Friday, November 24, 2006

HUTAN MUTIS YANG TERBAKAR, DAERAH ALIRAN SUNGAI MERANA

Oleh: Dr.Ir. L. Michael Riwu Kaho, M.Si *)

SELAMA beberapa hari terakhir, beberapa media massa lokal menyuguhkan berita menarik tentang hutan Mutis, lebih tepat adalah hutan Cagar Alam (CA) Mutis yang terbakar. Saya sungguh tidak tahu apakah kita merasa terusik atau tidak terusik dengan berita itu. Ada paradigma umum dalam pemberitaan pers di Indonesia, yaitu good news is bad news. Taruh kata paradigma ini benar maka seharusnya berita tentang terbakarnya hutan CA Mutis adalah bad news yang good news. Lantas, apakah dengan demikian berita tentang terbakarnya Mutis menjadi komoditas berita yang booming. Tidak juga. Kebanyakan kita mungkin lebih menyibuKkan diri dengan berita tentang isu Pilwakot (mudah-mudahan jangan menjadi pilih wajah kotor) Kupang, Rapimnas Golkar, Kedatangan Cowboy dari Amerika Serikat George W Bush ke Indonesia, isu tentang pertikaian Presiden SBY dengan Wapres tercinta JK atau tentang dana Silpa. Semua pokok berita tersebut adalah berita-berita hangat dan laris. Bahkan mungkin kalah heboh dibandingkan dengan berita tentang Joy Tobing, Baim ex Ada Band tebar pesona dan berita lain tentang para selebritis yang suka jual tampang dan sensasi itu. Baiklah kita sudahi dulu ungkapan palese minta perhatian seperti itu. Anggap saja kurangnya perhatian tentang kebakaran Mutis sebagai tantangan bagi semua pemerhati dan pencinta lingkungan hidup untuk terus berjuang bagi penyadaran umum tentang pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup dan sumberdaya. Bukan karena apa-apa, tetapi karena memang di situlah setiap orang hidup dan berkehidupan. Kita kembali saja kepada kasus kebakaran Hutan CA Mutis.

Kekhawatiran terhadap degradasi ekosistem Mutis sudah menjadi wacana seluruh elemen terkait baik pada tingkat lokal, regional maupun nasional, salah satunya adalah Forum Daerah Aliran Sungai Nusa Tenggara Timur. Melalui kerjasama Forum DAS NTT dengan WWF Indonesia Program Nusa Tenggara, sudah mencoba melakukan kajian-kajian strategis terhadap seluruh potensi sumberdaya dan kebijakan dalam pengelolaan DAS Benenain Noelmina, sehingga pada tanggal 28-29 Juni 2006 dilaksanakan workshop pengelolaan terpadu DAS Benain Noelmina di Kupang yang melibatkan seluruh unsur terkait mulai dari DPRD NTT, Pemerintah Provinsi NTT, Perguruan Tinggi, Pemerintah Kabupaten/Kota, Rohaniawan, tokoh adat, masyarakat hulu, tengah dan hilir, LSM, PDAM, perwakilan dari Departemen Kehutanan dan Departemen Pekerjaan Umum. Tulisan ini merupakan pengantar awal dari seluruh rangkaian tulisan yang dipublikasikan untuk mencoba mengangkat persoalan mendasar yang terjadi pada seputaran DAS Benenain Noelmina. Para penulis selanjutnya merupakan tim risetyang terlibat dalam penyusunan konsep pengelolaan terpadu DAS Benenain Noelmina, berasal dari berbagai latar belakang ilmu dan institusi yang terhimpun dalam Forum DAS NTT.

Hutan Indonesia tampaknya sudah menjadi pelanggan rutin bencana kebakaran. Bahkan, karena terlalu seringnya kebakaran maka setiap bencana lalu terasa sebagai suatu rutinitas belaka. Bahkan malu karena ekspor asap ke negara tetangga mudah berlalu seperti asap saja. Bagaimana dengan di Nusa Tenggara Timur. Wah, kalau soal kebakaran maka NTT bukan lagi pelanggan kebakaran tetapi sudah menjadi produsen kebakaran. Jikalau meminjam istilah di kalangan pers maka NTT tampaknya sudah merupakan bagian dari konglomerat penerbit kebakaran yang hoffklass atau kelas wahid. Mana ada lahan yang tidak dikelola dengan tanpa api? Mudah sekali menemukan kebakaran lahan di NTT begitu selesai musim hujan dan memasuki awal kemarau. Dahulu kala, orang membakar hanya untuk mempersiapkan lahan menjelang musim hujan. Lalu, alasan itulah yang kita dengar jika terjadi kebakaran kapan saja. Pertanyaannya adalah, lahan apa yang mau dibuka di awal musim kemarau. Mau bertanam, airnya dari mana? Memangnya air dari kencing sapi? Maka tidak ada nalar lain bahwa api pada awal kemarau pasti digunakan tidak untuk mempersiapkan lahan. Di Australia, orang Aborigin membakar lahan mereka justru di awal kemarau agar supaya kebakaran dapat lebih terkendali. Tetapi itu kan di Australia. Apa alasan orang origin Timor, origin Sumba dan origin Flores serta origin-origin lain di NTT membakar lahan?. Ada alasan lain pembakaran, yaitu membakar untuk padang penggemba-laan, membakar untuk berburu, membakar karena konflik dan ada orang yang membakar karena senang melihat nyala api. Metzner (1980) pernah menyebutkan orang NTT sebagai pengidap pyromaniac. Suatu istilah yang keren tetapi sayang sekali karena kata itu berarti gila api. Wah, keterlaluan meneer yang satu itu. Perlu dicatat bahwa semua alasan membakar lahan seperti yang diungkapkan tersebut bukan omong kosong belaka tetapi merupakan temuan dalam suatu penelitian untuk Disertasi. Pertanyaannya adalah, apakah membakar adalah melulu kesalahan?

Dalam penelitiannya di savana Ekateta, Kabupaten Kupang, Riwu Kaho (2005) menemukan fakta bahwa kebakaran lahan savana justru diperlukan savana untuk mempertahankan stabilitas ekosistemnya. Dibuktikan juga bahwa ekosistem savana adalah ekosistem yang paling stabil di daerah kering seperti di Timor dan salah satu faktor penentu stabilitas, ya itu tadi, api. Akan tetapi peneliti yang sama juga mengingatkan bahwa kebakaran yang terlalu sering dan dilakukan pada waktu yang sembarangan akan membawa dampak yang buruk. Kebakaran yang terlalu sering akan menghabiskan bahan organik tanah, menghabiskan nitrogen tanah, mereduksi daya infiltrasi air ke dalam tanah, menstimulasi terjadinya erosi, dapat menyebabkan sifat tanah menjadi sangat basa yang berbahaya bagi tanamandan dapat mestimulasi penyebaran tumbuhan gulma. Kebakaran yang dilakukan pada waktu yang sembarangan dapat memicu kebakaran lebih dahsyat dibandingkan dengan kebakaran pada saat api disulut. Dalam penelitiannya, Riwu Kaho menemukan fakta bahwa pada kebakaran yang terjadi di saat suhu udara mencapai maksimum dengan tingkat kelembaban udara yang minimum (biasanya terjadi di antara pukul 11 - 15 siang) akan menyebabkan fenomena api loncat (jumpfire), yaitu pergerakan api yang beloncatan tidak menentu. Kebakaran tipe ini terjadi karena segera sesudah disulut, api akan memiliki cuaca mikronya sendiri. Dalam keadaan ini maka, di mana saja ada bahan bakar (fuels), apakah itu rumput, daun, ranting, kayu mati dan lain sebagainya, api akan merambat ke situ. Kebakaran seperti ini bersifat sangat liar dan orang bule menyebutnya sebagai wildfire. Api liar seperti ini sangat sulit untuk dipadamkan. Inilah yang terjadi pada kebakaran di Sumatera, di Australia dan di mana saja ketika wildfire terjadi. Wildfire hanya akan padam menurut kemauannya sendiri. Anda bisa memadamkannya tetapi dengan usaha yang berlipat-lipat keras serta memakan banyak biaya dan tenaga. Sekali waktu tampak padam tetapi tiba-tiba api dapat muncul dari arah yang berlawanan tanpa disadari. Fenomena inilah yang tampaknya terjadi pada kebakaan hutan di Mutis. Saya kutip berita tentang kebakaran di Mutis sebagai berikut "...sejumlah warga yang ikut memadamkan api mengaku harus pontang panting karena nyala api bisa muncul di mana-mana sehingga sangat sulit dipadamkan" (Pos Kupang, 16 November 2006).

Kita cukupkan dulu pembahasan tentang fenomena kebakaran. Lain kali disambung lagi karena ceritera tentang api masih amat sangat banyak. Tunggu saja. Sekarang kita tengok, apa sesungguhyna alasan orang membakar lahan. Sepintas kita telah mengetahuinya barang sedikit di bagian depan, yaitu untuk membuka lahan, memelihara padang penggembalaan, berburu, kesenangan, dan lain sebagainya. Akan tetapi hal-hal tersebut bukanlah akar pesoalan. Pengalaman bergaul dengan masyarakat pembakar savana di Ekateta dan kemudian menghitung-hitung beberapa variabel mengajarkan kepada Riwu Kaho (2005) bahwa orang membakar karena alasan ekonomi dan budaya. Ada 2 alasan ekonomis, yaitu api meru-pakan bentuk substitusi tenaga kerja dan substitusi pupuk. Alasan budaya peng-gunaan api ditemukan pada fakta bahwa api adalah warisan tradisi yang merupakan jati diri. Api adalah sarana pencucian jiwa. Pada titik ini, Poerwanto (2005, mengutip Kartodirdjo, 1979) memper-ingatkan bahwa sebagian besar masyarakat di pedesaan Indonesia mengalami 2 macam sindroma, yaitu sindroma kemis-kinan dan sindroma enersia. Poerwanto lalu mempertautkan kedua macam sindroma tersebut menjadi satu macam saja, yaitu sindroma kemiskinan dengan asumsi bahwa kedua macam sindroma tersebut selalu berada dalam hubungan sebab akibat yang bersifat dua arah. Sindroma kemiskinan termanifestasi dalam bentuk rendahnya tingkat produktivitas, pengangguran,kurang gizi, tingkat kematian bayi tinggi, tingkat pendidikan rendah termasuk tingginya tingkat buta huruf. Sedangkan sindroma enersia tampak dari sikap fatalisme, passivisme, rasa saling ketergantungan yang tinggi, kehidupan serba mistik dan lain sebagainya. Dalam kerangka pikir teori ini, maka dapat diajukan suatu hipotesis bahwa kebakaran lahan yang terjadi berulang dan sembarang di NTT adalah manifestasi dari sindroma kemiskinan dan enersia itu. Seandainya petani di Mutis cukup kaya maka mereka dapat menyewa tenaga kerja yang banyak sehingga api tidak perlu digunakan. Jika mereka tidak miskin maka pupuk dapat terbeli oleh mereka. Jika mereka tidak pasif maka pasti ada cara lain dalam mengelola lahan pertanian mereka yang tidak semata-mata menggunakan api. Kalaupun mereka mengunakan api, maka mungkin akan sama dengan rekan petani mereka yang kaya di negerinya tuan Geroge W. Bush, mereka akan menggunakan metode prescribed fire. Lalu, janganlah mereka ditakut-takuti lagi dengan ceritera bahwa kebakaran terjadi karena alam Mutis murka. Hal ini akan semakin membe-namkan mereka pada situsi kelembaman mistik yang pekat. Tidak, kebakaran bukan karena alam Mutis murka tetapi karena penggunaan api yang sembarang dan tidak memperhitungkan konsekuensi ekologis dari kesemberonoan itu.

Hutan Mutis terbakar sudah. Rahim Benenain-Noelmina menangis sudah. Apa kaitan antara Hutan CA Mutis dan Sungai Benenain-Noelmina. Ah, tempo hari ketika pergi ke Fatumnasi kami lihat hubungan keduanya baik-baik saja. Teta-pi kabarnya sekarang hubungan kedua-nya korslet beraat boss. Betapa tidak. Tegal perkara hutan CA Mutis dirambah dan dibakar maka orang di Belu dan Be-na menangis karena banjir. Di awal ta-hun 2006 dua kali banjir bandang melan-da Belu dan airnya diduga berasal dari hulu sungai di Mutis. Tetapi, sebaliknya, ketika orang di Bena dan Belu tingkat ekonominya lebih baik maka orang di Mutis hidup susah karena hutannya tidak boleh diapa-apakan karena merupakan daerah cagar alam. Ah, ada apa pula ini, kata si Poltak Raja Minyak....

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa, sehingga merupakan kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsinya untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya dan kemudian mengalirkannya melalui sungai utamanya (single outlet). Satu DAS dipisahkan dari wilayah lain di sekitarnya (DAS-DAS lain) oleh pemisah dan topografi, seperti punggung perbukitan dan pegunungan. Seorang pakar hidrologi hutan (Asdak, 2002) mengatakan bahwa DAS adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama. Wilayah daratan dimaksud dinamakan sebagai daerah tangkapan air yang merupakan suatu ekosistem dengan unsur-unsur utama adalah sumberdaya alam(tanah, air dan vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam. Dari batasan ini maka dapatlah dideskripsikan bahwa Gunung Mutis dan sekitarnya adalah gunung yang menampung air, Benenain dan Noelmina adalah penyalur air dalam bentuk sungai dan ka-wasan di Belu Selatan dan Bena, TTS adalah daerah dekat laut sebagai muara sungai. Dalam konsep DAS, kawasan Mutis disebut sebagai hulu DAS (up stream) dan Bena serta Belu Selatan adalah hilir DAS (down stream).

Karena hubungan seperti yang baru diuraikan dan karena air mengalir dari atas ke bawah mengikuti gradien gravitasi maka dapat dimengerti jika sesuatu yang terjadi di hulu DAS akan menentukan apa yang terjadi di hilir. Sebaliknya, dalam keadaan yang biasa-biasa saja, jarang terdengar bahwa apa-apa yang terjadi di hilir akan mempengaruhi kondisi di hulu. Jadi, memang sudah dari sono-nya orang hulu selalu diminta berhati-hati sedangkan orang di hilir boleh lebih kurang berarti. Mau bukti? Kebakaran yang mungkin terjadi di hutan kateri di Belu (hilir) tidaklah semenarik kasusnya jika dibandingkan dengan kebakaran di Mutis sebagai daerah hulu. Karena orang hulu akan menjadi takut mendapat banjir. Banjir kiriman katanya. Ketika terjadi bencana banjir maka orang hilir menderita sambil menjerit...orang hulu suda bekin susah kitong samua. Akan tetapi batul bagitu ko?

Dalam model normal, maka anggapan bahwa kerusakan ekosistem di hulu menyebabkan kerugian di hilir adalah benar adanya. Kerusakan di bagian hulu DAS akan memicu erosi dan sedimentasi sehingga daya tampung sungai akan aliran air berkurang sehingga mu-dah terjadi banjir. Kerusakan di hulu akan menyebabkan air larian meningkat sehingga semakin besar jumlah air yang harus ditampung oleh sungai. Pokoknya, kerusakan di hulu akan mengakibatkan penderitaan di bagian hilir. Akan tetapi keadaan untung rugi kawasan hulu-hilir tidak semata seperti itu. Karena erosi dan sedimentasi maka tanah di bagian hilir DAS umumnya lebih subur sehingga produktivitas pertanian lebih baik. Masyarakat di bagian hilir memiliki kesempatan berusaha yang lebih luas. Menjadi petani oke saja. Bosan bertani maka jadi petambak ikan ya oke-oke juga. Sementara itu, orang di hulu lebih terbatas. Karena rona vegetasi hulu adalah hutan, apalagi hutan CA seperti di Mutis, maka orang hulu hanya bisa "menonton" kawasan hutan yang ada. Bergerak sedikit saja di dalam kawasan hutan akan dituduh sebagai perambah. Akibatnya, dalam sistem ekonomi masayarakat hulu-hilir, adalah masyarakat hulu yang lebih miskin. Hal ini terbukti dari hasil penelitian tim Forum DAS NTT yang menemukan fakta bahwa ternyata tingkat pendapatan masyarakat di hilir Benanain-Noelmina lebih tinggi dibandingkan dengan masayarakat di hulu. Maka, orang di hulu DAS mangomel : kitong yang jaga utan dorang di hilir yang kaya. Pung enak laiiii!!!

Begitulah, tuding menuding antara masyarakat hulu dan hilir selalu terjadi. Bagai-mana mendamaikannya. Adagiumnya jelas, yaitu kalau semua baik-baik saja maka pertengkaran tidak akan ada. Persoalannya ada-lah bagimana membuat se-muanya baik-baik saja dalam keadaan seperti yang telah diuraikan? Jawabannya ada-lah harus ada sistem pengelolaan DAS yang terpadu. Pengelolaan DAS (PDAS) adalah upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya, dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam bagi manusia secara berkelanjutan. Hubungan timbal balik antara SDA dan SDM sangat penting karena SDM akan menentukan rona SDA. Sementara itu, pengertian pengelolaan DAS terpadu adalah proses formulasi dan implementasi suatu kegiatan yang menyangkut pengelolaan sumber daya alam dan manusia dalam suatu DAS dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi dan kelembagaan di dalam dan sekitar DAS, termasuk untuk mencapai tujuan sosial tertentu. Pengelolaan DAS terpadu dilakukan melalui pendekatan ekosistem yang dilaksanakan berdasarkan prinsip "satu sungai, satu rencana, satu pengelolaan" (one river, one plan, one management -- teman-teman di Forum DAS NTT menyebutnya sebagai wawan) de-ngan memperhatikan sistem pemerintahan yang desen-tralistis sesuai jiwa otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Satu sungai (dalam arti DAS) merupakan kesatuan wilayah hidrologi yang dapat mencakup bebe-rapa wilayah administratif yang ditetapkan sebagai satu kesatuan wilayah pengelolaan yang tidak dapat dipisah-pisahkan; Dalam satu sungai hanya berlaku Satu Rencana Kerja yang terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan; Dalam satu sungai diterapkan Satu Sistem Pengelolaan yang dapat menjamin keterpaduan kebijakan, strategi perencanaan serta operasionalisasi kegiatan dari hulu sampai hilir.

Jelas sudah bahwa konflik kewilayahan antara daerah hulu-hilir, antar kabupaten (jika aliran sungainya bersifat lintas kabupaten, antara provinsi (jika aliran sungainya bersifat lintas provinsi), dan bahkan lintas negara (jika aliran sungainya bersifat lintas negara) hanya dapat direduksi jika ada penlolaan DAS secara terpadu. Pengelolaan DAS dengan cara ini mudah diucapkan tetapi sangat sulit dipraktekkan. Untuk memudahkan orang dalam menyusun PDAS terpadu, dan dengan demikian praktek PDAS terpadu menjadi lebih mudah harus memenuhi beberapa persayaratan, yaitu harus tedapat suatu sistim pangkalan data (data base) yang diakui validitas dan reliabilitasnya secara bersama-sama (multipihak) serta harus ada kriteria dan indikator yang jelas dalam pengelolaan sehingga semua pihak dapat memiliki alat ukur yang sama untuk mengatakan bahwa: oh...iya...kita sudah maju dan berhasil sampai di sini dan belum begitu baik di sana....Pangkalan data yang dimiliki harus disusun atas beberapa aspek penting, yaitu aspek kebijakan dan peraturan perundangan, tata ruang, eko-nomi kawasan, sosial, budaya, dan kelembagaan, lahan dan sumberdaya mineral, pertanian, perkebunan,dan peternakan, kehutanan dan sumberdaya air. Lantas, berbasis aspek-aspek dalam data base itulah sistem kriteria dan indikator dikembangkan. Gampang ko? Susah ko?

Susah dan gampang dalam penyusunan Pengelolaan DAS Terpadu adalah suatu perkara yang relatif tetapi ada satu hal yang dipastikan bah-wa pekerjaan ini membutuhkan waktu dan komitmen se-mua pihak untuk duduk, ber-bicara, berpikir dan menulis-kan sesuatu secara bersama dan sinergis. Pembaca yang budiman, kawan-kawan di Forum DAS NTT akan berba-gi ceritera bersama Anda tentang suka duka penyusunan rencana Pengelolaan DAS Terpadu yang dikerjakan hampir sepanjang tahun 2006 ini. Bukan sekedar berceritera tentang proses tetapi juga me-reka akan berbagi ilmu ten-tang apa-apa yang telah diha-silkan. Mereka bekerja keras. Sangat keras, dengan reward yang sebenarnya kurang pantas untuk dibicarakan. Walaupun begitu mereka berkeyakinan bahwa sesuatu yang baik pasti akan disertai dan diberkati oleh Tuhan yang Maha Esa. Dan inilah reward yang sejati. Se-moga, di akhir sharing, Anda mendapatkan sesuatu yang bermanfaat dan mau bergabung dalam pekerjaan yang baik ini. Karena sesungguhnya seluruh permukaan bumi ini adalah sistem DAS itu sendiri. (PK)

*) Ekolog Undana, Senior GMKI Cabang Kupang

GMKI DAN NEOLIBERALISME

Periode 2004-2006: Fase Wacana dan Institusionalisasi

Oleh: Sylvester Ndaparoka, SP *)

NEOLIBERALISME (Neolib) adalah isu strategis yang menjadi perhatian semua elemen civil society secara global dan nasional-Indonesia, termasuk GMKI. Hasil Kongres ke-29 di Pemantang Siantar dalam Garis Besar Program dan Kebijakan Umum Organisasi mengamanatkan GMKI untuk meresponi secara serius akan isu strategis ini. Kongres ke-30 ini juga masih mengagendakan Neolib sebagai isu kunci dan hal ini kembali ditegaskan oleh Ketua Umum PP GMKI (Bung Kenly Poluan, S.Pd), Ketua Umum Panitia Nasional Kongres 30 (Bung Drs. Ibrahim A. Medah) dan Sekretaris Umum Panitia Nasional Kongres 30 (Usi Dra. Yaherlof Jacob-Foeh) dalam Talk Show interaktif TVRI Kupang pada hari Jumat (3/11).

Dari pengamatan cabang dan PP, telah menerjemahkan Neolib secara beragam. Misalnya: (a) Neolib menjadi materi-standar dan muatan baru dalam pelaksanaan kaderisasi anggotadi aras cabang. Misalnya di Cabang Kupang, Waingapu, Salatiga, Makassar, Jakarta, Medan, Papua adalah contoh cabang yang diketahui. (b) menjadi bahan study dan diskusi yang serius di tingkat komisariat, BPC, PP maupun lembaga-lembaga bentukan GMKI. Dari 2 model penerjemahan ini sebenarnya memberikan kesimpulan sementara bahwa Neolib telah menjadi wacana. Neolib baru dijadikan perspektif baru berprogram di GMKI. Atau dalam kalimat “Kaderisasi” bisa disebutkan bahwa Neolib telah memasukki ranah knowledge para kader GMKI setanah air selama 2 tahun terakhir.

Sikap Gereja: sudah selangkah ke depan. Gereja di Indonesia seperti GMIT (Gereja Masehi Injili di Timor) dalam beberapa study internalnya yang difasilitasi oleh Litbang GMIT telah pula menelurkan perjuangan konkrit atas berkenan dengan globalisasi dan Neolib. Adapun nilai-nilai yang diperjuangkan GMIT, Ekonomi dan Globalisasi adalah (1) Perdagangan yang saling menguntungkan dengan menghilangkan eksploitasi ekonomi, (2) Menciptakan sebuah sistem dan mekanisme perdagangan yang adil, (3) Mewujudkan keberpihakan yang nyata terhadap jemaat-jemaat, warga masyarakat/kelompok pinggiran yang marjinal, (4) Mengusahakan terciptanya keseimbangan yang sehat antara sistem ekonomi yang berbeda-beda.

Akhir-akhir ini isu ini kian kuat dalam gerejam bahkan dalam pertemuan Dewan Gereja-gereja se-Dunia termasuk PGI adalah “memerangi” Neolib. Hal ini bisa dibaca dengan jelas dalam dokumen yang terkenal AGAPE (Alternative Globalization Addressing People and Earth) inti komitmen dan Doa Gereja ini adalah pengambilan langkah aksi setelah bergumul dalam wacana dan empirisme Neolib. Ini konsolidasi gerakan gereja yang luar biasa dan memiliki kekuatan Doa.


Periode 2006-2008: Fase Aksi Konkrit dan Penyatuan Kekuatan

Momentum Kongres 30 ini di Kupang, menjadi strategis GMKI untuk menyatakan sikap dan konsistensinya berkenan dengan Neolib. Artinya kalo periode kemarin adalah periode konsolidasi wawasan tentang Neolib maka periode kali ini adalah masa untuk konsolidasi aksi. Keputusan kongres berkenan dengan Neolib dalam rumusan GBPKUO adalah cara terbaik. Komitmen cabang-cabang menjadi penting untuk “mensepakati” bahwa GMKI perlu konsolidasi gerakan aksi pelayanan memerangi Neolib. Gerakan Anti Neolib perlu menjadi “arus-utama” program GMKI se-tanah air. (Wilson Therik)

*) Penulis, Korwil VII PP GMKI Masa Bakti 2002-2004, Ketua Bidang Organisasi BPC GMKI Kupang Masa Bakti 2000-2002.

Wednesday, November 22, 2006

DI CARI SEORANG PEMIMPIN?

OLEH: ARMADO TAMBUNAN, SE *)

Ketika saya membaca surat kabar saya melihat kolom-kolom khusus mengenai lowongan pekerjaan kolom tersebut menawarkan segala macam jenis pekerjaan dengan kriteria-kriteria tertentu baik itu tingkat pendidikan ataupun keahlian-keahlian berikut juga pengalaman-pengalaman yang disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan, sejenak saya merenungkan apakah dengan kriteria yang ditentukan seseorang dapat langsung diterima dengan mudah untuk posisi yang ditawarkan tersebut ? dan ternyata jawabannya tidaklah sebegitu mudah karena adanya proses rekruitmen yang didalamnya terdapat seleksi dan persaingan, hal ini menjadi sebuah pilihan mutlak dan keharusan dalam proses rekruitmen tersebut.

Sebuah refleksi mungkin dapat kita renungkan dalam proses Kongres GMKI XXX ini, mungkinkah Dicari Seorang Pemimpin ? sebuah kata yang tepat dalam mewarnai kongres ini, bahwa GMKI membutuhkan seorang pemimpin yang harus memenuhi kriteria-kriteria yang diharapkan dan sesuai dengan kebutuhan organisasi ini sehingga terjadi kesinambungan didalam perjalanan organisasi.

Dinamika kongres memberikan sebuah pandangan dan asumsi-asumsi bagi keberlangsungan GMKI dan hal ini harus disesuaikan dengan kebutuhan organisasi, siapapun bisa memimpin tetapi apakah kalimat tersebut dapat diklaim apakah seseorang dapat menjalankan roda organisasi ini ?, tentunya uji kepatutan dan kepantasan haruslah dilakukan dimana hal ini menjadi tugas dan tanggung jawab Kongres untuk mempersiapkan dan memilih pemimpin yang berpotensi dan revolusioner yang memiliki visi dan misi kedepan dalam mengemban amanat agung kongres untuk mengawal Organisasi ini kegarda terdepan.

GMKI harus terus bergerak dan dinamis dalam menyikapi persoalan dan permasalahan kebangsaan baik itu kemiskinan, diskriminasi, kesenjangan sosial dan persoalan krusial lainnya begitu pula dalam menyikapi kondisi 3 medan penata layanan baik itu dalam Gereja, Perguruan Tinggi dan Masyarakat, GMKI diharapkan dapat menjadi tunas-tunas baru, lilin-lilin kecil yang dapat menyinari bagi bangsa dan negara ini, dalam hal internal organisasi, pembinaan, penciptaan dan pemberdayaan kader-kader yang sesuai dengan kondisi kekinian dalam era globalisasi dan pasar bebas sudah sangat diperlukan bukan tidak mungkin GMKI akan ditinggalkan oleh mahasiswa oleh karena GMKI tidak dapat menjawab tantangan kemajuan jaman, kondisi ini mengharuskan pemimpin yang tanggap sehingga nantinya menyadari kondisi dan permasalahan tersebut, sehingga tidak hanya lebih peka dan tanggap tetapi juga ada aksi yang dilakukan untuk mengadakan perubahan dan pembaharuan semata-mata untuk kemajuan organisasi.

GMKI harus dapat merefleksikan dan memproyeksikan dirinya dalam menyikapi kebutuhan-kebutuhan apa yang saat ini krusial dan tepat guna sehingga dapat mereformasi dirinya, melakukan perubahan-perubahan dan pembenahan baik itu aspek internal ataupun internal organisasi sehingga GMKI menjadi tempat belajar dan menciptakan kader-kader terbaik sesuai dengan tujuan awal para Founding Father gerakan dalam menghadirkan sebuah kalimat (shalom Allah) didunia ini dapat terwujud, kalimat akhir dapat kita simpulkan “lowongan itu terbuka bagi siapapun yang beritikad memajukan gerakan ini. (Wilson Therik)

*) Mantan Koordinator Wilayah II PP GMKI

MASYARAKAT DALAM MENATAP DUNIA KERJA

OLEH: ARMADO TAMBUNAN, SE *)

(Engkau sarjana muda berpacu dengan waktu, sia-sia ijazahmu) sebuah syair dari Iwan Fals, menggambarkan begitu peliknya problematika dunia pekerjaan dalam menatap pasar terbuka, menjadi suatu tantangan yang mau atau tidak harus dihadapi oleh setiap elemen masyarakat khususnya pemuda dan mahasiswa, dimana pembangunan ekonomi dan pasar dunia menuntut pembenahan-pembenahan disegala sektor kehidupan, kebijakan ketenagakerjaan seharusnya lebih mempermudah masyarakat dalam memperoleh informasi dan akses pekerjaan sesuai ruang lingkup akademik dan kemampuan yang dimiliki tetapi kenyataan disini bangsa ini masih diperhadapkan kepada permasalahan pengangguran, minimnya lapangan pekerjaan, rendahnya tingkat upah dan aturan-aturan ketenaga kerjaan yang dalam hal ini cenderung menguntungkan para pengusaha.

Aspek Pengusaha dan tenaga kerja seharusnya dituntut menciptakan hubungan yang harmonis (industrial relationship) antara pengusaha dan tenaga kerja, hambatan dalam penciptaan tenaga kerja itu harus direduksi, dimana disuatu sisi, pengusaha diharapkan dapat memperoleh keuntungan dengan faktor-faktor produksi yang dimilikinya, dilain sisi pekerja mengarapkan upah yang sesuai ataupun lebih besar dari yang diharapkan. Fungsi campur tangan pemerintah dalam memberikaan kebijakaan tentang ketenaga-kerjaan tentunya harus menjadi katalis dalam memberikan kemudahaan-kemudahan dimana ada solusi yang saling menguntungkan antara pengusaha dan tenaga kerja.

Kendala dan tantangan dalam mengahadapi pasar terbuka (Open Market) tentunya harus menjadi pemacu untuk dapat mempersiapkan diri yaitu dengan penciptaan lapangan pekerjaan baru, akses informasi yang luas dan lengkap sehingga dapat meningkatkan kualitas para pekerja itu sendiri. Kendala yang kita hadapi saat ini adalah lemahnya daya saing masyarakat itu sendiri baik itu dalam keahlian dan tingkat pendidikan sehingga tercipta tenaga-tenaga kerja murah dan kedepannya akan merugikan bangsa ini sendiri. Melihat dari sisi pasar tenaga kerja dimana permintaan akan tenaga kerja lebih rendah dibandingkan penyediaan tenaga kerja menimbulkan tingkat upah yang sangat rendah. Kondisi lain yang dihadapi adalah faktor skill yang terdiri dari kemampuan inteligence yang didapat dari strata pendidikan ataupun pelatihan-pelatihan yang pernah dilakukan dari hal ini dapat menurunkan daya saing masyarakat itu sendiri.

Peran campur tangan pemerintah tentunya dirasakan sangatlah perlu terhadap penciptaan lapangan pekerjaan baru, kebijakan mengenai pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah yang harus ditingkatkan, meningkatkan nilai tambah dari kualitas sumberdaya manusia itu sendiri baik dalam aspek Inteligence, emosional maupun spiritual quotience harus menjadi landasan dalam pembangunan dunia ketenagakerjaan di Indonesia yang tentunya dimulai dari pembenahan kualitas dunia pendidikan itu sendiri.

Peran serta mahasiswa saat ini dituntut untuk lebih peka dimana mahasiswa sebagai pembawa arus perubahan tentunya juga harus mempersiapkan diri dalam menghadapi pasar kerja dunia tidak hanya memiliki kualitas akademik yang baik tetapi perlu didukung oleh sense of crisis terhadap permasalahan yang dihadapi bangsa ini. Faktor lain yang tidak lebih penting adalah ketika mahasiswa terjun kedalam masyarakat diharapkan dapat menciptakan lapanganan pekerjaan baru sesuai dengan bidang dan kemampuan yang dimilikinya.

Persiapan kualitas sumber daya manusia ini tentunya menjadi masalah utama yang harus diselesaikam bersama yang tentunya harus melibatkan seluruh aspek pengambil keputusan, karena mau atau tidak mau kita harus terjun dan harus dapat mewarnai perubahan tersebut momen-momen seperti Kongres GMKI XXX harus menjadi refleksi dan proyeksi kedepan bagi mahasiswa dalam menyikapi dunia ketenagakerjaan. (Wilson Therik)

*) Mantan Koordinator Wilayah II PP GMKI

PEREMPUAN DI TENGAH PARTISIPASI DALAM RUANG PUBLIK ANTARA TUNTUTAN, TANTANGAN DAN KENYATAAN

OLEH: DARMANTO F. KISSE ,SP,MP *)

Shalom !!

Pertama-tama kita patut mengucapkan syukur pada Kepala Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dan sekaligus selamat dan Sukses bagi Pengurus Pusat GMKI dan Panitia Nasional Kongres XXX GMKI Tahun 2006, yang telah memberi nilai pada Forum tertinggi dalam organisasi GMKI yakni Kongres, yang telah dibuka oleh Gubernur Nusa Tenggara Timur.
Apresiasi yang tinggi kepada Pengurus Pusat GMKI dan Panitia Nasional Kongres XXX yang memiliki keberpihakan terhadap perjuangan kesetaran gernder, dengan diadakannya Pertemuan Perempuan GMKI, dengan tujuan memperdalam pemahaman Kader GMKI akan posisi dan peran Perempuan diruang publik, untuk menemukan model gerakan perempaun GMKI dan mengkonstruksi pemikiran progmatik bagi persiapan kader perempuan di ruang publik serta mendesign model struktur bagi pengoptimalisasian konsep pengembangan perempuan di ruang publik. Akan tetapi, sesungguhnya dalam suatu pemahaman analisis kritis, topik diatas belum memberikan tempat yang berarti bagi perempuan malah masih memposisikan perempuan sebagai subordinasi sekedar partisipan, adalah merupakan permasalahan yang senantiasa dijadikan acuan para pembahas, akan tetapi pada tataran empiris, dimana kaum perempuan diberi akses, justru yang terjadi adalah bahwa, ada kecenderungan kaum perempuan sendirilah yang memarjinalkan sesama kaumnya dan bahkan dapat dikatakan sebagai penjajah baru. Misalnya ibu-ibu yang memberikan tugas dan tanggungjawab mengasuh anaknya kepada mereka yang dikenal dengan penjaga/pengasuh bayi (baby sitter) dengan sejumlah balas karya dan bahkan ada yang memberikan balas yang tidak sesuai dengan Upah Minimum Propinsi (UMP) dan dalam masyarakatpun kita temui para pengasuh bayi atau pembantu rumah tangga ini di siksa oleh majikannya, yang nota bene adalah sesama kaum perempuan.

Partisipan adalah sebuah makna suplemen yang berhadapan dengan sebuah makna yang primer/utama. Mengapa hanya sekedar partisipasi perempuan ? mengapa menghitung peran perempuan hanya sekedar partisipan ? Partisipan dapat dikonotasikan sebagai peran figuran peran/ supporter yang kedudukannya tidak sama dengan dengan pelaku dan pemeran sesungguhnya atau tokoh sentral suatu lakon, misalnya kita sebagai bangsa pernah dipimpin oleh perempuan ataupun kita dapat mencontohi Israel yang pernah di pimpim oleh PM Goldemeir, atau Inggris yang dipimpin oleh PM Margareth Tacher bahkan mungkin dalam pengamatan ataupun pengalamankehidupan sosial kita pribadi di rumah tangga, tempat kerja, masyarakat dimana pembaca beraktivitas dan ada kecenderungan gaya/style/type kepemimpinan yang ditunjukkan adalah gaya otoritarian, dan masih banyak lagi contoh yang kita punyai baik dari hasil membaca, mengamati maupun pengalaman pribadi.
Selain itu ada juga Pemahaman yang ingin dikonstruksi sebagai peran yang harus dimainkan perempuan sebagai warga komunitas bukan sekedar diberi nilai sebagai partisipan, adalah sebuah hak perempuan dan merupakan kewajiban bagi patnernya kaum lelaki. Perempuan dan laki- laki harus menjadi pelaku baik diruang domestik maupun diruang publik, tetapi juga harus diakui bahwa dalam diri manusia baik laki-laki maupun perempuan terdapat apa yang dinamakan (black area), sehingga jika tidak hati-hati kita terjerumus kesana dan berkecenderungan memunculkan gaya/style yang merendahkan kemanusiaan kita. Termasuk didalamnya perempuan GMKI yang hendak di bentuk melalui program yang didesign untuk itu.
Untuk itu strategi akselerasi yang mesti ditempuh adalah bukan sekedar meminta, membujuk atau merayu akan tetapi melakukan tuntutan melalui berbagai pola dan terobosan yang lebih komperhensif dan tentunya senantiasa didasarkan kasih dengan tujuan agar menumbuhkan kesadaran kemudian menjadi sesuatu yang mewujud dalam tindakan nyata dan senantiasa direvisi untuk kesempurnaan, sebagaimana yang diajarkan dan dicontohkan oleh Kepala Gerakan. Jadin bukan intrik- kolulif dan bahkan intimidatif untuk meraih tujuan pribadi yang sengaca dan secara sadar di bungkus secara rapih menjadi seolah-olah tujuan bersama.
Tuntutan itu harus menjadi kesadaran perjuangan bersama untuk menghasilkan terjadinya akselerasi peran yang harus dimainkan oleh perempuan di ruang public secara lebih proposional.

Tuntutan peran dan kinerja sektor publik bagi perempuan harus berhadapan dengan variable determinant antara lain sumber daya, pengetahuan/ kemampuan intelektual maupun teknis dan kompetisi/persaingan serta ketangguhan mental atau self concept yang kuat. Tanpa totalitas kemampuan diatas kinertja public bagi perempuan akan menjadi sulit.

Sekarang kita harus meneguhkan komitmen bahwa tantangan dan kesulitan apapun akan bisa teratasi, karena batu-batu karang yang ditempatkan dalam perjalanan kita adalah tempat untuk kita mendaki, bukan penghalang bagi kita untuk maju, termasuk perempuan secara kwantitas maupun kwalitas harus secara nyata menerobos ruang public bahkan mencapai posisi leader power, jika itu harus dan tentunya harus dilandasi bahwa Kepala Gerakanlah yang mengatur seluruh skenario dibawah kolong langit ini, termasuk para patner kaum lelaki.

PEREMPUAN DAN PERADABAN

Peta dan kondisi keterbelakangan perempuan adalah sebuah peta peradaban yang dilakoni dalam ketidak tahuan manusia akan kesetaraan.sehingga jika kita mengatakan bahwa perempuan adalah korban peradaban maka. Apa sungguhnya hutang peradaban, siapa yang harus membayarnya ? Kapan harus membayarnya ? bagaimanana caranya membayarnya. Menjawab hal ini tentunya tidak secara verbal, akan tetapi diperlukan adanya kesadaran dari kita baik laki dan perempuan untuk secara sadar melihat dan mengakui bahwa secara subtansial perempuan dan laki-laki mempunyai kedudukan yang sama, Apa yang menjadi persoalan kodrati adalah sesuatu yang melekat pada bawaan jenis kelamin. Selain itu peran peran yang ada adalah sebuah rekayasa sosial yang masih harus didiskusikan secara sehat dan bersama.

Yang terpenting kita mesti melakukan upaya dekonstruksi untuk secara bertahap dan terukur membangun paradigma dan stigma yang tidak timpang antara persepsi peran laki-laki dan perempuan. Ketimpangan akibat rekayasa sosial budaya ini akan mengakibatkan termarjinalisasinya manusia (perempuan atau lelaki) dalam sektor publik. Oleh karena itu, merekonstruksi perjalanan peradaban kedepan, harus disadari dan dilaksanakan secara baik, benar dan tepat oleh seluruh komunitas peradaban yakni negara/ pemerintah sebagai sebuah sistem, dan seluruh segmen sosial melalui akselerasi sistem dan regulasi serta perilaku kemasyarakatan dan tentunya individu baik perempuan maunpun lelaki.

PROFIL PEREMPUAN DI RUANG PUBLIK

Peran perempuan dalam ruang publik secara jumlah masih dirasakan minim, bahkan posisi perempuan pada level top manejemen/ leader pun masih dirasakan kurang. Tetapi apakah memang benar demikian dalam tataran empiris, sepertinya diperlukan suatu diskusi panjang untuk ini, karena sebagai patner yang setara dengan lelaki seharusnya perjuangan melalui sistem regulasi untuk mengenjot perempuan dalam ruang publik melalui sistem alokasi 30 % perlu dipikirkan kembali, karenanya dengan kuota tersebut sebenarnya merugikan kaum perempuan sendiri, karena dari segi jumlah penduduk terbaca bahwa perempuanlah jumlah terbesar, tetapi keterwakilannya hanya 30 % dan persoalan tidak mencapai target bahkan mengalami kemundurun karena pada beberapa kasus terjadi pengurangan perempuan adalah masalah lanjutan dari ketentuan yuridis formal tersebut merupakan suatu matarantai yang tidak terpisahkan, misalnya di parlamen pemilu 2004 dan di lembaga presiden dengan tidak terpilihnya Megawati pemilu 2004, bukan karena persoalan jender semata tetapi karena style/ gaya kepemimpinan kaum perempuan yang menjadi “boomerang” bagi dirinya secara pribadi, jadi dengan menjadikan teladan tidak terpilihya megawati karena kurangnya kesadaran gender bukan contoh dan jawaban yang tepat untuk persoalan gender diruang publik, tetapi persoalan kompetisi manusia (perempuan dan laki-laki) dalam dunia politik. Termasuk tuntutan terhadap kekalahan Perempuan dalam mendapat tempat yang signifikan dalam mekanisme pemilihan umum dengan sistem proposional daftar terbuka pemilu 2004, semakin nyata memberi jawab bahwa kepentingan pribadi cenderung dibungkus rapi dan diformulasi untuk dijadikan persoalan bersama dan ini sangat pragmatis dan tidak berorientasi gender, jika gender disepakati sebagai kesepakatan bersama dalam menkonstruksi peran sosial umat manusia (lelaki dan perempuan). Hal ini terbukti dari walaupun perempuan memiliki suara mayoritas diatas 50 % pada pemilihan umum 2004 pun tidak mampu memberikan dan menghantar perempuan keruang legeslatif karena perjuangan gender masih didominasi oleh kepentingan diri yang diberikan kemasan, sehingga tidak atau belum terciptanya kohesitas dikalangan perempuan sendiri.
Jika kita mau bersepakat untuk membangun peradaban baru, maka diperlukan pembenahan sistem termasuk regulasi disemua bidang politik dengan memberi masa konsolidasi dan rehabilitasi peran perempuan, tetapi perlu diingat bahwa dalam perjalanan kedepan, laksana kita mengemudi mobil, maka 80 % kita harus memperhatikan kedepan dan hanya 20 % saja kita sesekali memperhatikan kebelakang, jika tidak maka akan terjadi kecelakaan lalulintas karena ketidak benaran dalam mengemudikan kendaraan peradaban yang ingin kita kosntruksi atas dasar kesetaraan gender, ia khan mama boy, dong ? sehingga tuntutan agar Negara harus menjamin sistem Quota perempuan diparlemen dan di eksekutif dalam rentang masa tertentu dan kemudian setelah perempuan terkonsolidasi secara kwalitas dan kwantitas baru kita masuk dalam era kesetaraan yang bebas quota karena perempuan dan laki- laki sudah memiliki akses yang sama dan adil., merupakan cara berpikir yang benar tetapi perlu diingat bahwa dalam mencari pemecahan suatu masalah tidak selamanya harus dimulai dari luar dan itu yang paling benar, tetapi perlu datang dari dalam atau tepatnya kaum perempuan tidak perlu mengalokasikan energi terbesar pada upaya menuntut saja tetapi sebaliknya lebih diorientasikan pada penataan dari dalam diri secara pribadi maupun secara bersama dan menunjukkan kemampuan dan karya bukan dengan melakukan kampanye yang sebatas pembicaraan alias kader modal bibir saja, alias kader banyak bicara tanpa karya yang menjawab kebutuhan diri maupun sesamanya.

Demikianlah tulisan sederhana ini dipersembahkan bagi setiap kader GMKI, teristimewa para Perempuan GMKI yang sementara berjuang dan mau membentuk diri untuk kinerja publik pasca Kongres XXX GMKI yang mulia, semoga berguna dalam upaya membangun peradaban baru, sebagaimana yang digambarkan dalam Alkitab sebagai dunia tanpa ketimpangan.

Selamat berjuang Kepala Gerakan Pasti memberkati kita, teriring salam dan doa tulus.
Ut Omnes Unum Sint. (Wilson Therik)

*) Mantan Sekretaris BPC GMKI Kupang masa bhakti 1992-1994