Thursday, December 21, 2006

PENGADUAN MASYARAKAT DAN UPAYA PENYELESAIAN MASALAH PERTANAHAN DI NTT DALAM PERSPEKTIF OMBUDSMAN

Oleh : Agas Andreas, S.H.,M.Hum *)

1. Apa itu Ombudsman?

Begitu sebut OMBUDSMAN, lidah kita sulit mengucapkannya. Wajar saja, karena kosa kata ini baru tercatat dalam kamus administrasi ketatanegaraan kita, ketika enam tahun lalu terbit Keputusan Presiden RI Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional. Kata Ombudsman berasal dari bahasa Swedia tempat asalnya Ombudsman, terdiri dari kata ombud artinya perwakilan sah dan man artinya orang. Jadi Ombudsman artinya perwakilan sah dari seseorang.
Pengertian Ombudsman Nasional tercantum dalam Pasal 2 Keppres RI Nomor 44 Tahun 2000 yang menyatakan:
Ombudsman Nasional adalah lembaga pengawasan masyarakat yang berasaskan Pancasila dan bersifat mandiri, serta berwenang melakukan klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan Negara khususnya pelaksanaan oleh aparatur pemerintahan termasuk lembaga peradilan terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat

Kedudukan Ombudsman sebagai lembaga pengawasan masyarakat dengan jelas disebutkan dalam konsiderans dan batang tubuh Keppres RI No.44 Tahun 2000.

Dalam konsiderans Keppres RI No.44 Tahun 2000, bagian Menimbang dinyatakan sebagai berikut:
a. bahwa pemberdayaan masyarakat melalui peranserta masyarakat untuk melakukan pengawasan akan lebih menjamin penyelenggaraan negara yang jujur, bersih,transparan, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme
b. bahwa pemberdayaan pengawasan oleh masyarakat terhadap penyelenggaraan negara merupakan implementasi demokratisasi yang perlu dikembangkan serta diaplikasikan agar penyalahgunaan kekuasaan, wewenang ataupun jabatan oleh aparatur dapat diminimalisasi.
c. bahwa dalam penyelenggaraan negara khususnya penyelenggaraan pemerintahan memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap hak-hak anggota masyarakat oleh aparatur pemerintah termasuk lembaga peradilan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya menciptakan keadilan dan kesejahteraan

Kemudian dalam batang tubuh Keppres No.44 tahun 2000, dinyatakan sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam rangka meningkatkan pengawasan terhadap penyelenggaraan negara serta untuk menjamin perlindungan hak-hak masyarakat dibentuk suatu komisi pengawasan masyarakat yang bersifat nasional yang bernama Komisi Ombudsman Nasional, selanjunya dalam Keputusan Presiden ini disebut Ombudsman Nasional

Pasal 2
Ombudsman Nasional adalah lembaga pengawasan masyarakat yang berasaskan Pancasila dan bersifat mandiri, serta berwenang melakukan klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan Negara khususnya pelaksanaan oleh aparatur pemerintahan termasuk lembaga peradilan terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat

Berdasarkan ketentuan-ketentuan Pasal-pasal tersebut di atas, tampak bahwa Ombudsman Nasional sebagai lembaga pengawasan masyarakat adalah suatu lembaga publik yang mewakili kepentingan publik untuk mengawasi sikap tindak pejabat publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

a. Lembaga publik artinya lembaga yang dibentuk oleh negara dengan hukum publik.
b. Kepentingan publik artinya kepentingan masyarakat, baik kepentingan individu maupun kepentingan kelompok untuk memperoleh pelayanan yang baik.
c. Sikap tindak pejabat publik menujuk pada perbuatan hukum dan perbuatan nyata.

Pelayanan publik merupakan salah satu fungsi penyelenggaraan pemerintahan. Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) No.63 Tahun 2003,pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan pelayanan. Saat ini juga sudah ada Rancangan Undang-undang tantang Pelayanan Publik. Pengertian pelayanan publik dalam RUU tersebut adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak sipil setiap warga negara dan penduduk atas suatu barang, jasa, dan atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Pelayanan publik tidak hanya meliputi kebutuhan masyarakat atas suatu barang publik (jalan raya, air bersih, listrik, gedung sekolah, gedung pasar dsb), pelayanan perizinan, pelayanan administratif yang meliputi pelayanan dalam bentuk dokumen resmi sebagai bukti identitas dan hak seseorang (misalnya akta kelahiran, KTP, atau sertifikat tanah), tetapi juga pelayanan yang ditujukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan pemberdayaan masyarakat yang dijalankan oleh badan khusus yang dibentuk oleh hukum publik dan berwenang menampung dan menindaklanjuti keluhan masyarakat yang merasa dirinya dirugikan akibat dari sikap tindak pemerintah dalam pemberian pelayanan publik.

2. Tujuan, Wewenang dan Tugas Pokok Ombudsman
Tujuan Ombudsman dirumuskan dalam Pasal 3 Keppres No.44 Tahun 2000, sebagai berikut: Ombudsman Nasional bertujuan:
Melalui peran serta masyarakat membantu menciptakan dan atau mengembangkan kondisi yang kondusif dalam melaksanakan pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
Meningkatkan perlindungan hak-hak masyarakat agar memperoleh pelayanan umum, keadilan, dan kesejahteraan secara lebih baik.
Untuk mewujutkan tujuan Ombudsman tersebut di atas, Ombudsman mempunyai wewenang dan tugas yang dirumuskan dalam Pasal 2, Pasal 4, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 Keppres No.44 tahun 2000. Wewenang Ombudsman diatur dalam Pasal 2 adalah: Melakukan klarifikasi dan melakukan monitoring atau pemeriksaan atas laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan negara khususnya pelaksanaan oleh aparatur pemerintahan termasuk lembaga peradilan terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat

Adapun tugas pokok Ombudsman seperti dirumuskan dalam Pasal 4 adalah:
a. Menyebarluaskan pemahaman mengenai lembaga Ombudsman
b. Melakukan koordinasi dan atau kerjasama dengan Instansi Pemerintah, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, Para Ahli, Praktisi, Organisasi Profesi dan lain-lain
c. Melakukan langkah untuk menindaklanjuti laporan atau informasi mengenai terjadinya penyimpangan oleh penyelenggara negara dalam melaksanakan tugasnya maupun dalam memberikan pelayanan umum
d. Mempersiapkan konsep Rancangan Undang-undang tentang Ombudsman Nasional.


Pasal 8 ayat (1) Keppres No.44 Tahun 2000 mengatur tentang pelaksanaan wewenang dan tugas pokok Ombudsman sehari-hari dilakukan oleh Sub Komisi yang terdiri dari: Sub Komisi Klarifikasi, Monitoring dan Pemeriksaan, Sub Komisi Penyuluhan dan Pendidikan, Sub Komisi Pencegahan dan Sub Komisi Khusus.
1) Pasal 9 Sub Komisi Klarifikasi, Monitoring dan Pemeriksaan mempunyai wewenang:
Melakukan klarifikasi atau monitoring terhadap aparatur pemerintahan serta lembaga peradilan berdasarkan laporan serta informasi mengenai dugaan adanya penyimpangan dalam pelaksanaan pelayanan umum, tingkahlaku serta perbuatan yang menyimpang dari kewajiban hukumnya
Meminta bantuan, melakukan kerjasama dan atau koordinasi dengan aparat terkait dalam melaksanakan klarifikasi atau monitoring
Melakukan pemeriksaan terhadap petugas atau pejabat yang dilaporkan oleh masyarakat serta pihak lain yang terkait guna memperoleh keterangan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Menyampaikan hasil klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan disertai pendapat dan saran kepada instansi terkait dan atau aparat penegak hukum yang berwenang untuk ditindaklanjuti
Melakukan tindakan-tindakan lain guna mengungkap terjadinya penyimpangan yang dilakukan oleh penyelenggara negara.
2). Pasal 10 Sub Komisi Penyuluhan dan Pendidikan mempunyai wewenang
Melakukan penyuluhan guna mengefektifkan pengawasan oleh masyarakat
Mengajak masyarakat melakukan kampanye dan tindakan konkrit anti korupsi, kolusi dan nepotisme
Mendorong anggota masyarakat untuk lebih menyadari akan hak-haknya dalam memperoleh pelayanan
Menyebarluaskan pemahaman mengenai Ombudsman Nasional
Meningkatkan kemampuan dan ketrampilan para petugas Ombudsman Nasional
Menyelesaikan penyusunan konsep Rancangan Undang-undang tentang Ombudsman Nasional dalam waktu paling lambat enam bulan sejak ditetapkannya Keputusan Presiden ini.
3). Pasal 11 Sub Komisi Pencegahan mempunyai wewenang:
Melakukan kerjasama dengan perseorangan. Lembaga Swadaya Masyarakat, Perguruan Tinggi, Instansi Pemerintah untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam penyelenggaraan negara
Memonitor dan mengawasi tindak lanjut rekomendasi Ombudsman Nasional kepada lembaga terkait
4). Pasal 12 Sub Komisi Khusus mempunyai wewenang:
a. Menyusun dan mempersiapkan laporan rutin dan insidentil
b. Melakukan tugas-tugas yang ditentukan secara khusus oleh Rapat Paripurna.

Kalau memperhatikan tugas pokok dan wewenang Ombudsman seperti yang ditetapkan Keppres No.44 Tahun 2000 tersebut, maka pada prinsipnya tugas Ombudsman dapat dikelompokan dalam fungsi yang bersifat administratif atau yang membantu pelaksanaan fungsi pokok, dan fungsi yang bersifat tugas pokok fungsional. Tugas pokok Ombudsman sebagai lembaga pengawasan independen yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemberian pelayanan oleh aparat negara kepada masyarakat adalah :
a. Melayani laporan masyarakat atas keputusan, tindakan dan/atau perilaku penyelenggara negara yang dapat dikategorikan sebagai tindakan maladministrasi
b. Menerima laporan dari masyarakat yang berisi pengaduan atas keputusan, tindakan dan/atau perilaku pejabat penyelenggara yang dirasakan tidak adil, tidak patut, memperlambat, merugikan, atau bertentangan dengan kewajiban hukum instansi yang bersangkutan atau tindakan maladministrasi lainnya
c. Mempelajari laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman Nasional.
d. Menindaklanjuti laporan atau informasi masyarakat dalam bentuk rekomendasi atau usul-usul mengenai penyelesaian keluhan masyarakat kepada instansi terlapor.
e. Memonitor dan mengawasi tindaklanjut rekomendasi Ombudsman kepada lembaga terkait.

3. Penanganan Keluhan Masyarakat di Bidang Pertanahan oleh Ombudsman Perwakilan NTT & NTB
Penanganan keluhan masyarakat di bidang pertanahan oleh Ombudsman mengandung pengertian keseluruhan proses dan prosedur penanganan keluhan yang berawal dari penyampaian laporan sampai pada memantau tindaklanjut rekomendasi oleh instansi Terlapor. Beberap kasus di bawah ini akan menggambarkan mekanisme penanganan keluhan masyarakat NTT di bidang pertanahan oleh Ombudsman Perwakilan NTT&NTB.

KASUS I:
Penundaan berlarut atas permohonan perpanjangan Sertifikat Hak Guna Bangunan
Keluhan:
Melalui surat tertanggal 27 Desember 2004, Pelapor LC, berdomisili di Ruteng, Kabupaten Manggarai, melaporkan kepada Komisi Ombudsman Nasional, bahwa Kepala Kantor Badan Pertanahan (Kepala BPN) Kabupaten Manggarai (Terlapor) menunda berlarut-larut atas permohonan perpanjangan Sertifikat Hak Guna Bangunan.

Masalahnya:
Pelapor adalah pemegang sah sertifikat HGB No.01/Kelurahan Mbaumuku Kec. Langke Rembong tahun 1982 a.n LC, telah mengajukan 3 kali permohonan perpanjangan Sertifikat HGB kepada Kepala BPN Kab. Manggarai. Atas permohonan Pelapor tersebut, Kepala Kantor BPN Kab. Maggarai melalui surat tanggal 18 Agustus 2000 Nomor : 530/790 dan No.530/791 menolak perpanjangan sertifikat HGB. Terhadap tindakan Kepala Kantor BPN Kab. Maggarai yang menolak permohonan, Pelapor mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kupang dengan putusan tertanggal 7 Oktober 2000 No.13/G/2000/PTUN Kupang jo Putusan Mahkamah Agung RI No.196K/TUN/2001 tanggal 14 Maret 2001 yang telah mengabulakn gugatan Pelapor dengan amar putusan menyatakan bahwa surat Tergugat (Kepala Kantor BPN Kab. Maggarai) tanggal 18 Agustus 2000 Nomor : 530/790 dan No.530/791 dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum dan memerintahkan Tergugat (Kepala BPN Kab. Maggarai) segera memproses permohonan perpanjangan HGB No.01/Kelurahan Mbaumuku sampai pada penerbitan Sertifikat HGB yang baru atas nama Penggugat. Namun Putusan Mahmakah Agung RI tersebut sampai saat ini ( laporan dikirim ke Ombudsman) belum dilaksanakan oleh Kepala KantorBPN Kab. Maggarai.

Langkah Komisi Ombudsman
Ketua Komisi Ombudsman Nasional melalui surat No.0043/KON-Lapor-005/I/2005-ER tanggal 25 Januari 2005 yang diujukan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional di Jakarta, perihal masalah tersebut dengan pendapat Kantor Badan Pertanahan Nasional telah melakukan tindakan maladministrasi berupa penundaan berlarut-larut.

Rekomendasi Komisi Ombudsman
Ketua Komisi Ombudsman Nasional menyampaikan rekomendasi, agar Kepala Badan Pertanahan Nasional:
a. Melalui jajarannya melakukan penelitian, terutama mengenai tidak ditaatinya putusan Mahkamah Agung RI terkait pada penerbitan perpanjangan Sertifikat HGB No.01/Kelurahan Mbaumuku a.n LC
b. Mempertimbangkan dan mengambil tindakan terhadap aparat publik yang bertanggungjawab atas putusan Mahkamah Agung RI yang tidak ditaati
c. Menetapkan tindakan administrasi yang diperlukan untuk meluruskan perkara ini dan mengembalikan hak Pelapor dalam keadaan hukum semula, mengingat Pelapor sudah dirugikan.

Hasilnya
Dengan surat No.570/24.00/19/HAT tanggal 16 Pebruari 2005, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi NTT memberitahukan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional dengan tembusannya kepada Komisi Ombudsman Nasional hal-hal sebagai berikut:
a. Telah disampaikan petunjuk teknis yang ditujukan kepada Kepala Kantor BPN Kab. Maggarai dengan surat Kepala Kantor Wilayah BPN Prop. NTT tanggal 9 Januari 2003 No.570/24.10/07/HTA perihal penerbitan Sertifikat HGB yang baru dan surat tanggal 30 Juli 2004 No.500/24.10/96/HAT perihal Perintah Pelaksanaan Putusan.
b. Berdasarkan laporan Kepala Kantor BPN Kab. Manggarai, bahwa pelaksanaan Putusan Pengadilan terdapat beberapa fakta yang menghambat, yaitu:
1. Pelapor tidak lagi menguasai secara fisik tanah dan bangunan yang menjadi obyek HGB
2. Ada keberatan tertulis dari Pemda Manggarai, karena berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI No.3587K/PDT/2001 bahwa tanah yang disengketakan adalah hak milik Pemda
3. Terdapat 2 (dua) keputusan MA yang masing-masing mempunyai kekuatan hukum yang tetap pada obyek yang sama. Putusan MARI No.196 K/TUN/2001 tanggal 4 Maret 2001 yang memenangkan LC dalam sengketa TUN dengan Kepala Kantor BPN Kab. Manggarai dan putusan MARI No. 3587K/PDT/2001 tanggal 8 Oktober 2003, yang memenangkan Pemerintah Kab. Manggarai dalam perkara dengan LC
4. Berdasarkan fakta tersebut di atas dan dalam rangka memberikan jaminan, Kepala Kantor Wilayah BPN Prop.NTT meminta petunjuk yang bersifat penegasan dalam kaitan dengan status hubungan hukum Pemohon.

KASUS 2
Perlakuan secara diskriminatif oleh Badan Pertanahan Kota Kupang

Keluhan:
Pelapor MHM selaku istri YH, berdomisili di Jln. Tangga 40 RT/RW 17/06 Kelurahan Fontein Kota Kupang, pada tanggal 12 Juli 2005 datang di Kantor Perwakilan Komisi Ombudsman Nasional Wilayah NTT&NTB, melaporkan bahwa Badan Pertanahan Kota Kupang melakukan tindakan diskriminatif dalam pengurusan sertifikat tanah seluas 1.377m2 yang terletak di jalan Tangga 40 No.2 Kelurahan Fontein Kota Kupang.

Masalahnya
Suami Pelapor sejak usia 11 tahun tinggal bersama Paulus Huru Doko, karena ada hubungan keluarga. Pada tanggal 20 Juni 1931, Pemerintah Belanda memberi zin kepada Paulus Huru Doko untuk membangun sebuah rumah di atas sebidang tanah ukuran 1.372m2 yang terletak di jalan Tangga 40 No.2 Kel. Fontein Kupang. Pada tahun 1972 atas persetujuan secara lisan Magdalena Huru Doko janda alm. Paulus Huru Doko dan Frids Huru Doko anak kandung alm.Paulus Huru Doko dan Magdalena huru Doko, memberikan izin kepada Suami Pelapor untuk merenovasi rumah, membayar pajak dan mendaftarkan tanah tersebut ke kepala Subdit Agraria Kabupaten Kupang untuk mendapatkan GS. Atas permohonan suami Pelapor (YH) yang bertindak atas nama Magdalena Huru Doko, Kepala Seksi Pendaftaran Kabupaten Kupang telah menerbitkan Gambar Situasi (GS) No.2117/1972 tanggal 22 November 1977. Tanggal 20 Agustus 1979. Magdalena Huru Doko meninggal dunia. Frids Huru Doko selaku anak kandung Magdalena Huru Doko, yang berdomisili di Pare-Pare Sulawesi menyadari bahwa karena selama ini YH yang memelihara mama, maka dengan meninggalnya mama, rumah dan tanah diserahkan kepada suami Pelapor YH untuk mengurus sertifikat. Pada saat itu juga Frids Huru Doko menyerahkan surat-surat tanah kepada Frans Day salah seorang pegawai di Kantor Agraria Kabupaten Kupang guna diurus sertifikat. Beberapa waktu kemudian semua surat-surat tanah tersebut dikembalikan oleh Frans Day dengan alasan tidak dapat diurus sertifikat karena tanah tersebut milik pemerintah. Pada tahun 1982, Pelapor bersama suami YH mengurus kembali sertifikat tanah tersebut a.n Frids Huru Doko, namun tetap ditolak oleh Kantor Agraria Kab. Kupang dengan alasan tanah tersebut milik pemerintah. Pada tanggal 9 September 1994, Beny Yohanes Doko, Isak H. Doko, dan Habel Doko datang ke rumah Pelapor untuk mengambil surat-surat tanah guna diajukan permohonan sertifikat hak milik atas tanah tersebut kepada Kantor Pertanahan Kota Kupang. Atas dasar permohonan Beny Yohanes Doko, Badan Pertanahan Nasional Kota Kupang telah menerbitkan sertifikat hak milik nomor 197/1995 tanggal 25 Agustus 1995 atas nama Benyamin Doko.

Langkah Komisi Ombudsman
Kepala Perwakilan Komisi Ombudsman Nasional wilayah NTT&NTB melalui surat No.12/Kon.Lapor.0010/VII/2005-aa tanggal 15 Juli 2005 ditujukan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional NTT di Kupang, perihal masalah tersebut dengan pendapat Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota Kupang telah melakukan tindakan diskriminatif dalam pelayanan pengurusan sertifikat tanah.

Rekomendasi Komisi Ombudsman
Kepala Perwakilan Komisi Ombudsman Nasional wilayah NTT&NTB, menyampaikan rekomendasi agar pemberian pelayanan kepada masyarakat tidak dilakukan dengan cara-cara yang diskriminatif dan apabila permohonan Pelapor telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan, dapat diproses dan peroleh pelayanan sebagaimana mestinya.

Hasilnya
Melalui surat No.570/24.00/115/HAT tanggal 23 Agustus 2006, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi NTT menjelaskan kepada Kepala Perwakilan Komisi Ombudsman Nasional Wilayah NTT&NTB tentang pengurusan sertifikat tanah seluas 1.372M2 di jalan Tangga 40 No.2 Kel. Fontein Kupang a.n Beny J. Doko sebagai berikut:
a. Tata cara dan persyaratan serta kewenangan yang berkenaan dengan proses penerbitan sertifikat an. Beny J Doko telah memenuhi kriteria secara formal berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, seperti surat keterangan kepemilikan tanah yang dibuat oleh Pemohon mengetahui Lurah Fontein dan surat keterangan warisan yang dikeluarkan oleh lurah Fontein dandidaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Kupang. Selama jangka waktu proses sertifikat tanah tersebut, khususnya a.n Beny J. Dokoi tidak diterimanya keberatan dari pihak lain termasuk keberatan dari YH (suami Pelapor).
b. Bila Pelapor menginginkan untuk memperoleh kepastian penguasaan/pemanfaatan atas tanah yang dilaporkan, maka perlu diselesaikan secara kekeluargaan, dan apabila penyelesaian secara kekeluargaan tidak menguntungkan Pelapor, maka dapat menggunakan jalur hukum melalui lembaga peradilan.


KASUS 3
Kepastian hak atas tanah seluas 98.926,50M2 disekitar Pasar Oebobo Kota kupang

Keluhan:
Pelapor AA, berdomisili di Jln. Bajawa, Oebobo Kota Kupang, pada tanggal 26 Juli 2006 melaporkan kepada Komisi Ombudsman Nasional Kantor Perwakilan Wilayah NTT&NTB, agar ada kepastian hak atas tanah seluas 98.926,50M2 disekitar Pasar Oebobo Kota Kupang.

Masalah
Tahun 1983, Pemda NTT melakukan pembebasan tanah milik Pelapor seluas 1,2 ha untuk pembangunan Pasar Oebobo dengan ganti rugi sebesar Rp.100/M2. Ada sisa tanah milik Pelapor seluas 98.926,50M2 yang belum diterbitkan sertifikat oleh Badan Pertanahan Nasional Kantor Wilayah NTT, meskipun telah diajukan. Pelapor menginginkan sisa tanah tersebut diterbitkan sertifikat oleh Badan Pertanahan Nasional Kantor Wilayah NTT.

Langkah Komisi Ombudsman
Kepala Perwakilan Komisi Ombudsman Nasional wilayah NTT&NTB melalui surat No.27/Kon.Lapor.0020/VII/2005-dd tanggal 18 Agustus 2005 ditujukan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional NTT di Kupang, perihal masalah tersebut dengan meminta klarifikasi Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional NTT.

Rekomendasi Komisi Ombudsman
Kepala Perwakilan Komisi Ombudsman Nasional wilayah NTT&NTB menyampaikan rekomendasi, agar Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional NTT dapat memberikan penjelasan tentang alasan-alasan penolakan penerbitan sertifikat atas sisa tanah Pelapor kepada Komisi Ombudsman Nasional Perwakilan NTT&NTB.

Hasilnya
Pada Rapat Koordinasi Komisi Ombudsman Nasional Perwakilan NTT&NTB dengan Instansi Pemerintah Daerah tanggal 20 September 2006, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Prop.NTT menyampaikan klarifikasi secara tertulis tentang keluhan dari Pelapor terhadap kepastian hak atas tanah seluas 98.926,50M2 di Kelurahan Fatululi Kecamatan Oebobo Kota Kupang, dengan penjelasan sebagai berikut:
a. Dalam rangka pendaftaran tanah desa lengkap sesuai PP No.10 tahun 1961, oleh Direktorat Agarraria Propinsi NTT telah dilaksanakan Pendaftaran Tanah antara lain di Desa Oebobo tahun 1972, ternyata tidak ditemukan bidang tanah Pelapor seluas 98.926,50M2, tetapi yang ada hanya sebagian telah dikuasai oleh perorangan.
b. Pada saat pembebasan tanah oleh Pemda Tkt.I NTT untuk pembangunan Pasar Oebobo tahun 1983, Pelapor hanya menguasasi tanah seluas 12.000 M2 yang telah diberi ganti rugi oleh Pemda Tkt.I NTT.
c. Terhadap masalah tanah Pelapor, Pelapor telah menggugat Pemerintah Daerah Propinsi NTT, Kantor Wilayah BPN Prop.NTT dan PT. Putra Gemilang Karya Mandiri dan telah diputuskan oleh PN Kupang No. 65/Pdt.G/2003/PN-Kpg tanggal 26 Pebruari 2004 Jo. Putusan PT Kupang No.50/PDT/2004/PTK tanggal 30 Agustus 2005 Jo. Putusan Mahkamah Agung RI No.125 K/PDT/2005 tanggal 26 April 2006 yang pada intinya menolak gugatan dari Pelapor.

5. Pelapor, Ombudsman, dan Terlapor
Mencermati 3 (tiga) kasus yang ditindaklanjuti seperti disajikan sebelumnya, sebenarnya antara Pelapor- Ombudsman- Terlapor terdapat hubungan saling mengawasi dan melindungi. Hubungan saling mengawasi antara Pelapor- Ombudsman- Terlapor tercermin dalam langkah kerja penanganan keluhan masyarakat oleh Ombudsman.
Setelah menerima laporan masyarakat, Ombudsman melakukan tahapan penanganan mulai dari menerima laporan, mendaftarkan laporan, menganlisis, bahkan melakukan investigasi laporan, kemudian Ombudsman mengirimkan rekomendasi kepada Terlapor dengan tembusan kepada Pelapor. Karena ada tembusan kepada Pelapor, maka secara pasti Pelapor akan selalu ikut memantau perkembanganan penangangan laporannya oleh Ombudsman dan memantau perkembangan tindak lanjut rekomendasi oleh instansi Terlapor. Sementara itu, Terlapor terpacu untuk menindaklanjuti rekomendasi yang diterimanya, karena Ombudsman selalu memantau kesungguhan Pemerintah dalam menindaklanjuti rekomendasi Ombudsman. Terlapor selalu diawasi oleh Pelapor dan Ombudsman, sehingga melalu mekanisme pengawasan seperti itu, mencegah terjadinya ketidakadilan dalam pemberian pelayanan publik terhadap perorangan. Meskipun rekomendasi Ombudsman tidak mengikat secara hukum, tetapi jika diikuti atau ditindaklanjuti justru akan memberi perlindungan hukum bagi diri dan instansi Terlapor. Bagi dirinya, dengan mengikuti rekomendasi Ombudsman dirinya akan terbebas dari fitnah dan tuduhan-tuduhan yang tidak berdasar. Intinya, yang bersangkutan menyadari, bahwa sebenarnya Ombudsman merupakan pelindungnya dari tuduhan yang tidak benar. Bagi intitusinya, akan merasakan bahwa berkat selalu mengikuti rekomendasi Ombudsman, kinerja institusinya akan semakin baik dan terpercaya. Bagi Pelapor, dengan ditindaklanjuti keluhannya oleh Terlapor, ia merasa puas karena telah mendapatkan perhatian selayaknya sebagai manusia yang membutuhkan penghargaan. Tentu saja, kepuasan Pelapor tersebut melahirkan citra yang positip bagi BPN sebagai pelayan publik yang baik. Jika ini terjadi, maka kehadiran Ombudsman sangat membantu mendorong aparat BPN meningkatkan mutu pelayanan agar masyarakat memperoleh keadilan, rasa aman, danm kesejahteraan yang makin baik.

*) Dosen Fakultas Hukum Undana & Kepala Perwakilan Komisi Ombudsman Nasional Wilayah Nusa Tenggara Timur & Nusa Tenggara Barat, Jalan Eltari 2 No.105 Kupang

Simbol Babak Baru Kepengurusan PDI Perjuangan

Ia merintis karir politik dari bawah. Pada masa puncak tekanan kepada PDI (Partai Demokrasi Indonesia) pimpinan Megawati ia menjabat Sekretaris Jenderal. Kemudian saat PDI berubah nama menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) ia pun dipertahankan sebagai Sekretaris Jenderal DPP mendampingi Megawati. Kemudian, partai ini berhasil menjadi pemenang Pemilu 1999 yang mengantarkan Megawati ke puncak kekuasaan negeri ini.

Namun pria kelahiran Ambon, 01 Oktober 1948 ini tidak ikut terangkat dalam puncak kekuasaan itu. Malah ia seperti disingkirkan dari pusat pengambilan keputusan partai. Padahal, sebagai orang kedua di partai saat mendapat tekanan dahsyat dari pemerintah Orde Baru, ia telah mengabdikan diri demi kejayaan partai. Sehingga ketersingkirannya malah dinilai berbagai pihak menjadi simbol babak baru kepengurusan PDI-P.

Sebelum menjabat Sekjen DPP PDI ia menjabat Ketua Umum DPP GAMKI (1989). Posisi Ketua Umum DPP GAMKI inilah yang mengantarkannya menjabat Sekjen DPP PDI itu. Karena sejak PDI berdiri sebagai hasil fusi dari beberapa partai sudah menjadi kesepakatan bahwa jabatan Sekretaris Jenderal dipercayakan kepada anggota dari unsur Kristen.

Tapi setelah PDI-P tampil sebagai pemenang Pemilu kesepakatan ini telah dilupakan. Dalam Kongres PDI-P di Semarang tahun 2000, jabatan Sekjen tidak lagi dipercayakan kepada unsur nonmuslim. Untuk pertama kali PDI (PDI-P) tidak lagi memperhatikan keterwakilan unsur-unsur keanekaragaman kebangsaan dalam kepengurusannya. Kini, tampaknya oleh desakan psikologis eksterrnal partai, PDI-P tidak lagi terikat kepada unsur-unsur yang melahirkan dan membesarkannya.

Sehingga ketersingkiran Alex sebagai Sekjen PDI-P sekaligus diartikan berbagai pihak sebagai simbol pengingkaran PDI-P pada komitmen kebangsaan yang bhineka tunggal ika, dalam menempatkan berbagai unsur dalam kepengurusan partai. Partai ini dianggap berbagai kalangan berubah menjadi tak ubahnya seperti partai lain yang belum ikhlas mengaktualisasikan kebhinnekatunggalikaan Indonesia.

Alex digantikan Ir Sutjipto. Ia dengan legowo menerima keputusan kongres. Dalam pemerintahan Megawati, ia pun tidak diberi kercayaan menjabat posisi penting. Namun ia tetap tidak mau berteriak seperti kader PDI-P lainnya yang merasa tersingkir setelah Megawati berada di puncak kekuasaan.

Alex sudah aktif berorganisasi sejak kuliah di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris FKIP Unpatti, Ambon (1968-1972). Ia aktif sebagai Anggota GMKI Ambon (1969). Kemudian ia masuk Parkindo di Maluku (1971). Lalu menjabat Wakil Ketua BPC GMKI Ambon (1974-1976 ) dan Sekretaris Umum Dewan Mahasiswa Unpatti Ambon (1974-1978). Saat itu ia juga menjabat Sekretaris PP GMKI Regional Maluku dan Irian Jaya, Ambon (1976-1978) dan Pengurus KNPI Ambon (1977-1978).

Kemudian ia hijrah ke Jakarta menjabat Sekretaris Bidang Pendidikan Kader PP GMKI (1978-1980), Ketua Bidang Pembinaan Anggota PP GMKI (1980-1982), Kepala Bidang External PP GMKI (1982-1984) hingga menjabat Ketua Umum PP GMKI (1984). Ia pun terpilih menjabat Ketua DPP KNPI (1984-1987). Selepas itu, ia menjabat Ketua DPP GAMKI (1987-1989) dan Ketua Umum DPP GAMKI (1989).

Posisi Ketua Umum DPP GAMKI itu mengantarkannya menjabat Sekretaris Jenderal DPP PDI (1993-1998) dan Sekretaris Jenderal DPP PDIP (1998-2000).

Suami dari Maureen Maspaitella Litaay ini sebelum menjadi Anggota DPR dari Fraksi PDI-P, sempat berpofesi sebagai guru dan dosen. Ia pernah mengajar di SMA Kristen Ambon, (1970-1975) dan menjabat Asisten Direktur Yayasan Pendidikan Kader Bina Dharma, Salatiga (1984-1987) serta Asisten Direktur Johanes Leimena Jakarta (1988-1993)

Ayahanda dari Natasya Alexandra Litaay (13-10-1987), Adventya Zamyra Litaay (15-12-1988) dan Thomas Mandela Demokrasio Litaay (10-05-1994) ini menguasai (aktif) bahasa Inggris dan Belanda.

Putera dari pasangan Mezaac J. Litaay dan Marthina Hobertina Toisuta ini mengecap pendidikan di SMP YPK, Sorong, Irian Jaya (1962-1965), SMAN I Ambon (1964-1967) dan Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris FKIP Unpatti Ambon (1968-1972)

Di DPR/MPR ia aktif sebagai Anggota BP MPR RI, Anggota BKSAP DPR RI, Penasehat Fraksi PDIP DPR RI, Wakil Ketua Fraksi PDIP MPR RI, Anggota Komisi II (Hukum dan Dalam Negeri) DPR RI dan Anggota Sub Komisi Otonomi Daerah DPR RI. (rudy riwukaho - Sumber : Tokoh Indonesia)

Biaya Rumah Sakit Boleh Mahal, Asal Orang Miskin Gratis

Menteri Koordinator (Menko) Kesejahteraan Rakyat (Kesra), Aburizal Bakrie, mengatakan, biaya rumah sakit boleh mahal asalkan warga miskin bisa mendapat pelayanan secara gratis. “Saya sudah berkunjung ke rumah sakit itu dan ketika saya tanya bagaimana nasibnya warga miskin, manajemen rumah sakit mengatakan orang miskin mendapat pelayanan gratis. Berarti tidak masalah,” kata Aburizal, di Kupang, Rabu.

Terhitung 1 Januari 2007, manajemen RSUD Prof. W.Z. Johannes Kupang, satu-satunya rumah sakit milik pemerintah di Kota Kupang, ibukota Provinsi NTT akan memberlakukan tarif baru sesuai Peraturan Daerah (Perda) Nomor: 4 tahun 2006 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan.

Tarif baru pelayanan kesehatan rawat jalan di RSUD Kupang sesuai Perda 4/2006 sebesar Rp17.500/pasien. Terjadi peningkatan Rp12.500 dari tarif lama Rp5.000/pasien sesuai Perda Nomor 7 Tahun 2000. Tarif baru itu lebih mahal dari dua rumah sakit swasta di Kupang yakni Rumah Sakit Tentara (RST) dan Rumah Sakit Bhayangkara (RSB) hanya Rp15.000/pasien. Bahkan rumah Sakit Tabanan Bali hanya Rp8.500 dan Rumah Sakit Kepanjen Malang hanya Rp10.500/pasien rawat jalan.

Demikian pula, biaya rawat inap yang juga lebih mahal dari RSB Kupang. Perawatan Klas III di RSUD Prof W.Z. Johannes Kupang berkisar antara Rp50.000 hingga Rp65.000, sementara RSB Kupang hanya Rp35.000 dan RS Tabanan hanya Rp27.000.

Biaya rawat inap Klas II dan I pun jauh lebih mahal dari rumah sakit swasta di Kupang dan dua rumah sakit diluar NTT sebagai pembanding. Biaya rawat inap Klas II di RSUD Kupang sebesar Rp110.000, RSB Rp55.000 dan RST Rp102.000. RS Tabanan Rp36.000 dan RS Kepanjen Rp70.000. Klas I di RSUD Kupang sebesar Rp190.000, di RSB hanya Rp90.000 dan RST Rp122.500, RS Tabanan Rp54.000 dan RS Kepanjen Rp115.000.

Biaya rawat inap Klas Paviliun yang mencapai Rp345.000 di RSUD Kupang, sementara di RSB hanya Rp175.000, RST Rp170.000, RS Tabanan Rp100.000 dan RS Kepanjen Rp260.000.

Aburizal mengatakan, Departemen Kesehatan sudah mengingatkan manajemen rumah sakit di berbagai daerah di Indonesia agar tidak membebani warga miskin.

“Kalau manajemen RSUD Prof. W.Z. Johannes menaikan tarif dan dianggap mahal tidak menjadi persoalan sepajang pasien dari keluarga miskin tidak pungut biaya. Saya sudah tegaskan hal ini saat berdiskusi dengan direktur rumah sakit itu,” ujarnya.

Ia mengatakan, warga miskin yang membutuhkan pelayanan kesehatan di rumah sakit pemerintah dapat menggunakan kartu askes miskin (askeskin) agar tidak dibebankan biaya perawatan.

“Karena itu, pemerintah daerah berkewajiban memberikan kartu askeskin kepada warga miskin agar dimanfaatkan sesuai peruntukkannya,” ujarnya. (ant/rrk)

Kenaikan Gaji Dewan, Model Korupsi Yang Sangat ‘Bugil’


Pengamat politik DR Chris Boro Tokan SH.MH berpendapat, kenaikan gaji wakil rakyat dan para pimpinannya, baik di pusat maupun di daerah-daerah mencerminkan model korupsi secara “bugil” melalui pengaturan aspek kepastian hukum. Pengaturan aspek kepastian hukum yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada legislatif ini untuk tetap “mengamankan penyuburan model korupsi terbungkus” yang selama ini tersentral melalui perilaku oknum-oknum eksekutif dengan kroni-kroninya.

“Era sekarang menandakan bahwa korupsi dilakukan terbuka melalui pengaturan aspek kepastian hukum untuk para anggota legislatif dan pimpinannya,” kata Boro Tokan yang juga Ketua Biro Cendekiawan, Litbang dan Lingkungan Hidup DPD Partai Golkar Nusa Tenggara Timur (NTT) itu di Kupang, Rabu.

Doktor ilmu hukum lulusan Universitas Indonesia 2003 itu mengatakan, para wakil rakyat di daerah-daerah sudah tidak malu lagi mengatur kenaikan penghasilannya melalui perda, tanpa ada tolok ukur yang jelas tentang kinerja dan keberhasilan yang telah dibuat bagi rakyat di daerahnya masing-masing.

“Sangat ironis memang jika kita mencermati situasi dan kondisi yang tengah dihadapi bangsa dan negara saat ini seperti meningkatnya angka kemiskinan, gaji buruh yang rendah, pengangguran, bencana alam, rawan pangan, gizi buruk dan lain-lain,” katanya.

Namun, tegas mantan Sekjen PP Perhimpunan Mahasiswa Katolik RI periode 1985-1988 itu, elit pemerintah malah tidak malu-malu melakukan korupsi secara telanjang melalui dalil kepastian hukum, aspek legalitas yang mengabaikan aspek kemanfaatan atau kegunaan aturan hukum itu bagi rakyat yang hidup berkekurangan (miskin), menganggur, rawan pangan dan gizi buruk.

Dengan demikian, kata dia, pemerintahan SBY dan pemerintahan di daerah, sebenarnya secara sadar telah menjalankan suatu model pemerintahan yang “elite oriented” yakni lebih melayani kaum elit dan lingkarannya.

Hal itu menjadi suatu ciri pemerintahan kapitalis yakni melayani kebutuhan kaum elit pemerintahan dan kaum kapitalis (pemodal) yang melingkarinya, tambah mantan anggota DPRD NTT periode 1999-2004 itu.

“Pemerintah tidak sesungguhnya melayani rakyat, kaum miskin yang menderita, menganggur, karena pelayanan yang diberikan lebih bernuansa supaya rakyat tidak kecewa dan memberontak. Jika rakyat memberontak maka bagi elit pemerintahan tentu akan mengganggu kepentingan dan kenyamanan mereka yang selama ini sudah terpelihara melalui jalur korupsi,” kata Boro Tokan. (ant/rrk)

Danrem : Tak Ada Rencana Pembangunan Korem di Flores

Komandan Korem 161/Wirasakti Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Kol Inf Arief Rachman menegaskan, institusi TNI-AD tidak memiliki rencana untuk membangun markas Komando Resimen (Korem) di Ende, Pulau Flores, seperti rumor yang berkembang selama ini di masyarakat.

“Kami tidak memiliki rencana untuk membangun Korem di Ende dan wilayah lainnya di NTT. Yang ada hanya pemekaran kompi Batalyon Infanteri (Yonif) 743/PSY yang berkedudukan di Ende saat ini,” kata Danrem Arief Rachman dari Jakarta, Rabu, ketika dihubungi melalui telepon selulernya menyangkut isu pembangun Korem tersebut.

Isu pembangunan Korem tersebut mendapat reaksi beragam dari masyarakat di Flores, termasuk juga anggota DPR-RI asal Flores dari PDI Perjuangan, Cypri Aoer yang meminta seluruh komponen masyarakat NTT untuk menolak pembangunan Korem di Flores.

Dalam pandangan mantan Pemred Harian Suara Pembaruan itu, NTT bukan masuk dalam kategori daerah genting sehingga tidak membutuhkan Korem.

Danrem Arief Rachman menyatakan penyesalannya dengan rumor yang berkembang mengenai pembangunan Korem tersebut, karena terkesan mengada-ada untuk mencari popularitas murahan demi kepentingan politik tertentu.

“Kami tidak memiliki rencana apa pun untuk pembangunan Korem di Flores dan wilayah lainnya di NTT. Yang ada hanya pemekaran kompi Yonif 743/PSY karena ada hibah tanah dari masyarakat setempat di Desa Kuru, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende,” katanya.

Ia mengatakan, rencana pemekaran kompi tersebut karena ada hibah tanah dari masyarakat untuk TNI-AD. Jika tidak ada hibah tanah dari masyarakat, rencana pemekaran kompi mungkin juga belum terwujud, tambahnya.

Ketika Timor Timur lepas dari Indonesia pada 1999, Kodam IX/Udayana sempat mewacanakan pembangunan Korem di Flores menyusul di likuidasinya Korem 164/Wiradharma Dili.

Pangdam IX/Udayana (waktu itu), Mayjen TNI Adam Damiri sempat melakukan “hearing” dengan DPRD NTT di Kupang mengenai rencana TNI-AD membangun Korem di Flores pada saat itu.

Namun, DPRD NTT pada saat itu memberikan reaksi negatif terhadap wacana yang dilontarkan Pangdam IX/Udayana tersebut, karena masyarakat Flores juga menolaknya dengan tegas sehubungan dengan citra yang kurang menyenangkan terhadap eksistensi TNI di Timtim dahulu. (RRK)