BANGUNLAH EMBUNG UNTUK KEMARAU PANJANG
Oleh: Viktor Siagian *)
Musim kemarau tahun ini memang luar biasa dan sudah mendekati kondisi El Nino tahun 1997. Seharusnya pada Oktober, hujan sudah mulai turun, tapi ternyata hanya di beberapa daerah saja. Dampak dari kemarau panjang ini tentu merugikan secara ekonomi, banyak petani yang gagal panen, baik tanaman padi sawah, palawija, dan tanaman perkebunan.
Sebanyak 50 000 ha sawah diperkirakan kekeringan (drought) dan puso dengan kerugian Rp 1 triliun. Musim tanam Oktober Maret (musim penghujan) akan mundur ke November atau Desember.
Walaupun sebenarnya hal ini sudah berlangsung sejak tahun 1997 akibat pergeseran iklim, petani lebih banyak menanam padi pada November/Desember. Jika dulu bulan yang berakhiran ber pasti konotasinya akan banyak turun hujan, saat ini belum tentu demikian.
Dampak ini juga berpengaruh besar terhadap produksi peternakan kita, terutama sapi yang memerlukan rumput dan air untuk kehidupannya, sapi menjadi kurus, berat karkas menjadi berkurang. Demikian juga usaha kolam ikan air tawar, banyak ikan yang mati karena kolam yang mengering. Banyak penduduk di pedesaan dan kota yang saat ini kesulitan mendapatkan air.
Kekeringan ini juga menyebabkan rentannya terhadap kebakaran lahan dan hutan, cukup dengan membuang puntung rokok lahan semak, kebun karet dan hutan akan terbakar. Apalagi di daerah lahan gambut yang sudah direklamasi sangat rawan terbakar karena kemampuan memegang airnya sangat rendah.
Dampak lainnya dari kemarau panjang ini adalah debit air Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di seluruh Indonesia menurun drastis sehingga kesulitan untuk memutar turbin. Hampir di seluruh Indonesia terjadi pergiliran pemadaman listrik.
Tentunya semua ini akan merugikan negara secara ekonomi. Banyak pabrik-pabrik yang tidak beroperasi, kantor-kantor pemerintah/swasta yang lumpuh, apalagi bagi pelajar/mahasiswa hal ini tentunya akan mengganggu konsentrasi belajar.
Bangunlah EmbungTapi di atas semua ini, kita masih memiliki harapan untuk mengatasi kemarau panjang ini. Kemarau panjang adalah gejala alam yang sangat sulit kita hindari. Kita hanya dapat meminimalkan dampak kemarau melalui teknologi dan keunggulan sumber daya alam yang kita miliki.
Daerah-daerah yang memiliki danau kecil seperti lebung (daerah cekungan di daerah rawa), situ dan embung (semacam waduk kecil) umumnya masih lebih bisa bernafas dibanding yang tidak memiliki. Minimal penduduk bisa memperoleh akses untuk minum, mandi, cuci, dan kakus (MCK).
Situ-situ yang banyak dibangun oleh Belanda di sekitar Jabotabek maupun Jabar sebenarnya berguna untuk MCK dan pertanian pada musim kemarau. Pada musim hujan situ ini juga berguna sebagai pencegah banjir. Hanya sekarang situ-situ itu sudah mulai banyak yang berubah fungsi.
Embung ini dapat berukuran 0,5 ha dan dasarnya dapat dilapisi plastik tebal agar air tidak terhisap (terinfiltrasi) oleh tanah dan biayanya juga relatif murah, bisa dibangun dengan cara gotong royong. Air hujan ini dapat ditampung dalam satu wadah seperti situ, embung, untuk selanjutnya dimanfaatkan pada musim kemarau.
Jadi air tersebut tidak terbuang sia-sia ke laut, atau habis karena penguapan (transpirasi), terserap oleh tanah (infiltrasi). Karena menurut ahli hidrologi, neraca air di Indonesia umumnya positif artinya jumlah air yang disuplai baik oleh air hujan, sungai, danau masih lebih banyak dari yang dibutuhkan.
Ada tiga cara untuk mengatasi kemarau panjang ini: Pertama, membangun embung. Daerah-daerah yang memiliki curah hujan tinggi pada musim hujan (Jabar, Sumsel, Bengkulu, NTT, dsb) sangat memungkinkan untuk dibangun embung untuk gudang air pada musim kemarau.
Jumlah embung ini tergantung dari kebutuhan yang kita perlukan. Padi sawah misalnya memerlukan 6.000-12.000 m3 air/ha/musim tanam, manusia memerlukan berkisar 30-50 liter/hari untuk minum dan MCK, demikian juga ternak, ikan air tawar, dsb.
ReboisasiKedua, tentunya adalah melalui cara alami yang sudah diajarkan oleh nenek moyang kita, yaitu menanam kembali hutan kita yang sudah rusak. Hutan adalah penampung air yang paling andal, jumlah air yang menguap melalui tanaman dan permukaan tanah (evapotranspirasi) dapat diatur oleh ekosistem hutan.
Andaikan hutan kita masih utuh seperti tiga dekade lewat, niscaya dampak negatif dari kemarau panjang dapat kita atasi. PLTA-PLTA tidak akan mengalami kekurangan air pada musim kemarau, sungai tidak akan mengering karena hutan memiliki daya menyimpan air yang tinggi.
Luas hutan kita saat ini tinggal 110 juta ha, berkurang 28 % dibandingkan dengan 10 tahun lewat. Daerah-daerah Aliran Sungai (DAS) kita sudah banyak yang rusak sehingga terjadi kekeringan pada MK dan banjir pada MH. Jika nanti Musim Hujan tiba, kita harus siap menerima bencana lain yakni banjir dan longsor.
Eksploitasi hutan yang berlebihan terutama untuk tujuan ekonomi berdampak buruk bagi keseimbangan ekosistim kita. Reboisasi, dan pelestarian hutan sangat kita perlukan saat ini agar generasi mendatang dapat menikmati hidup yang lebih baik.
Ketiga, adalah dengan melakukan penghematan penggunaan air baik untuk MCK maupun pertanian. Gerakan hemat air ini sebenarnya sudah dicanangkan lebih dari satu dekade lewat, tapi saat ini gaungnya tidak terdengar. Jika ini berhasil, penurunan debit air pada musim kering di PLTA dapat dikurangi.
Target kita untuk mencapai swasembada pangan pada tahun 2007 tentu harus dikaji ulang, mundurnya jadwal tanam akan berpengaruh terhadap pola tanam, daerah yang biasa ditanami padi tiga kali setahun tentunya akan sulit tercapai tahun ini.
Demikian juga dengan tanaman ketiga (musim kering tahap kedua) yang biasanya adalah palawija atau sayur-sayuran akan tidak tertanami tahun ini. Dampak dari menurunnya produksi ini sudah dapat dirasakan dengan naiknya harga-harga kebutuhan bahan pokok.
Jadi kebutuhan pangan kita akan terganggu tahun ini. Pastinya sulit mencapai produksi yang sama dengan tahun 2005, yakni 54,6 juta ton gabah. Kita harus siap mengimpor beras dan komoditi pangan lainnya, tidak perlu alergi, dan jangan dijadikan polemik atas nama petani.
Karena saat ini pun kita harusnya mengimpor beras karena harga beras (Rp 4.500 - Rp 5.000/kg) sudah di atas jangkauan kemampuan masyarakat.
*) Penulis alumni IPB, peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumsel, Badan Litbang Deptan, Palembang (Dikutip dari Sinar Harapan Eds, 27 Nop 2006)
No comments:
Post a Comment