Wednesday, November 22, 2006

DI CARI SEORANG PEMIMPIN?

OLEH: ARMADO TAMBUNAN, SE *)

Ketika saya membaca surat kabar saya melihat kolom-kolom khusus mengenai lowongan pekerjaan kolom tersebut menawarkan segala macam jenis pekerjaan dengan kriteria-kriteria tertentu baik itu tingkat pendidikan ataupun keahlian-keahlian berikut juga pengalaman-pengalaman yang disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan, sejenak saya merenungkan apakah dengan kriteria yang ditentukan seseorang dapat langsung diterima dengan mudah untuk posisi yang ditawarkan tersebut ? dan ternyata jawabannya tidaklah sebegitu mudah karena adanya proses rekruitmen yang didalamnya terdapat seleksi dan persaingan, hal ini menjadi sebuah pilihan mutlak dan keharusan dalam proses rekruitmen tersebut.

Sebuah refleksi mungkin dapat kita renungkan dalam proses Kongres GMKI XXX ini, mungkinkah Dicari Seorang Pemimpin ? sebuah kata yang tepat dalam mewarnai kongres ini, bahwa GMKI membutuhkan seorang pemimpin yang harus memenuhi kriteria-kriteria yang diharapkan dan sesuai dengan kebutuhan organisasi ini sehingga terjadi kesinambungan didalam perjalanan organisasi.

Dinamika kongres memberikan sebuah pandangan dan asumsi-asumsi bagi keberlangsungan GMKI dan hal ini harus disesuaikan dengan kebutuhan organisasi, siapapun bisa memimpin tetapi apakah kalimat tersebut dapat diklaim apakah seseorang dapat menjalankan roda organisasi ini ?, tentunya uji kepatutan dan kepantasan haruslah dilakukan dimana hal ini menjadi tugas dan tanggung jawab Kongres untuk mempersiapkan dan memilih pemimpin yang berpotensi dan revolusioner yang memiliki visi dan misi kedepan dalam mengemban amanat agung kongres untuk mengawal Organisasi ini kegarda terdepan.

GMKI harus terus bergerak dan dinamis dalam menyikapi persoalan dan permasalahan kebangsaan baik itu kemiskinan, diskriminasi, kesenjangan sosial dan persoalan krusial lainnya begitu pula dalam menyikapi kondisi 3 medan penata layanan baik itu dalam Gereja, Perguruan Tinggi dan Masyarakat, GMKI diharapkan dapat menjadi tunas-tunas baru, lilin-lilin kecil yang dapat menyinari bagi bangsa dan negara ini, dalam hal internal organisasi, pembinaan, penciptaan dan pemberdayaan kader-kader yang sesuai dengan kondisi kekinian dalam era globalisasi dan pasar bebas sudah sangat diperlukan bukan tidak mungkin GMKI akan ditinggalkan oleh mahasiswa oleh karena GMKI tidak dapat menjawab tantangan kemajuan jaman, kondisi ini mengharuskan pemimpin yang tanggap sehingga nantinya menyadari kondisi dan permasalahan tersebut, sehingga tidak hanya lebih peka dan tanggap tetapi juga ada aksi yang dilakukan untuk mengadakan perubahan dan pembaharuan semata-mata untuk kemajuan organisasi.

GMKI harus dapat merefleksikan dan memproyeksikan dirinya dalam menyikapi kebutuhan-kebutuhan apa yang saat ini krusial dan tepat guna sehingga dapat mereformasi dirinya, melakukan perubahan-perubahan dan pembenahan baik itu aspek internal ataupun internal organisasi sehingga GMKI menjadi tempat belajar dan menciptakan kader-kader terbaik sesuai dengan tujuan awal para Founding Father gerakan dalam menghadirkan sebuah kalimat (shalom Allah) didunia ini dapat terwujud, kalimat akhir dapat kita simpulkan “lowongan itu terbuka bagi siapapun yang beritikad memajukan gerakan ini. (Wilson Therik)

*) Mantan Koordinator Wilayah II PP GMKI

MASYARAKAT DALAM MENATAP DUNIA KERJA

OLEH: ARMADO TAMBUNAN, SE *)

(Engkau sarjana muda berpacu dengan waktu, sia-sia ijazahmu) sebuah syair dari Iwan Fals, menggambarkan begitu peliknya problematika dunia pekerjaan dalam menatap pasar terbuka, menjadi suatu tantangan yang mau atau tidak harus dihadapi oleh setiap elemen masyarakat khususnya pemuda dan mahasiswa, dimana pembangunan ekonomi dan pasar dunia menuntut pembenahan-pembenahan disegala sektor kehidupan, kebijakan ketenagakerjaan seharusnya lebih mempermudah masyarakat dalam memperoleh informasi dan akses pekerjaan sesuai ruang lingkup akademik dan kemampuan yang dimiliki tetapi kenyataan disini bangsa ini masih diperhadapkan kepada permasalahan pengangguran, minimnya lapangan pekerjaan, rendahnya tingkat upah dan aturan-aturan ketenaga kerjaan yang dalam hal ini cenderung menguntungkan para pengusaha.

Aspek Pengusaha dan tenaga kerja seharusnya dituntut menciptakan hubungan yang harmonis (industrial relationship) antara pengusaha dan tenaga kerja, hambatan dalam penciptaan tenaga kerja itu harus direduksi, dimana disuatu sisi, pengusaha diharapkan dapat memperoleh keuntungan dengan faktor-faktor produksi yang dimilikinya, dilain sisi pekerja mengarapkan upah yang sesuai ataupun lebih besar dari yang diharapkan. Fungsi campur tangan pemerintah dalam memberikaan kebijakaan tentang ketenaga-kerjaan tentunya harus menjadi katalis dalam memberikan kemudahaan-kemudahan dimana ada solusi yang saling menguntungkan antara pengusaha dan tenaga kerja.

Kendala dan tantangan dalam mengahadapi pasar terbuka (Open Market) tentunya harus menjadi pemacu untuk dapat mempersiapkan diri yaitu dengan penciptaan lapangan pekerjaan baru, akses informasi yang luas dan lengkap sehingga dapat meningkatkan kualitas para pekerja itu sendiri. Kendala yang kita hadapi saat ini adalah lemahnya daya saing masyarakat itu sendiri baik itu dalam keahlian dan tingkat pendidikan sehingga tercipta tenaga-tenaga kerja murah dan kedepannya akan merugikan bangsa ini sendiri. Melihat dari sisi pasar tenaga kerja dimana permintaan akan tenaga kerja lebih rendah dibandingkan penyediaan tenaga kerja menimbulkan tingkat upah yang sangat rendah. Kondisi lain yang dihadapi adalah faktor skill yang terdiri dari kemampuan inteligence yang didapat dari strata pendidikan ataupun pelatihan-pelatihan yang pernah dilakukan dari hal ini dapat menurunkan daya saing masyarakat itu sendiri.

Peran campur tangan pemerintah tentunya dirasakan sangatlah perlu terhadap penciptaan lapangan pekerjaan baru, kebijakan mengenai pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah yang harus ditingkatkan, meningkatkan nilai tambah dari kualitas sumberdaya manusia itu sendiri baik dalam aspek Inteligence, emosional maupun spiritual quotience harus menjadi landasan dalam pembangunan dunia ketenagakerjaan di Indonesia yang tentunya dimulai dari pembenahan kualitas dunia pendidikan itu sendiri.

Peran serta mahasiswa saat ini dituntut untuk lebih peka dimana mahasiswa sebagai pembawa arus perubahan tentunya juga harus mempersiapkan diri dalam menghadapi pasar kerja dunia tidak hanya memiliki kualitas akademik yang baik tetapi perlu didukung oleh sense of crisis terhadap permasalahan yang dihadapi bangsa ini. Faktor lain yang tidak lebih penting adalah ketika mahasiswa terjun kedalam masyarakat diharapkan dapat menciptakan lapanganan pekerjaan baru sesuai dengan bidang dan kemampuan yang dimilikinya.

Persiapan kualitas sumber daya manusia ini tentunya menjadi masalah utama yang harus diselesaikam bersama yang tentunya harus melibatkan seluruh aspek pengambil keputusan, karena mau atau tidak mau kita harus terjun dan harus dapat mewarnai perubahan tersebut momen-momen seperti Kongres GMKI XXX harus menjadi refleksi dan proyeksi kedepan bagi mahasiswa dalam menyikapi dunia ketenagakerjaan. (Wilson Therik)

*) Mantan Koordinator Wilayah II PP GMKI

PEREMPUAN DI TENGAH PARTISIPASI DALAM RUANG PUBLIK ANTARA TUNTUTAN, TANTANGAN DAN KENYATAAN

OLEH: DARMANTO F. KISSE ,SP,MP *)

Shalom !!

Pertama-tama kita patut mengucapkan syukur pada Kepala Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dan sekaligus selamat dan Sukses bagi Pengurus Pusat GMKI dan Panitia Nasional Kongres XXX GMKI Tahun 2006, yang telah memberi nilai pada Forum tertinggi dalam organisasi GMKI yakni Kongres, yang telah dibuka oleh Gubernur Nusa Tenggara Timur.
Apresiasi yang tinggi kepada Pengurus Pusat GMKI dan Panitia Nasional Kongres XXX yang memiliki keberpihakan terhadap perjuangan kesetaran gernder, dengan diadakannya Pertemuan Perempuan GMKI, dengan tujuan memperdalam pemahaman Kader GMKI akan posisi dan peran Perempuan diruang publik, untuk menemukan model gerakan perempaun GMKI dan mengkonstruksi pemikiran progmatik bagi persiapan kader perempuan di ruang publik serta mendesign model struktur bagi pengoptimalisasian konsep pengembangan perempuan di ruang publik. Akan tetapi, sesungguhnya dalam suatu pemahaman analisis kritis, topik diatas belum memberikan tempat yang berarti bagi perempuan malah masih memposisikan perempuan sebagai subordinasi sekedar partisipan, adalah merupakan permasalahan yang senantiasa dijadikan acuan para pembahas, akan tetapi pada tataran empiris, dimana kaum perempuan diberi akses, justru yang terjadi adalah bahwa, ada kecenderungan kaum perempuan sendirilah yang memarjinalkan sesama kaumnya dan bahkan dapat dikatakan sebagai penjajah baru. Misalnya ibu-ibu yang memberikan tugas dan tanggungjawab mengasuh anaknya kepada mereka yang dikenal dengan penjaga/pengasuh bayi (baby sitter) dengan sejumlah balas karya dan bahkan ada yang memberikan balas yang tidak sesuai dengan Upah Minimum Propinsi (UMP) dan dalam masyarakatpun kita temui para pengasuh bayi atau pembantu rumah tangga ini di siksa oleh majikannya, yang nota bene adalah sesama kaum perempuan.

Partisipan adalah sebuah makna suplemen yang berhadapan dengan sebuah makna yang primer/utama. Mengapa hanya sekedar partisipasi perempuan ? mengapa menghitung peran perempuan hanya sekedar partisipan ? Partisipan dapat dikonotasikan sebagai peran figuran peran/ supporter yang kedudukannya tidak sama dengan dengan pelaku dan pemeran sesungguhnya atau tokoh sentral suatu lakon, misalnya kita sebagai bangsa pernah dipimpin oleh perempuan ataupun kita dapat mencontohi Israel yang pernah di pimpim oleh PM Goldemeir, atau Inggris yang dipimpin oleh PM Margareth Tacher bahkan mungkin dalam pengamatan ataupun pengalamankehidupan sosial kita pribadi di rumah tangga, tempat kerja, masyarakat dimana pembaca beraktivitas dan ada kecenderungan gaya/style/type kepemimpinan yang ditunjukkan adalah gaya otoritarian, dan masih banyak lagi contoh yang kita punyai baik dari hasil membaca, mengamati maupun pengalaman pribadi.
Selain itu ada juga Pemahaman yang ingin dikonstruksi sebagai peran yang harus dimainkan perempuan sebagai warga komunitas bukan sekedar diberi nilai sebagai partisipan, adalah sebuah hak perempuan dan merupakan kewajiban bagi patnernya kaum lelaki. Perempuan dan laki- laki harus menjadi pelaku baik diruang domestik maupun diruang publik, tetapi juga harus diakui bahwa dalam diri manusia baik laki-laki maupun perempuan terdapat apa yang dinamakan (black area), sehingga jika tidak hati-hati kita terjerumus kesana dan berkecenderungan memunculkan gaya/style yang merendahkan kemanusiaan kita. Termasuk didalamnya perempuan GMKI yang hendak di bentuk melalui program yang didesign untuk itu.
Untuk itu strategi akselerasi yang mesti ditempuh adalah bukan sekedar meminta, membujuk atau merayu akan tetapi melakukan tuntutan melalui berbagai pola dan terobosan yang lebih komperhensif dan tentunya senantiasa didasarkan kasih dengan tujuan agar menumbuhkan kesadaran kemudian menjadi sesuatu yang mewujud dalam tindakan nyata dan senantiasa direvisi untuk kesempurnaan, sebagaimana yang diajarkan dan dicontohkan oleh Kepala Gerakan. Jadin bukan intrik- kolulif dan bahkan intimidatif untuk meraih tujuan pribadi yang sengaca dan secara sadar di bungkus secara rapih menjadi seolah-olah tujuan bersama.
Tuntutan itu harus menjadi kesadaran perjuangan bersama untuk menghasilkan terjadinya akselerasi peran yang harus dimainkan oleh perempuan di ruang public secara lebih proposional.

Tuntutan peran dan kinerja sektor publik bagi perempuan harus berhadapan dengan variable determinant antara lain sumber daya, pengetahuan/ kemampuan intelektual maupun teknis dan kompetisi/persaingan serta ketangguhan mental atau self concept yang kuat. Tanpa totalitas kemampuan diatas kinertja public bagi perempuan akan menjadi sulit.

Sekarang kita harus meneguhkan komitmen bahwa tantangan dan kesulitan apapun akan bisa teratasi, karena batu-batu karang yang ditempatkan dalam perjalanan kita adalah tempat untuk kita mendaki, bukan penghalang bagi kita untuk maju, termasuk perempuan secara kwantitas maupun kwalitas harus secara nyata menerobos ruang public bahkan mencapai posisi leader power, jika itu harus dan tentunya harus dilandasi bahwa Kepala Gerakanlah yang mengatur seluruh skenario dibawah kolong langit ini, termasuk para patner kaum lelaki.

PEREMPUAN DAN PERADABAN

Peta dan kondisi keterbelakangan perempuan adalah sebuah peta peradaban yang dilakoni dalam ketidak tahuan manusia akan kesetaraan.sehingga jika kita mengatakan bahwa perempuan adalah korban peradaban maka. Apa sungguhnya hutang peradaban, siapa yang harus membayarnya ? Kapan harus membayarnya ? bagaimanana caranya membayarnya. Menjawab hal ini tentunya tidak secara verbal, akan tetapi diperlukan adanya kesadaran dari kita baik laki dan perempuan untuk secara sadar melihat dan mengakui bahwa secara subtansial perempuan dan laki-laki mempunyai kedudukan yang sama, Apa yang menjadi persoalan kodrati adalah sesuatu yang melekat pada bawaan jenis kelamin. Selain itu peran peran yang ada adalah sebuah rekayasa sosial yang masih harus didiskusikan secara sehat dan bersama.

Yang terpenting kita mesti melakukan upaya dekonstruksi untuk secara bertahap dan terukur membangun paradigma dan stigma yang tidak timpang antara persepsi peran laki-laki dan perempuan. Ketimpangan akibat rekayasa sosial budaya ini akan mengakibatkan termarjinalisasinya manusia (perempuan atau lelaki) dalam sektor publik. Oleh karena itu, merekonstruksi perjalanan peradaban kedepan, harus disadari dan dilaksanakan secara baik, benar dan tepat oleh seluruh komunitas peradaban yakni negara/ pemerintah sebagai sebuah sistem, dan seluruh segmen sosial melalui akselerasi sistem dan regulasi serta perilaku kemasyarakatan dan tentunya individu baik perempuan maunpun lelaki.

PROFIL PEREMPUAN DI RUANG PUBLIK

Peran perempuan dalam ruang publik secara jumlah masih dirasakan minim, bahkan posisi perempuan pada level top manejemen/ leader pun masih dirasakan kurang. Tetapi apakah memang benar demikian dalam tataran empiris, sepertinya diperlukan suatu diskusi panjang untuk ini, karena sebagai patner yang setara dengan lelaki seharusnya perjuangan melalui sistem regulasi untuk mengenjot perempuan dalam ruang publik melalui sistem alokasi 30 % perlu dipikirkan kembali, karenanya dengan kuota tersebut sebenarnya merugikan kaum perempuan sendiri, karena dari segi jumlah penduduk terbaca bahwa perempuanlah jumlah terbesar, tetapi keterwakilannya hanya 30 % dan persoalan tidak mencapai target bahkan mengalami kemundurun karena pada beberapa kasus terjadi pengurangan perempuan adalah masalah lanjutan dari ketentuan yuridis formal tersebut merupakan suatu matarantai yang tidak terpisahkan, misalnya di parlamen pemilu 2004 dan di lembaga presiden dengan tidak terpilihnya Megawati pemilu 2004, bukan karena persoalan jender semata tetapi karena style/ gaya kepemimpinan kaum perempuan yang menjadi “boomerang” bagi dirinya secara pribadi, jadi dengan menjadikan teladan tidak terpilihya megawati karena kurangnya kesadaran gender bukan contoh dan jawaban yang tepat untuk persoalan gender diruang publik, tetapi persoalan kompetisi manusia (perempuan dan laki-laki) dalam dunia politik. Termasuk tuntutan terhadap kekalahan Perempuan dalam mendapat tempat yang signifikan dalam mekanisme pemilihan umum dengan sistem proposional daftar terbuka pemilu 2004, semakin nyata memberi jawab bahwa kepentingan pribadi cenderung dibungkus rapi dan diformulasi untuk dijadikan persoalan bersama dan ini sangat pragmatis dan tidak berorientasi gender, jika gender disepakati sebagai kesepakatan bersama dalam menkonstruksi peran sosial umat manusia (lelaki dan perempuan). Hal ini terbukti dari walaupun perempuan memiliki suara mayoritas diatas 50 % pada pemilihan umum 2004 pun tidak mampu memberikan dan menghantar perempuan keruang legeslatif karena perjuangan gender masih didominasi oleh kepentingan diri yang diberikan kemasan, sehingga tidak atau belum terciptanya kohesitas dikalangan perempuan sendiri.
Jika kita mau bersepakat untuk membangun peradaban baru, maka diperlukan pembenahan sistem termasuk regulasi disemua bidang politik dengan memberi masa konsolidasi dan rehabilitasi peran perempuan, tetapi perlu diingat bahwa dalam perjalanan kedepan, laksana kita mengemudi mobil, maka 80 % kita harus memperhatikan kedepan dan hanya 20 % saja kita sesekali memperhatikan kebelakang, jika tidak maka akan terjadi kecelakaan lalulintas karena ketidak benaran dalam mengemudikan kendaraan peradaban yang ingin kita kosntruksi atas dasar kesetaraan gender, ia khan mama boy, dong ? sehingga tuntutan agar Negara harus menjamin sistem Quota perempuan diparlemen dan di eksekutif dalam rentang masa tertentu dan kemudian setelah perempuan terkonsolidasi secara kwalitas dan kwantitas baru kita masuk dalam era kesetaraan yang bebas quota karena perempuan dan laki- laki sudah memiliki akses yang sama dan adil., merupakan cara berpikir yang benar tetapi perlu diingat bahwa dalam mencari pemecahan suatu masalah tidak selamanya harus dimulai dari luar dan itu yang paling benar, tetapi perlu datang dari dalam atau tepatnya kaum perempuan tidak perlu mengalokasikan energi terbesar pada upaya menuntut saja tetapi sebaliknya lebih diorientasikan pada penataan dari dalam diri secara pribadi maupun secara bersama dan menunjukkan kemampuan dan karya bukan dengan melakukan kampanye yang sebatas pembicaraan alias kader modal bibir saja, alias kader banyak bicara tanpa karya yang menjawab kebutuhan diri maupun sesamanya.

Demikianlah tulisan sederhana ini dipersembahkan bagi setiap kader GMKI, teristimewa para Perempuan GMKI yang sementara berjuang dan mau membentuk diri untuk kinerja publik pasca Kongres XXX GMKI yang mulia, semoga berguna dalam upaya membangun peradaban baru, sebagaimana yang digambarkan dalam Alkitab sebagai dunia tanpa ketimpangan.

Selamat berjuang Kepala Gerakan Pasti memberkati kita, teriring salam dan doa tulus.
Ut Omnes Unum Sint. (Wilson Therik)

*) Mantan Sekretaris BPC GMKI Kupang masa bhakti 1992-1994

KONGRES GMKI DAN PEMIMPIN MASA DEPAN BANGSA

OLEH GURGUR MANURUNG *)

Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) akan melakukan Kongres Nasional XXX pada tanggal 5-12 November 2006 di Kupang. Kongres ini merupakan pengambilan keputusan tertinggi di tingkat nasional. Pertemuan akbar inilah yang membahas dan memutuskan masa depan GMKI dan pemilihan pengurus baru.
Eksistensi GMKI kini dipertanyakan banyak orang. “Masihkah ada GMKI?” Tanya seorang wartawan muda Kristen sebuah harian nasional. Pertanyaan ini seringkali muncul di kalangan komunitas Kristen, khususnya komunitas yang kurang peduli dengan wacana politik.
GMKI hadir sebagai anak kandung Gereja yang berfungsi sebagai perpanjangan tangan Gereja. GMKI melaksanakan tugas Gereja untuk menghadirkan syaloom Allah di kampus. Inilah visi GMKI.
Untuk menghadirkan syaloom Allah di kampus, kegiatan pokok GMKI yang tertulis dalam penjelasan Anggaran Dasar (AD) GMKI adalah melakukan Penelaahan Alkitab (PA). Dalam penjelasan AD secara ekspilisit tertulis “jikalau GMKI meninggalkan kegiatan PA maka akan terjadi erosi dalam tubuh GMKI”. Apakah GMKI telah melupakan PA sehingga terjadi erosi?. Saya melihat itulah yang terjadi.
Jikalau GMKI komitmen dengan tri panjinya, yaitu Tinggi Iman, Tinggi Ilmu, dan Tinggi Pengabdian maka pendapat masyarakat yang sebenarnya fakta itu tidak pernah terjadi. Tri panji itu haruslah dimiliki kader GMKI di tiga medan pelayanannya, yaitu Gereja, Masyarakat, dan Perguruan Tinggi.
Suka atau tidak, sejarah membuktikan bahwa GMKI di tingkat nasional maupun daerah dianggap pemerintah sebagai representasi mahasiswa Kristen. Jikalau ada persoalan bangsa, utamanya dalam urusan politik, pemerintah menganggap GMKI sebagai representasi mahasiswa Kristen. Tidak hanya pemerintah, organisasi mahasiswa Islam, Hindu, Buddha, Konghucu juga mengganggap GMKI sebagai representasi mahasiswa Kristen.
Mengingat GMKI sebagai terminal kader maka GMKI masih relevan dan strategis untuk dibenahi dalam rangka menghasilkan manusia yang berintegritas dan visioner untuk membangun bangsa yang beradab. Kita menyadari kader GMKI ada yang terlibat dalam pemiskinan dan pembodohan bangsa ini. Mereka yang terlibat itu adalah para kader yang pintar berwacana tetapi terlibat dalam KKN. Sadar atau tidak sadar KKN menjadi akar kompleksnya persoalan bangsa.
Buruknya pendapat masyarakat dan hal yang dipertontonkan kader GMKI, tidak fair juga jika kita tidak melihat kader-kader GMKI yang bertahan dengan integritasnya di dunia pendidikan, profesional, menjadi birokrat, dan menjalani berbagai profesi. Anehnya, mereka yang konsisten dengan tri panji itu tidak populer dan seolah-olah mereka bukan idola. Seharusnya, merekalah yang menjadi teladan bagi kader-kader GMKI.
Sebagai contoh, seorang profesor di perguruan tinggi terkemuka di Bogor yang kini telah pensiun tidak makan nasi sejak puluhan tahun lalu dalam rangka menentang kebijakan Suharto yang menyeragamkan pangan di Indonesia. Dia adalah salah satu pendiri GMKI cabang Bogor bersama Hutasoit, mantan menteri peternakan dan perikanan yang juga pernah menjabat rektor Institut Pertanian Bogor (IPB). Kita juga mengenal Johanes Leimena yang dipercaya Soekarno karena integritasnya.
Kader GMKI yang kini tetap eksis dalam agenda reformasi adalah Jacobus Mayongpadang yang kita kenal bersama menolak uang rakyat di DPR. Selain itu, kita mengenal Alex Litaay, Sukowaluyo Mintoharjo, Yasona Laoly, dan masih banyak deretan nama kader GMKI yang terkenal dengan integritas dan komitmennya terhadap pencerdasan anak bangsa.

Dikotomi Timur-Barat

Salah satu penyebab reduksi nilai persekutuan yang terjadi di internal GMKI adalah adanya wacana Timur-Barat yang berkembang dalam proses pemilihan Pengurus Pusat (PP) GMKI. Wacana ini disadari atau tidak, menunjukkan kekerdilan pemikiran internal GMKI.
Sebagai kader GMKI yang mengakui Kristus sebagai kepala gerakan, tentu saja ketika mewacanakan Timur-Barat mereka menggambarkannya sebagai murid Kristus. Sebagai murid Kristus, idealnya wacana yang dikembangkan adalah pertumbuhan rohani. Kader yang rohaninya bertumbuh dengan baik, layaklah kita dorong memimpin GMKI.
Tanpa pertimbangan pertumbuhan rohani, GMKI kehilangan esensinya sebagai perpanjangan tangan Gereja di tiga medan pelayanannya. Pertumbuhan rohani yang saya maksud bukanlah sekadar pemahaman Alkitab vertikal saja. Tetapi lebih kepada pemahaman Alkitab yang mendalam dan kapasitasnya memengaruhi publik dengan kemampuan yang dimilikinya.
Artinya, pertimbangan peserta kongres untuk memilih PP adalah mereka yang rohaninya bertumbuh dan mampu memberi sumbangsih pemikiran dan tindakan dalam membangun bangsa dan negara secara optimal. Jikalau kemampuan ini dimiliki maka PP mampu mengatasi persoalan internal dan memberi kontribusi optimal di tiga medan pelayanannya.

Prioritas Kegiatan GMKI
Melihat perubahan global yang tidak terelakkan, di mana perubahan itu menyangkut etika, maka GMKI harus kembali kepada visi awal GMKI. Visi awal itu adalah menghadirkan syaloom Allah di kampus. Untuk menghadirkan syaloom Allah dikampus maka kader GMKI harus memahami Alkitab dengan benar. Pemahaman Alkitab dengan benar akan menghasilkan kader GMKI yang integritasnya terjamin.
Kader yang integritasnya terjamin niscaya akan membangun bangsa Indonesia yang bermartabat di masa yang akan datang. Dengan kata lain, kita tidak mendengar lagi ada kader GMKI yang terlibat KKN dan semacamnya. Kader GMKI ke depan adalah kader yang hidupnya sederhana dan memiliki dampak global menuju masyarakat dunia yang beradab.
Seperti kata Nelson Mandela, “Visi tanpa misi adalah mimpi. Visi dengan Misi akan mengubah dunia”. GMKI memiliki visi dan misi yang jelas. Dengan demikian GMKI harus mampu merubah dunia membangun perdaban. Hanya, kader GMKI harus taat dengan visi dan misi yang mulia itu. Ut Omnes Unum Sint. (Wilson Therik)

*) Senior GMKI Cabang Jakarta

TANGGUNGJAWAB SOSIAL GMKI TERHADAP MASYARAKAT SEBAGAI WUJUD SPIRITUALITAS

OLEH: WILSON M.A. THERIK

Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakannya di bawah gantang, melainkan diatas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu.” (Matius 5:13-15)

DALAM Terang Tema: Bertolong-Tolonglah Menanggung Bebanmu (Galatia 6:2) dengan Subtema: Menumbuhkan Spiritualitas Kemanusiaan Dalam Perjuangan Mewujudkan Keadilan, Persatuan dan Demokrasi di Indonesia.

Penulis mengamini subtema Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dengan beberapa alasan: Pertama, mahasiswa kristen baik yang tergabung dalam GMKI, Perkantas, LPMI, Pemuda Gereja atau institusi pendidikan lainnya seolah-olah kehilangan “roh” pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat dimana mahasiswa tersebut berada. Pendapat ini bertolak pada asumsi bahwa seharusnya GMKI tidak secara eksklusif “bergerak” pada perguruan tinggi kristen saja tetapi mampu mengajak atau menarik minat mahasiswa kristen dari institusi pendidikan lainnya yang ada. (Seperti Universitas Katholik Widya Mandira, Universitas Muhammdyah, STIBA Cakrawala Nusantara dan beberapa perguruan tinggi lainnya yang ada di Kota Kupang dimana sejumlah mahasiswa kristen berada di sana). Kedua, bahwa pelayanan dan pengabdian pada masyarakat menjadi aktualisasi iman kristen seperti dinyatakan pada ayat alkitab yang dikutib pada awal tulisan ini. GMKI harus mau dan mampu menjadi garam dan terang dunia. Ketiga, sebagai wahana kontemplasi terhadap perjalanan GMKI dalam memenuhi ruang kesejarahannya. Artinya bahwa apabila sebelum ini tanggung jawab sosial GMKI terhadap masyarakat masih belum optimal maka Kongres Nasional XXX GMKI diharapkan menjadi momentum untuk menjadi tonggak kesejarahan GMKI dalam keberpihakan pada masalah aktual kemasyarakatan. Dan tanggung jawab sosial tidak sekedar menjadi diskursus pada ruang kelas tetapi benar-benar diwujudnyatakan dan sekaligus menjadi sikap batin GMKI dalam mengawal pergerakan dinamis masyarakat.

Namun dalam subtema tersebut muncul ketumpang-tindihan terminologis yang mungkin tidak sengaja dilakukan. Untuk itu dibutuhkan semacam klarifikasi terhadap ketumpang-tindihan terminologis, yaitu tanggung jawab sosial seharusnya merupakan (bagian) spiritualitas institusi. Sehingga tanpa spritualitas tersebut, mahasiswa kristen tidak eksis dalam melakukan pegerakan atau “berada dalam ketiadaan”, karena mahasiswa tidak mungkin tercerabut dari masyarakat, karena apabila demiikian maka individu mahasiswa tersebut mengalami kegamangan eksistensi.

Ataukah memang selama ini GMKI mengalami kegamangan eksistensi sehingga membutuhkan pembahasan tema “spritualitas mahasiswa kristen” dengan subtema tanggung jawab sosial terhadap masyarakat. Kegamangan eksistensi dalam bahasa Perjanjian Baru adalah sudah menjadi tidak asin atau keberadaan mahasiswa kristen selama ini diletakkan dibawah “gantang” lembaga universitas sehingga aktualisasi tanggung jawab sosialnya tidak terpancar secara nyata dan terperangkap oleh panca indera masyarakat.

Penulis menyadari ada keterbatasan individual untuk dapat mengungkap secara komprehensif fakta aktivitas pergerakan mahasiswa kristen dan GMKI. Keterbatasan tersebut mengakibatkan cara pandang yang sempit (narrow perspective) terhadap eksistensi mahasiswa kristen dan GMKI. Tetapi yang terpenting saat ini adalah kesadaran perlunya memanggil kembali (recalling) tanggung jawab sosial mahasiswa kristen dalam keterkaitannya dengan masyarakat.

Takrif Spiritualitas

Spiritualitas sering memiliki konotasi yang mengarah ke sesuatu di luar dunia atau mengimplikasikan bentuk disiplin religius tertentu. Namun dalam makna yang lebih luas spiritualitas menunjuk pada nilai dan makna dasar yang melandasi hidup kita, baik duniawi maupun yang tidak duniawi, entah sadar atau tidak meningkatkan komitmen kita terhadap nilai-nilai dan makna tersebut. Sehingga mengacu pada definisi spiritualitas maka dalam pengertian yang luas berkaitan dengan nilai atau makna dari kehakekatan manusia yang mengarah pada kelanggengan yang melandasi kehidupannya.

Dalam pemahaman yang demikian maka spiritualitas menjadi pondasi dasar dalam melakukan aktivitas yang mengarahkan pada aktualisasi nilai-nilai yang dianut. Nilai-nilai tersebut mempengaruhi gerak langkah individu dalam pencapaian cita-cita personal atau pada saat berinteraksi dengan sesamanya. Sehingga spiritualitas menjadi pendorong atau daya penggerak dalam mengintepretasi dirinya dan lingkungannya.

Ruang Lingkup GMKI

Seperti disinggung di atas bahwa dibutuhkan klasifikasi cakupan mahasiswa kristen, karena terdapat beberapa kemungkinan yaitu (1) mahasiswa kristen dalam arti yang luas dan (2) mahasiswa kristen yang berada dalam naungan perguruan tinggi kristen (seperti di UKAW Kupang, UKSW Salatiga, UKI Jakarta, UKI Maluku, UKI Paulus Makassar, Universitas HKBP Medan, UK Petra Surabaya, dll). Kategori yang pertama seharusnya menjadi ladang garapan dari GMKI, sehingga secara a contrario bahwa mahasiswa kristen di perguruan tinggi kristen hanya menjadi bagian kecil dari GMKI. Pemahaman terhadap kategori mahasiswa kristen ini berkolerasi dengan aktualisasi spiritualitas dalam melaksanakan tanggung jawab sosial.

Dengan melihat mahasiswa kristen dalam arti luas, kepekaan terhadap realisasi tanggung jawab sosial semakin besar. Dimana mahasiswa kristen yang berinteraksi dengan lingkungan sosial dapat mentransformasikan kompetensi keilmuannya dalam lingkungan tersebut. Kepekaan terhadap kondisi lingkungan sosial akan mempengaruhi tingkat kepedulian dalam mendarma-baktikan kompetensi keilmuannya yang tidak sekedar pada mahasiswa kristen yang berstatus mahasiswa perguruan tinggi kristen tetapi juga mahasiswa kristen yang non-perguruan tinggi kristen.

Cara pandang melihat ruang lingkup mahasiswa kristen ini menjadi ajang awal pelatihan dalam mengasah tanggung jawab sosial. Cara pandang ini menjadi penentu seberapa besar kemauan untuk mengemban tanggung jawab sosial dan mengupayakan aktualisasinya.

Dalam pembahasan ruang lingkup mahasiswa kristen termasuk memahami karakteristik denominasi gereja, secara garis besar dapat dibagi menjadi dua: gereja mainstream dan non mainstream. Pemahaman ini diperlukan untuk melahirkan simpati atau mengajak terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Strategi untuk melahirkan simpati atau mengajak terlibat menjadi tugas penting sebagai upaya membangun jejaring dalam melakukan pergerakan.

Tanggung Jawab Sosial dan Kewajiban Moral GMKI

Tanggung jawab sosial GMKI dalam perspektif penulis diletakkan dalam nats Alkitab yang dikutip diawal tulisan ini yaitu menjadi garam dan terang bagi masyarakat dimana mahasiswa kristen itu berada. Dalam konteks spiritualitas (kristen) maka GMKI harus menampilkan dirinya sebagai aktor yang dapat memberikan “rasa” lain dan sekaligus menerangi gerak perkembangan masyarakat.

Elaborasi garam dan terang sebagai tanggung jawab sosial GMKI dapat mengejawantah dalam setiap aspek kehidupan masyarakat. Pengejawantahan tanggung jawab sosial tidak sekedar menjadi “lips service” semata. Karena segala tanggung jawab sosial sudah menjadi komitmen bagi GMKI maka mengandung kewajiban moral. Istilah kewajiban berarti menuntut pemenuhan apa yang diwajibkan, dimana apabila tidak terpenuhi kewajiban yang dimiliki dapat dikenakan sanksi sosial.

Cara pandang ini mungkin normatif-legalistik, tetapi dalam konteks sosiologi bahwa ketidakmampuan memenuhi kewajiban berimbas pada hukuman yang diberikan masyarakat kepada individu atau organisasi. Dan terkadang sanksi sosial sangat efektif memberikan efek jera bagi perilaku yang tidak sesuai dengan kewajiban yang diemban. Individu atau organisasi yang dikenai sanksi sosial maka keberadaannya sudah menjadi tidak diakui.

Menjadi garam dan terang dalam pergumulan GMKI menurut penulis secara garis besar adalah: (1) advokasi/pendampingan pihak yang lemah; (2) memerangi kemiskinan; (3) pemberantasan korupsi; (4) memperjuangkan demokrasi dan pluralisme. Keempat hal tersebut apabila diperas substansinya adalah kepedulian terhadap sesuatu yang berada diluar dirinya. GMKI dituntut untuk tidak menjadi egois atau selfish, tetapi harus melihat analogi garam dan terang (lilin/pelita). Garam untuk dapat memperkuat rasa dia harus melebur dirinya dalam masakan atau adonan, demikian pula lilin ketika memberikan penerangan membakar dirinya agar lingkungan disekitarnya dapat dipenuhi terang.

Kepedulian terhadap sesama menuntut pengorbanan. Pengorbanan dimaksud dalam segala aspeknya, seperti yang pernah Yesus berikan kepada umat manusia. Pengorbanan Yesus harus menjadi inspirasi dan benchmark bagi pergerakan GMKI. Demi keselamatan manusia, Yesus mau dan mampu memberikan dirinya menanggung dosa manusia (Lihat Filipi 2:5-8). Maukah GMKI memberikan dirinya dalam mengaktualisasikan tanggung jawab sosialnya?

Dalam aras nasional GMKI seperti “katak dalam tempurung”, lebih memilih “berasyik-masyuk” dalam kubangan status kemahasiswaan daripada memilih mengabdikan pengetahuannya untuk masyarakat. Dimanakah GMKI ketika korupsi digemakan? Dimanakah GMKI ketika PKL diancam hak ekonominya? Dimanakah GMKI tatkala rakyat menjerit karena busung lapar, dan gizi buruk? Dimanakah GMKI ketika hukum tak pernah menyentuh pencari keadilan di negeri ini?

Purna Wacana

GMKI belum mampu dan belum mau menjadi aktor dalam membantu atau mengawal perubahan bagi masyarakat kecil yang selalu tertindas. Untuk itu kesadaran akan perlunya tanggung jawab sosial menjadi modal awal yang harus diikuti dengan rencana aksi GMKI harus terlibat dalam perjalanan penerapan nilai-nilai demokrasi dengan suatu langkah nyata dengan mengesampingkan sekat-sekat ideologis maupun primordialisme. Apabila GMKI concern terhadap keberlanjutan Indonesia sebagai sebuah negara maka GMKI harus mengambil peran sebagai lokomotif demokrasi. (Wilson Therik)