatan laut yang kami kembangkan. Titik luar yang bisa mengobservasi perairan di selatan,” kata Sidik.
Ditanya apakah latihan ini ada kaitannya dengan maraknya penangkapan nelayan asal Indonesia di perairan Australia? Sidik mengatakan, latihan ini bermuara kepada kepentingan dua angkatan laut (TNI AL dan Angkatan Laut Australia, Red). Bagi TNI AL, lanjutnya, latihan ini lebih pada upaya untuk meningkatkan profesionalisme TNI AL.
Latihan ini juga, lanjut Sidik, akan membawa dampak pada pengelolaan wilayah maritim. “Kalau dampak langsung, saya belum melihat. Kami sudah lapor Pak Gubernur Piet Tallo, supaya bertemu untuk membicarakan bersama tentang kasus nelayan kita di Australia,” ujar Sidik, didampingi Danlantamal VII Kupang, Laksamana Pertama (TNI), Agus Setiawan Basuki.
Gubernur NTT, Piet A Tallo, S.H, yang ditemui Pos Kupang, Rabu (15/11), mengatakan, keberadaan TNI AL di daerah ini untuk menjaga keamanan wilayah perairan demi menjaga kepentingan masyarakat dan keutuhan negara ini.
Kehadiran TNI AL ini, demikian Piet Tallo, diharapkan dapat memotivasi masyarakat NTT untuk mewujudkan program gerakan masuk laut dan memanfaatkan sumber daya yang di laut. Selain itu, katanya, memotivasi kaum muda untuk menjadi taruna angkatan laut.
Gubernur Piet Tallo berharap keberadaan TNI AL di NTT bisa menghentikan nelayan NTT masuk ke perairan laut Australia secara ilegal. “Banyak nelayan kita sering diperalat orang lain dengan menggunkan perahu mereka untuk masuk Australia secara ilegal. Nelayan kita tergiur karena pendapatannya besar. Jadi, kalaupun ditangkap Angkatan Laut Australia dan perahunya dihancurkan, bagi nelayan kita, itu bukan masalah karena mereka dibayar dua kali lipat dari harga perahunya,” kata Piet Tallo. PK

Eksekusi Tibo Cs Munculkan Masalah Baru

syallomdaily

Eksekusi mati terhadap Fabianus Tibo, Marianus Riwu dan Frans Da Silva bukan menyelesaikan masalah di Poso,sebaliknya malah melahirkan masalah baru hingga konflik terus berkepanjangan sampai kini.

Hal ini disampaikan Arun Pangarungan, utusan GMKI dari Cabang Tanah Toraja (Tator) kepada wartawan disela-sela pelaksanaan Kongres Nasional XXX GMKI di Media Center, Selasa (7 November) kemarin.

Lima tahun terjadinya konflik di Poso sejak 2001 silam, hingga kini pemerintah belum menemukan solusi penyelesaian konflik. Kemampuan pemerintah hanyalah mendatangkan militer untuk meredam konflik yang terjadi.

Penembakan terhadap pendeta dan warga sipil di Poso menjadi bukti bahwa konflik di Poso belum tuntas hingga kini. Hasil dari pertemuan Malino pun tak mampu menyelesaikan masalah.

Arun secara tegas menampik jika konflik yang terjadi di Poso karena masalah etnis dan agama. Konflik yang terjadi di Poso karena masalah kepentingan diantara pemegang kekuasaan. “Tidak benar kalau konflik yang terjadi di Poso karena masalah etnis dan agama. Tidak ada masalah etnis dan agama di Poso,” ujar Arun.

Sebaliknya, konflik di Poso kata dia, dimanfaatkan dengan baik oleh militer untuk dijadikan sebagai pilot projek tetap mempertahankan eksistensinya di sana. Terbuktikan kata dia, dengan ditemukannya 3000 butir peluru hasil produksi PT. Pindad yang khusus hanya digunakan oleh militer.

Masalah yang terjadi di Poso saat ini jelas dia, sudah sangat kompleks sehingga harus ada sikap tegas pemerintah dalam menyelesaikannya.

Kepada pengurus pusat GMKI, Arun meminta agar jangan sebatas mengeluarkan seruan moral dalam menyikapi konflik yang terjadi di Poso. Yang paling penting adalah adanya sebuah gerakan yang mampu mempengaruhi kebijakan politik yang ditelorkan dalam menyelesaikan konflik Poso. ***

Sherly Watimena

Sosok Kongres XXX GMKI
Ut Omnes Unum Sint

Sejak awal memang tak ada seorang pun yang mengenal sosok perempuan bertubuh mungil ini yang bergelar sarjana ekonomi dari Universitas Patimura Ambon. Namun namanya mulai mengemuka ketika dirinya diusung cabangnya sendiri untuk duduk dalam keanggotaan Majelis Persidangan. Dari sinilah sosok seorang Sherly Watimena mulau dikenal sebagai seorang perempuan yang memiliki naluri kepemimpinan yang berkualitas meski belum dapat disamai dengan seorang Margareth Thacher. Tapi paling tidak. Nona Ambon manise berusia 26 tahun ini sudah menunjukkan kepiawaianya dalam memimpin sebuah persidangan dengan dinamika yang sangat tinggi.

Mantan ketua komisariat FE Unpati ini ketika ditanya kiatnya dalam memimpin sidang yang membahas thema dan sub thema yang akan mengiringi perjalan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) selama satu periode ke depan, berujar bahwa yang pasti bahwa esensi sebuah persidangan itu adalah bagaimana kita mampu mengakomodir semua kepentingan yang ada dalam forum ini dalam menentukan arah dan perjalanan GMKI selama dua tahun ke depan.

Oleh sebab itu, anak ketiga dari lima bersaudara ini berpendapat kalau proses dari dinamika persidangan yang sedemikian tinggi bukan menjadi soal karena sebagai seorang pemimpin sidang (majelis persidangan, red), dirinya mesti bisa menempatkan diri pada posisi yang tepat agar dapat mengakomodir semua kepentingan-kepentingan itu. Dalam artian, perbedaan justru harus dipahami sebagai culture dalam ber-GMKI kita yang juga adalah kekayaan untuk bisa mempersatukan kita lewat Ut Omnes Unum Sint yang juga merupakan motto GMKI itu sendiri.

“Jadi dalam hal ini saya akan tetap berusaha untuk tampil dengan sebaik-baiknya supaya saya bisa memahami semua prosesi yang terjadi dalam tampilan saya dengan selalu tersenyum dengan memanfaatkan naluri kewanitaan saya yang mesti memahami dulu pikiran-pikiran itu lalu baru akan kemana harus diarahkan”, ujarnya dengan penuh senyum.

Meski memimpin suatu persidangan dengan dinamika yang tinggi tentunya sangat berat karena membutuhkan tenaga dan pemikiran ekstra, namun Sherly mengaku kalau dirinya selama memimpin jalannya proses persidangan, tidak merasa ada yang berat. “Asumsi saya, jika kita memahami seluruh kepentingan bersama kita, cuma satu saja yakni kepentingan GMKI kita ke depan”, tuturnya

Ketua Bidang Pengkajian dan Penalaran di BPC GMKI Ambon ini juga mengutarakan bahwa yang paling menarik selama dirinya memimpin sidang adalah bagaimana caranya dia harus berpikir keras untuk mencerna dan mengakomodir semua perbedaan pemikiran yang ada, karena hal ini bagia dia adalah seni tentang bagaimana kemampuan melatih dirinya untuk bisa meyakini orang lain untuk menerima dan memahami pemikiran orang lain dan ini tentu harus ada ketrampilan tersendiri untuk mengakomodir semua ini. (rudy riwukaho)

GMKI Harus Pro Isu-Isu Kemanusiaan

Syallomdailynews-Gerakan MahasiswaKristen Indonesia (GMKI) harus pro terhadap issue-issue kemanusian selain terhadap permasalahan penguatan kapasitas institusi organisasi yang harus juga menjadi prioritas untuk ditingkatkan dari apa yang sudah dilakukan kepengurusan Pengurus Pusat (PP) GMKI periode 2004-2006 yang harus diakui telah melakukan banyak hal untuk kepentingan penguatan instisusi GMKI

Hal ini disampaikan kandidat Ketua Umum Bernard Ndawu (Korwil III) yang bertandang ke ruang media center bersama dengan kandidat Sekretaris Umum, Antony K.Awang,Jumat (10/11). Dia juga mengatakan bahwa persoalan aksi partidsipasi juga akan menjadi prioritasnya biola terpilih sebagai Ketuam dalam forumKongres XXX ini untuk diejawantahkan sesuai tiga medan layan GMKI yang tentunya akan lebih dikongkritkan lagi sehingga GMKI tidak terkesan elitis

Bagi dia,issue-issue kemanusian adalah suatu soal tentang bagaimana melawan diskriminasi terhadap etnis dan agama, karena diwilayah Jawa sendiri, kedua issue ini sangta kuat dank arena itu ke depan GMKI harus betul-betul memperjuangkan kedua permasalahan ini termausk perjuangan untuk membela kelompok masyarakat kecil atau mereka yang terpinggirkan.

“Jadi pada intinya kami memimpin GMKI kami berharap bahwa GMKI bisa menjadi sepertiapa yang diharapkan pendirinya yaklni sebagai pelopor dan penggerak”,ujar dia.

Jika Forum Kongres XXX memberi mandat kepada dirinya untuk memimpin GMKI selama satu periode ke depan, secara tegas dia berjanji akan melaksanakan amanat Kongres XXX secara sungguh-sungguh

Kasus Poso

Khusus mengenai persoalan Poso, dirinya berpendapat bahwa hal ini merupakan persoalan serius yang harus menjadi perhatian GMKI masa bhkati 2006-2008, mengingat GMKI periode 2004-2006 sudah banyak melakukan langkah-langkah kongkrit seperti memberikan masukan-masukan kepada pemerintah dalam kerangka penyelesaian konflik Poso.

“Jika kami dipercaya memimpin GMKI, solusi untuk selesaikan kasus Poso dengan membentuk tim gabungan independent yang melibatkan kelompok-kelompok masyarakat dan stakeholders. Karena menurut kami penyelesaian kasus Poso yang dilakukan pemerintah terkesan tidak serius dan juga sangat elitis. Karena yang dilibatkan di setiap pertemuan-pertemuan, hanya tokoh-tokoh masyarakat yang tidak terlibat secara langsung dalam konfdkik di Poso”, tegas dia.

Hal lain yang akan menjadi focus perhatiannya jika terpilih nanti adalah memperjuangkan atau membentuk semacam badan koordinasi nasional untuk penanganan kasus Poso sehingga tidak lagi menjadi parsial seperti yang dilakukan institusi-institusi pemerintahan seperti DPR RI, Polri dan sebagainya.

Dia juga mengatakan bahwa ke depan,keberpihakan GMKI terhadap korban bencana alam seperti di Nias dan Jogja harus betul-betul diimplementasikan secara nyata dan optimal.

Sementara itu Antony K. Awang mengatakan bahwa sebenarnya peran atau posisi GMKI dalam mengadvokasikorban bencana alam penting untuk dikembangkan. Dia mencontohkan statement Wapres Jusuf Kalla yang menjanjikan untuk membantu korban gempa joga sebesar Rp 10 – Rp 30 juta, namun realisasinya maksimal hanya Rp 15 juta. Ketika hal ini dipertanyakan, para politisi pendukung Jusuf Kalla hanya menjelaskan bahwa statement tersebut disampaikan dalam kapasitas sebagai pribadi.

“Yang kami lihat di kasus Jogya, gampang sekali seorang JK mengeluarkan statemen dimana setelah didesak partai pendukunganya, mengatakan itu statement peroangan”, jelasnya.

GMKI menurut dia, harus ikut berkontribusi agar ada semacam sistim penanganan bencana yang baik karena sejumlah kejadian yang pernah ada, pengelolaannya masih amburadul dan pihaknya berjanji jika terpilih nanti maka kepengurusan mereka akan berupaya untuk merumuskan pokok pikiran terkait penangana bencana seperti yang terjadi di beberapa tempat di tanah air. (Rudy Riwukaho)