Thursday, December 21, 2006

Kenaikan Gaji Dewan, Model Korupsi Yang Sangat ‘Bugil’


Pengamat politik DR Chris Boro Tokan SH.MH berpendapat, kenaikan gaji wakil rakyat dan para pimpinannya, baik di pusat maupun di daerah-daerah mencerminkan model korupsi secara “bugil” melalui pengaturan aspek kepastian hukum. Pengaturan aspek kepastian hukum yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada legislatif ini untuk tetap “mengamankan penyuburan model korupsi terbungkus” yang selama ini tersentral melalui perilaku oknum-oknum eksekutif dengan kroni-kroninya.

“Era sekarang menandakan bahwa korupsi dilakukan terbuka melalui pengaturan aspek kepastian hukum untuk para anggota legislatif dan pimpinannya,” kata Boro Tokan yang juga Ketua Biro Cendekiawan, Litbang dan Lingkungan Hidup DPD Partai Golkar Nusa Tenggara Timur (NTT) itu di Kupang, Rabu.

Doktor ilmu hukum lulusan Universitas Indonesia 2003 itu mengatakan, para wakil rakyat di daerah-daerah sudah tidak malu lagi mengatur kenaikan penghasilannya melalui perda, tanpa ada tolok ukur yang jelas tentang kinerja dan keberhasilan yang telah dibuat bagi rakyat di daerahnya masing-masing.

“Sangat ironis memang jika kita mencermati situasi dan kondisi yang tengah dihadapi bangsa dan negara saat ini seperti meningkatnya angka kemiskinan, gaji buruh yang rendah, pengangguran, bencana alam, rawan pangan, gizi buruk dan lain-lain,” katanya.

Namun, tegas mantan Sekjen PP Perhimpunan Mahasiswa Katolik RI periode 1985-1988 itu, elit pemerintah malah tidak malu-malu melakukan korupsi secara telanjang melalui dalil kepastian hukum, aspek legalitas yang mengabaikan aspek kemanfaatan atau kegunaan aturan hukum itu bagi rakyat yang hidup berkekurangan (miskin), menganggur, rawan pangan dan gizi buruk.

Dengan demikian, kata dia, pemerintahan SBY dan pemerintahan di daerah, sebenarnya secara sadar telah menjalankan suatu model pemerintahan yang “elite oriented” yakni lebih melayani kaum elit dan lingkarannya.

Hal itu menjadi suatu ciri pemerintahan kapitalis yakni melayani kebutuhan kaum elit pemerintahan dan kaum kapitalis (pemodal) yang melingkarinya, tambah mantan anggota DPRD NTT periode 1999-2004 itu.

“Pemerintah tidak sesungguhnya melayani rakyat, kaum miskin yang menderita, menganggur, karena pelayanan yang diberikan lebih bernuansa supaya rakyat tidak kecewa dan memberontak. Jika rakyat memberontak maka bagi elit pemerintahan tentu akan mengganggu kepentingan dan kenyamanan mereka yang selama ini sudah terpelihara melalui jalur korupsi,” kata Boro Tokan. (ant/rrk)

No comments: