OLEH: WILSON M.A. THERIK
“Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakannya di bawah gantang, melainkan diatas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu.” (Matius 5:13-15) DALAM Terang Tema: Bertolong-Tolonglah Menanggung Bebanmu (Galatia 6:2) dengan Subtema: Menumbuhkan Spiritualitas Kemanusiaan Dalam Perjuangan Mewujudkan Keadilan, Persatuan dan Demokrasi di Indonesia.
Penulis mengamini subtema Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dengan beberapa alasan: Pertama, mahasiswa kristen baik yang tergabung dalam GMKI, Perkantas, LPMI, Pemuda Gereja atau institusi pendidikan lainnya seolah-olah kehilangan “roh” pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat dimana mahasiswa tersebut berada. Pendapat ini bertolak pada asumsi bahwa seharusnya GMKI tidak secara eksklusif “bergerak” pada perguruan tinggi kristen saja tetapi mampu mengajak atau menarik minat mahasiswa kristen dari institusi pendidikan lainnya yang ada. (Seperti Universitas Katholik Widya Mandira, Universitas Muhammdyah, STIBA Cakrawala Nusantara dan beberapa perguruan tinggi lainnya yang ada di Kota Kupang dimana sejumlah mahasiswa kristen berada di sana). Kedua, bahwa pelayanan dan pengabdian pada masyarakat menjadi aktualisasi iman kristen seperti dinyatakan pada ayat alkitab yang dikutib pada awal tulisan ini. GMKI harus mau dan mampu menjadi garam dan terang dunia. Ketiga, sebagai wahana kontemplasi terhadap perjalanan GMKI dalam memenuhi ruang kesejarahannya. Artinya bahwa apabila sebelum ini tanggung jawab sosial GMKI terhadap masyarakat masih belum optimal maka Kongres Nasional XXX GMKI diharapkan menjadi momentum untuk menjadi tonggak kesejarahan GMKI dalam keberpihakan pada masalah aktual kemasyarakatan. Dan tanggung jawab sosial tidak sekedar menjadi diskursus pada ruang kelas tetapi benar-benar diwujudnyatakan dan sekaligus menjadi sikap batin GMKI dalam mengawal pergerakan dinamis masyarakat.
Namun dalam subtema tersebut muncul ketumpang-tindihan terminologis yang mungkin tidak sengaja dilakukan. Untuk itu dibutuhkan semacam klarifikasi terhadap ketumpang-tindihan terminologis, yaitu tanggung jawab sosial seharusnya merupakan (bagian) spiritualitas institusi. Sehingga tanpa spritualitas tersebut, mahasiswa kristen tidak eksis dalam melakukan pegerakan atau “berada dalam ketiadaan”, karena mahasiswa tidak mungkin tercerabut dari masyarakat, karena apabila demiikian maka individu mahasiswa tersebut mengalami kegamangan eksistensi.
Ataukah memang selama ini GMKI mengalami kegamangan eksistensi sehingga membutuhkan pembahasan tema “spritualitas mahasiswa kristen” dengan subtema tanggung jawab sosial terhadap masyarakat. Kegamangan eksistensi dalam bahasa Perjanjian Baru adalah sudah menjadi tidak asin atau keberadaan mahasiswa kristen selama ini diletakkan dibawah “gantang” lembaga universitas sehingga aktualisasi tanggung jawab sosialnya tidak terpancar secara nyata dan terperangkap oleh panca indera masyarakat.
Penulis menyadari ada keterbatasan individual untuk dapat mengungkap secara komprehensif fakta aktivitas pergerakan mahasiswa kristen dan GMKI. Keterbatasan tersebut mengakibatkan cara pandang yang sempit (narrow perspective) terhadap eksistensi mahasiswa kristen dan GMKI. Tetapi yang terpenting saat ini adalah kesadaran perlunya memanggil kembali (recalling) tanggung jawab sosial mahasiswa kristen dalam keterkaitannya dengan masyarakat.
Takrif Spiritualitas
Spiritualitas sering memiliki konotasi yang mengarah ke sesuatu di luar dunia atau mengimplikasikan bentuk disiplin religius tertentu. Namun dalam makna yang lebih luas spiritualitas menunjuk pada nilai dan makna dasar yang melandasi hidup kita, baik duniawi maupun yang tidak duniawi, entah sadar atau tidak meningkatkan komitmen kita terhadap nilai-nilai dan makna tersebut. Sehingga mengacu pada definisi spiritualitas maka dalam pengertian yang luas berkaitan dengan nilai atau makna dari kehakekatan manusia yang mengarah pada kelanggengan yang melandasi kehidupannya.
Dalam pemahaman yang demikian maka spiritualitas menjadi pondasi dasar dalam melakukan aktivitas yang mengarahkan pada aktualisasi nilai-nilai yang dianut. Nilai-nilai tersebut mempengaruhi gerak langkah individu dalam pencapaian cita-cita personal atau pada saat berinteraksi dengan sesamanya. Sehingga spiritualitas menjadi pendorong atau daya penggerak dalam mengintepretasi dirinya dan lingkungannya.
Ruang Lingkup GMKI
Seperti disinggung di atas bahwa dibutuhkan klasifikasi cakupan mahasiswa kristen, karena terdapat beberapa kemungkinan yaitu (1) mahasiswa kristen dalam arti yang luas dan (2) mahasiswa kristen yang berada dalam naungan perguruan tinggi kristen (seperti di UKAW Kupang, UKSW Salatiga, UKI Jakarta, UKI Maluku, UKI Paulus Makassar, Universitas HKBP Medan, UK Petra Surabaya, dll). Kategori yang pertama seharusnya menjadi ladang garapan dari GMKI, sehingga secara a contrario bahwa mahasiswa kristen di perguruan tinggi kristen hanya menjadi bagian kecil dari GMKI. Pemahaman terhadap kategori mahasiswa kristen ini berkolerasi dengan aktualisasi spiritualitas dalam melaksanakan tanggung jawab sosial.
Dengan melihat mahasiswa kristen dalam arti luas, kepekaan terhadap realisasi tanggung jawab sosial semakin besar. Dimana mahasiswa kristen yang berinteraksi dengan lingkungan sosial dapat mentransformasikan kompetensi keilmuannya dalam lingkungan tersebut. Kepekaan terhadap kondisi lingkungan sosial akan mempengaruhi tingkat kepedulian dalam mendarma-baktikan kompetensi keilmuannya yang tidak sekedar pada mahasiswa kristen yang berstatus mahasiswa perguruan tinggi kristen tetapi juga mahasiswa kristen yang non-perguruan tinggi kristen.
Cara pandang melihat ruang lingkup mahasiswa kristen ini menjadi ajang awal pelatihan dalam mengasah tanggung jawab sosial. Cara pandang ini menjadi penentu seberapa besar kemauan untuk mengemban tanggung jawab sosial dan mengupayakan aktualisasinya.
Dalam pembahasan ruang lingkup mahasiswa kristen termasuk memahami karakteristik denominasi gereja, secara garis besar dapat dibagi menjadi dua: gereja mainstream dan non mainstream. Pemahaman ini diperlukan untuk melahirkan simpati atau mengajak terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Strategi untuk melahirkan simpati atau mengajak terlibat menjadi tugas penting sebagai upaya membangun jejaring dalam melakukan pergerakan.
Tanggung Jawab Sosial dan Kewajiban Moral GMKI
Tanggung jawab sosial GMKI dalam perspektif penulis diletakkan dalam nats Alkitab yang dikutip diawal tulisan ini yaitu menjadi garam dan terang bagi masyarakat dimana mahasiswa kristen itu berada. Dalam konteks spiritualitas (kristen) maka GMKI harus menampilkan dirinya sebagai aktor yang dapat memberikan “rasa” lain dan sekaligus menerangi gerak perkembangan masyarakat.
Elaborasi garam dan terang sebagai tanggung jawab sosial GMKI dapat mengejawantah dalam setiap aspek kehidupan masyarakat. Pengejawantahan tanggung jawab sosial tidak sekedar menjadi “lips service” semata. Karena segala tanggung jawab sosial sudah menjadi komitmen bagi GMKI maka mengandung kewajiban moral. Istilah kewajiban berarti menuntut pemenuhan apa yang diwajibkan, dimana apabila tidak terpenuhi kewajiban yang dimiliki dapat dikenakan sanksi sosial.
Cara pandang ini mungkin normatif-legalistik, tetapi dalam konteks sosiologi bahwa ketidakmampuan memenuhi kewajiban berimbas pada hukuman yang diberikan masyarakat kepada individu atau organisasi. Dan terkadang sanksi sosial sangat efektif memberikan efek jera bagi perilaku yang tidak sesuai dengan kewajiban yang diemban. Individu atau organisasi yang dikenai sanksi sosial maka keberadaannya sudah menjadi tidak diakui.
Menjadi garam dan terang dalam pergumulan GMKI menurut penulis secara garis besar adalah: (1) advokasi/pendampingan pihak yang lemah; (2) memerangi kemiskinan; (3) pemberantasan korupsi; (4) memperjuangkan demokrasi dan pluralisme. Keempat hal tersebut apabila diperas substansinya adalah kepedulian terhadap sesuatu yang berada diluar dirinya. GMKI dituntut untuk tidak menjadi egois atau selfish, tetapi harus melihat analogi garam dan terang (lilin/pelita). Garam untuk dapat memperkuat rasa dia harus melebur dirinya dalam masakan atau adonan, demikian pula lilin ketika memberikan penerangan membakar dirinya agar lingkungan disekitarnya dapat dipenuhi terang.
Kepedulian terhadap sesama menuntut pengorbanan. Pengorbanan dimaksud dalam segala aspeknya, seperti yang pernah Yesus berikan kepada umat manusia. Pengorbanan Yesus harus menjadi inspirasi dan benchmark bagi pergerakan GMKI. Demi keselamatan manusia, Yesus mau dan mampu memberikan dirinya menanggung dosa manusia (Lihat Filipi 2:5-8). Maukah GMKI memberikan dirinya dalam mengaktualisasikan tanggung jawab sosialnya?
Dalam aras nasional GMKI seperti “katak dalam tempurung”, lebih memilih “berasyik-masyuk” dalam kubangan status kemahasiswaan daripada memilih mengabdikan pengetahuannya untuk masyarakat. Dimanakah GMKI ketika korupsi digemakan? Dimanakah GMKI ketika PKL diancam hak ekonominya? Dimanakah GMKI tatkala rakyat menjerit karena busung lapar, dan gizi buruk? Dimanakah GMKI ketika hukum tak pernah menyentuh pencari keadilan di negeri ini?
Purna Wacana
GMKI belum mampu dan belum mau menjadi aktor dalam membantu atau mengawal perubahan bagi masyarakat kecil yang selalu tertindas. Untuk itu kesadaran akan perlunya tanggung jawab sosial menjadi modal awal yang harus diikuti dengan rencana aksi GMKI harus terlibat dalam perjalanan penerapan nilai-nilai demokrasi dengan suatu langkah nyata dengan mengesampingkan sekat-sekat ideologis maupun primordialisme. Apabila GMKI concern terhadap keberlanjutan Indonesia sebagai sebuah negara maka GMKI harus mengambil peran sebagai lokomotif demokrasi. (Wilson Therik)