Meutia Hatta Swasono
Belis dan Sifon Rugikan Perempuan NTT
Tata cara adat sifon (sunat bagi kaum laki-laki di Timor) dan belis (penghargaan terhadap perempuan yang dipinang) yang masih berlaku di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dinilai merugikan kaum perempuan.
Masalah ini mengemuka dalam `Workshop` Peran Kultur Perempuan Dalam Pembangunan saat berdiskusi dengan Menteri Negara (Meneg) Pemberdayaan Perempuan (PP), Prof. DR Meutia Hatta Swasono, di Kupang, Jumat.
Workshop` itu diselenggarakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan bekerjasama dengan Badan Kemitraan Ventura Universitas Indonesia (UI), di Kupang, yang berlangsung selama dua hari dari tanggal 16-17 November 2006.
Peserta `Workshop` menyimpulkan, peran kultur perempuan di NTT belum baik karena berbagai penyebab, antara lain tata cara adat sifon dan belis yang merugikan perempuan.
Dalam tata cara sifon, perempuan merupakan “obat” bagi laki-laki yang disunat. Laki-laki diberi kewenangan menyetubui perempuan sesaat setelah disunat.
Demikian pula tata cara belis yang berorientasi prestise keluarga dan komoditi sehingga sering terjadi penentuan belis yang sangat tinggi dan berdampak pada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Selain itu, perempuan NTT tidak memiliki hak bicara dalam acara adat, dianggap bukan penerus marga dan tidak berhak atas warisan dan belum ada kelembagaan adat yang memposisikan perempuan pada porsi yang menguntungkan.
Kendati pun demikian, peserta workshop masih menaruh harapan adanya pemberian peran kultural kepada perempuan NTT atas sejumlah pertimbangan yakni adanya nilai-nilai adat yang menghargai perempuan, upaya revitalisasi dan refungsionalisasi peran perempuan dalam adat dan kearifan lokal yang menyelamatkan kehidupan perempuan.
Posisi perempuan NTT yang pada umumnya sebagai manager rumah tangga dan pendidik dalam rumah tangga juga merupakan peluang bagi perempuan untuk berperan secara kultural. Karena itu, mereka mengusulkan berbagai hal antara lain perlu pengkajian kembali nilai-nilai dan tata cara adat dalam mengharagai perempuan, termasuk penentuan belis sebaiknya memperhatikan kemampuan dari calon menantu.
Perempuan pun patut dibekali keterampilan dan pengetahuan yang memadai agar mampu meningkatkan kesehatan reproduksi dan berani menyuarakan hak-haknya.
Meneg PP mengatakan, hasil karya peserta `Workshop` itu patut ditindaklanjuti dalam bentuk kebijakan maupun penerbitan buku sebagai referensi dalam memberdayakan perempuan Indonesia.
“Berbagai hambatan budaya yang menyebabkan peran kultural perempuan menjadi lemah diinventarisir kemudian dicarikan solusi terbaiknya,” ujarnya.
Meutia Hatta menyarankan upaya pengkajian peran kultural perempuan itu terus dilaksanakan di berbagai wilayah dan Kementerian PP akan selalu memberikan dukungan.
Sejauh ini, `workshop` peran kultural perempuan itu baru dilaksanakan di tiga provinsi yakni Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan NTT.
“Kementrian PP akan terus berupaya memberdayakan perempuan Indonesia agar tidak kalah dengan perempuan dari negara lainnya. Beberapa waktu lalu kami (Indonesia) menjadi tuan rumah rapat koordinasi pemberdayaan perempuan tingkat ASEAN dan itu sangat memotivasi peningkatan peran perempuan di negeri ini,” ujarnya. (***)
No comments:
Post a Comment